Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, langsung dapat mandat menantang dari Presiden Prabowo Subianto. Ia diminta untuk memprogramkan pembelajaran matematika yang menyenangkan sejak dini – jenjang SD bahkan TK.
Program yang ditargetkan berjalan mulai 2025 ini tidak fokus kepada teknik menghitung. Prioritasnya justru lebih ke pengenalan konsep-konsep dasar matematika dahulu.
"Jadi, kita buat matematika ini menyenangkan. Kemudian, matematika ini diajarkan secara mudah ditekankan logikanya," ujar Abdul Mu'ti di Pameran Bulan Bahasa dan Sastra di Kantor Kemendikbudristek, Jakarta, Senin (28/10/2024).
Inisiatif ini ibarat respons konkret pemerintah atas konten-konten viral belakangan yang menunjukkan anjloknya kemampuan berhitung oknum-oknum pelajar tanah air. Salah satu pengunggahnya Anas Baihaqi, seorang ASN yang kaget mendapati pelajar SMK yang masih kesulitan menjawab penjumlahan sederhana seperti 6+8. Bahkan, pelajar yang sedang magang di instansinya itu tidak tahu cara membaca bilangan ratusan ribu.
Mendikdasmen dan para pendidik di jenjang dasar harus optimistis. “Matematika” sangat mungkin kok untuk bersanding dengan kata “menyenangkan”. Sebab, matematika itu bisa dikaitkan dengan humor yang lekat sekali dengan unsur fun.
Donald Casadonte, profesor dari Colombus State Community College yang tertarik dengan kajian humor dan proses berpikir, telah menyinggung titik pertemuan antara humor dan matematika (Encyclopedia of Humor Studies, 2014, h.488). Secara umum, matematika bisa menjadi sumber humor dalam dua cara, yakni Humor dalam Matematika (HDM) dan Matematika dalam Humor (MDH).
Untuk menghasilkan stimulus tawa, MDH tidak membutuhkan teori matematika dan proses berpikir yang rumit, sehingga dapat dipahami oleh kalangan yang lebih luas, termasuk anak-anak. Maka, untuk peserta ajar dengan pemahaman yang masih sangat dasar, MDH-lah yang relevan dipraktikkan.
Konsep MDH bahkan bisa dipakai untuk mengenalkan konteks aljabar!
Eits, jangan keder dulu! Pada dasarnya, aljabar itu “cuma” cabang ilmu matematika tentang penggunaan simbol pengganti untuk menyederhanakan dan memecahkan suatu masalah, kok. Namun, tidak semua ngeh membahasakannya secara sederhana.
Nah, interaksi antara kreator konten sekaligus lulusan program studi matematika terapan di Universitas Waseda, Jepang, Jerome Polin, bersama netizen cocok dijadikan inspirasi MDH. Dalam video itu (24/10/24), Jerome mengunggah video hiburan berbau matematis yang jadi ciri khasnya. Ia memeragakan skenario lucu tentang pengajaran konsep matematika untuk usia dini.
Ngajarin Matematika ke Anak TK ala Jerome
Jerome secara menarik mampu menjelaskan konsep aljabar dengan mengubah variabel dalam rumus matematika menjadi objek simpel yang dikenal luas oleh anak-anak. Ia menggantikan variabel (x) dengan “apel” dan (y) dengan “jeruk.”
Analogi dari Jerome tersebut menekankan pada penekanan logika dasar aljabar, yakni suatu persamaan hanya bisa dijumlahkan jika memiliki variabel yang sejenis. Penyederhanaan itu ternyata tidak cuma mudah dipahami, tetapi juga memicu kreativitas warganet yang lebih jauh.
Akun @llaillatul, misalnya, jadi bisa membuat “rumus” aljabarnya sendiri, yakni “1 ayam + 1 panci = soto.”
Ada juga komentar dari @bluberryypies_a yang isinya: “1 mangga + 2 jambu + 1 nanas + 1 timun = ngerujak.”
Kombinasi analogi sederhana Jerome plus respons nyeleneh dari warganet ini merupakan salah satu solusi konkret bagi Pemerintah yang ingin menghadirkan pengajaran konsep matematika yang menyenangkan. Para guru perlu dibekali dan didorong agar mampu menyederhanakan logika matematis sekaligus sesekali menyelipkan jawaban “nakal” yang mungkin bisa bikin muridnya terpingkal.
Misalnya, di kelas, guru dapat memberikan soal sederhana seperti berikut:
1 Wortel + 2 Wortel = … Wortel?
1 Wortel + 1 Kubis = … ?
Pada pertanyaan pertama, instruksi yang benar diperlukan supaya peserta ajar mengenali dulu konsep utama yang diajarkan.
Lalu, sebagai perbandingan, guru dapat menghadirkan pertanyaan kedua – yang dalam konteks asli seharusnya tidak dapat dijumlahkan karena melibatkan variabel yang berbeda.
Namun alih-alih menjadikannya serius, guru dapat menyelipkan humor di sini, dengan menjawab “1 wortel + 1 kubis = sayur sop.”. Setelah itu, barulah disusul dengan memberikan jawaban yang benar.
Dengan mengintegrasikan humor ke dalam pembelajaran, para pendidik dapat mengenalkan konsep dasar matematis secara sederhana, meningkatkan daya tarik materi yang diajarkan, sekaligus meredakan keresahan peserta ajar yang minder duluan saat berhadapan dengan matematika. Apalagi, penggunaan analogi dengan benda-benda yang familiar memungkinkan murid SD bahkan TK sekalian belajar mengenali berbagai objek baru di sekitarnya.
Jika sudah berhasil menangkap ide dari artikel ini, coba uji kreativitas Anda dengan menjawab pertanyaan dengan logika aljabar sederhana berikut!
“3 bakso - 3 bakso = … ?”
*Esha Yasmina Rahman. Tulisan ini dibuat bersama peneliti humor IHIK3, Ulwan Fakhri, dalam program “Intern Science Communicator” dari Program Studi Sastra Inggris, Universitas Brawijaya-IHIK3