Kata siapa rumus dan hitung-hitungan matematis cuma bikin pusing? Dari bejibunnya konten yang menyoroti kontroversi pemimpin pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2026, antara Timnas Bahrain dan Indonesia (10/10/24), konten Jerome Polin layak disebut hidden gem. Sebab, kreator konten sekaligus lulusan Universitas Waseda, Jepang, program studi Matematika Terapan, itu mampu mengkritik keputusan wasit Ahmed Al Kaf menggunakan rumus matematika.
Sebelumnya, perlu kita sama-sama pahami dulu kalau dalam aturan sepak bola, setiap pertandingan berlangsung selama 90 menit – dibagi dalam dua babak, masing-masing berdurasi 45 menit. Di luar waktu normal itu, lumrahnya wasit juga memberikan waktu tambahan (injury time) jika merasa banyak waktu yang terbuang akibat cedera pemain, pergantian pemain, atau insiden di lapangan.
Nah, pada pertandingan Bahrain melawan Indonesia kemarin, Ahmed Al Kaf sudah memutuskan tambahan waktu terakhir yang diberikan adalah 6 menit. Namun, pertandingan malah berlanjut hingga menit ke-99, yang mengakibatkan timnas Bahrain mampu menggagalkan kemenangan Indonesia di detik-detik akhir.
Merespons kejadian tersebut, Jerome Polin lantas mengkritik wasit lewat pendekatan matematis (11/10/24). Mulai dari menggunakan konsep penjumlahan bersusun hingga rumus faktorial, Jerome mencoba membuktikan bahwa keputusan wasit untuk membiarkan pertandingan berjalan hingga 99 menit itu merupakan sebuah kekeliruan.
Aksi Jerome ini adalah contoh dari Humor dalam Matematika (HDM), yakni humor yang sengaja diciptakan dari hubungan antara bilangan dan prosedur hitung-hitungan (Encyclopedia of Humor Studies, 2014, h.487).
Abdur Arsyad juga pernah menggunakan HDM untuk menyampaikan kritik terhadap anak Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep. Dalam videonya, komika penyandang gelar Magister Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Malang, tersebut mengkritisi pengakuan Kaesang yang “nebeng” jet pribadi temannya ke Amerika Serikat pada 18 Agustus 2024.
Satir Politik Lewat Matematika
Abdur menarasikan sentilannya itu lewat persamaan matematika sederhana. Dalam video tersebut (18/9/24), Kaesang ia ibaratkan sebagai variabel pertama (a), temannya sebagai (b), dan “searah” sebagai (c). Ketika Kaesang nebeng temannya, hubungan antara variabel-variabel ini menjadi b = c dan a = c.
Angka baru muncul ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan teman Kaesang tidak ikut dalam perjalanan tersebut, sehingga nilai variabel b menjadi 0. Dengan memasukkan angka 0 ke dalam persamaan, dapat diketahui bahwa a = 0. Di sinilah Abdur tiba pada kesimpulan “Kaesang = NOL BESAR”.
Selain itu, Abdur juga pernah mengemas HDM dalam sebuah gombalan. Di acara Mata Najwa (12/6/23), ia mengajukan sebuah soal matematika kepada pemandu acara yang akrab disapa Mbak Nana tersebut.
"Selesaikan soal berikut:
9x - 7i > 3(3x - 7u)"
Dengan mengelompokkan variabel yang sejenis menggunakan konsep pertidaksamaan linear satu variabel (PLSV), Abdur akhirnya sampai pada jawaban i < 3u (nilai variabel “i” lebih kecil daripada nilai “3u”). Merujuk pada referensi “<3” adalah emoji atau karakter hati, maka jawaban itu jadi terbaca “I love you”.
Gombal Pakai Rumus Matematika?
Joke yang disampaikan Abdur di atas mungkin sulit dipahami sebagian di antara kita. Wajar, HDM memang menuntut audiensnya untuk punya pemahaman konteks matematika sebelum bisa mentertawakannya (ibid, h.487-488).
Kendatipun HDM tidak cocok untuk audiens awam, tetapi humor macam ini bisa sangat pecah ketika dibawakan dalam konteks dan audiens yang spesifik, yakni dalam pelajaran matematika. Dengan asumsi bahwa peserta ajar punya pemahaman dasar matematis, para pengajar bisa mengeksplorasi sejumlah rumus matematika yang relevan dengan materi ajar untuk menghadirkan sedikit keseruan di kelas.
Dari Jerome Polin dan Abdur Arsyad, para pengajar matematika bisa belajar, humor dalam pengajaran bisa hadir dalam bentuk angka. Tidak melulu harus menyampaikan cerita lucu atau lelucon verbal!
Keduanya sama-sama menunggangi isu yang sedang trending. Mereka lalu mencoba menjelaskannya melalui konsep matematika: Jerome memulai dengan rumus yang paling sederhana, yakni penjumlahan bersusun, sementara Abdur menyuguhkan konsep persamaan matematis yang lebih rumit.
“Fenomena di luar matematika kok dijelaskan dengan matematika? Yang benar saja?”
Nah, justru di situlah peluangnya. Walau tidak ada “setup dan punchline” layaknya materi stand-up comedy, secara umum, HDM itu sudah mengandung potensi kelucuan karena adanya juxtaposition atau kontras.
Maka, para pengajar matematika seharusnya bisa lebih percaya diri untuk menghadirkan humor dalam pengajarannya. Selama Anda mampu menjahit variabel-variabel dalam sebuah fenomena dan menghasilkan kesimpulan atau jawaban akhir yang sedikit menggelikan, audiens Anda bakal ikut cekikikan sekaligus tercerahkan.
*Esha Yasmina Rahman. Tulisan ini dibuat bersama peneliti humor IHIK3, Ulwan Fakhri, dalam program “Intern Science Communicator” dari Program Studi Sastra Inggris, Universitas Brawijaya-IHIK3