Perdebatan tentang apakah sebuah tim nasional sepak bola suatu negara wajib dilatih oleh pelatih lokal atau asing sering kali menjadi masalah yang kompleks.
Di satu sisi, pelatih asing dianggap membawa perspektif baru dan pengalaman internasional yang dapat memperkaya taktik tim.
Namun di sisi lain, keberadaan pelatih lokal sering kali dilihat sebagai simbol nasionalisme dan lebih memahami budaya serta mentalitas pemain. Tapi, apakah bahasa dan budaya benar-benar menjadi penghalang besar?
Sejarah menunjukkan bahwa banyak negara pernah mencoba pelatih asing dengan hasil yang bervariasi. Dalam Piala Dunia 2022, sembilan tim dari 32 negara yang berpartisipasi menggunakan jasa pelatih asing.
Namun, semua tim dengan pelatih asing tersingkir di babak awal. Ini memberikan kesan bahwa pelatih asing mungkin bukan pilihan terbaik, terutama bagi negara yang menginginkan hasil maksimal di kompetisi besar seperti Piala Dunia.
Namun, kesuksesan dalam sepak bola bukan hanya soal memenangkan trofi. Banyak tim yang mencapai prestasi terbaik mereka justru di bawah arahan pelatih asing.
Contohnya adalah Guus Hiddink yang membawa Korea Selatan ke semifinal Piala Dunia 2002, pencapaian yang hingga kini masih dianggap luar biasa. Contoh lainnya adalah bagaimana sejauh ini di bawah asuhan Shin Tae-yong,
Timnas Indonesia mencatat sejarah baru dengan lolos ke putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026. Ini menunjukkan bahwa pelatih asing bisa memberikan dampak besar, terutama bagi negara-negara yang tidak termasuk dalam negara yang diunggulkan dalam sepak bola.
Tapi, apakah bahasa menjadi penghalang utama? Menariknya, banyak pelatih asing sukses yang tidak berbicara bahasa lokal tim yang mereka latih.
Dikutip dari New York Times, Fabio Capello mengatakan bahwa 20 kata dalam bahasa sepak bola sudah cukup untuk menyampaikan strategi kepada pemain.
Dalam konteks global, sepak bola memang memiliki "bahasa universal" yang sering kali melampaui keterbatasan bahasa lokal.
Namun, tidak bisa diabaikan bahwa pelatih harus memahami budaya dan karakteristik pemainnya. Pelatih diharapkan memahami budaya lokal sebelum mengambil pekerjaan di negara baru.
Selain bahasa, masalah internal juga bisa menjadi tantangan bagi pelatih asing. Roy Hodgson, yang pernah melatih Swiss, menjelaskan bagaimana perbedaan budaya antara Swiss-Jerman dan Swiss-Prancis memberikan tantangan unik dalam hal menjaga keharmonisan tim.
Di sisi lain, menjadi orang asing bisa menjadi keuntungan, karena pelatih asing sering kali dianggap netral dan tidak berpihak pada kelompok atau kepentingan tertentu.
Hal yang jelas keputusan untuk memilih pelatih lokal atau asing seharusnya bergantung pada kebutuhan spesifik tim nasional.
Jika tujuan utama adalah membangun fondasi jangka panjang atau mencapai prestasi yang belum pernah diraih, pelatih asing bisa menjadi pilihan yang tepat, tanpa bermaksud mendiskreditkan pelatih lokal.
Karena sejarah di Indonesia menunjukkan pelatih lokal juga mampu menangani timnas dan menorehkan sejarah di beberapa level tertentu.
Jadi, apakah bahasa dan budaya menjadi penghalang? Ya tetapi itu bukan hambatan yang tidak bisa diatasi. Dengan pendekatan yang tepat, pelatih asing atau lokal sama-sama memiliki potensi untuk membawa perubahan besar.
Hal yang terpenting adalah komitmen, strategi, dan kemampuan mereka untuk memahami dinamika tim yang mereka pimpin.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS