Dulu pernikahan dianggap sebagai tujuan hidup bagi semua orang, namun kini kehilangan daya tariknya di mata banyak Gen Z. Generasi ini, yang tumbuh di tengah perubahan sosial yang masif, memiliki alasan mendalam untuk menunda atau bahkan menolak pernikahan.
Namun yang banyak tak disadari oleh banyak orang adalah ini semua terjadi juga berkat faktor didikan generasi sebelumnya, yang sering kali meninggalkan luka emosional yang mendalam.
Trauma dari Didikan Lama
Banyak Gen Z tumbuh di lingkungan pernikahan digambarkan sebagai beban, bukan kebahagiaan. Orang tua, terutama dari generasi Baby Boomers dan Gen X, sering kali mengajarkan anak-anak mereka tentang pernikahan melalui perspektif tanggung jawab gender yang kaku.
Ungkapan seperti, "Kamu harus bisa masak biar jadi istri yang baik,” atau “Siapa yang mau menikah dengan kamu kalau kamu malas bersih-bersih?” bukanlah hal asing bagi sebagian besar Gen Z.
Pesan-pesan semacam itu bukan hanya menekan, tetapi juga menunjukkan bahwa seseorang hanya dinilai dari seberapa sukses mereka menjalani peran tradisional dalam pernikahan.
Bagi Gen Z, tekanan semacam ini sering kali berubah menjadi pemberontakan. Mereka mulai mempertanyakan mengapa kebahagiaan harus tergantung pada pernikahan.
Pernikahan sebagai Sumber Trauma Anak
Banyak dari mereka tumbuh di keluarga yang berantakan akibat perceraian, yang sering kali meninggalkan luka emosional mendalam.
Pengalaman melihat orang tua bertengkar, perpisahan yang penuh drama, atau bahkan dampak finansial dari perceraian, membuat mereka mempertanyakan apakah pernikahan benar-benar penting bagi mereka.
Menurut Jakob Haws, seorang ahli hukum dari Penn State Dickinson Law, pernikahan sebenarnya membutuhkan persiapan dan dedikasi.
Namun, realitas yang dihadapi banyak keluarga justru menunjukkan kurangnya persiapan ini, sehingga menghasilkan ketidakstabilan yang terus diwariskan ke generasi berikutnya.
Kekhawatiran Finansial
Masalah ekonomi juga menjadi salah satu alasan utama Gen Z menghindari pernikahan. Biaya pernikahan yang mahal, kenaikan harga properti, dan tekanan keuangan lainnya membuat pernikahan terlihat sebagai komitmen yang tidak masuk akal secara finansial.
Ditambah lagi, Gen Z tumbuh dalam budaya individualisme. Mereka diajarkan untuk memprioritaskan pencapaian pribadi dan kebebasan.
Sebuah survei menunjukkan bahwa meskipun 75% responden Gen Z masih menganggap pernikahan penting, kebanyakan dari mereka menundanya hingga usia 30-an karena alasan ini.
Apa Artinya Bagi Masa Depan?
Meski pernikahan kehilangan daya tariknya, ini bukan berarti Gen Z sepenuhnya menolak. Banyak dari mereka hanya ingin memikirkan kembali apa artinya pernikahan bagi masing-masing mereka. Oleh karena itu, para orang tua juga perlu introspeksi diri.
Jika generasi sebelumnya ingin membantu Gen Z melihat pernikahan sebagai sesuatu yang positif, perubahan harus dimulai dari pola asuh. Contohnya dengan tidak menanamkan ketakutan atau pandangan kaku pada pernikahan, orang tua perlu mengajarkan nilai-nilai komunikasi, kepercayaan, dan empati dalam hubungan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS