Media sosial telah menjadi panggung utama kemewahan, kesuksesan, dan kebahagiaan dipamerkan. Dari unggahan liburan mewah, pakaian bermerek, hingga gaya hidup serba wah, dunia maya sering kali menampilkan gambaran yang jauh dari realitas.
Namun, di balik kilauan unggahan tersebut, tersembunyi kesenjangan sosial yang nyata antara kehidupan yang terlihat di layar dan kehidupan yang sebenarnya dijalani banyak orang.
Ironinya, media sosial tidak hanya menjadi tempat berbagi kebahagiaan, tetapi juga ladang subur bagi rasa iri dan tidak puas.
Ketika seseorang melihat teman atau figur publik memamerkan pencapaian mereka, perasaan rendah diri sering kali muncul. Padahal, apa yang terlihat di media sosial sering kali merupakan versi terbaik dari hidup seseorang—editan dan potongan kecil yang jauh dari lengkap.
Sayangnya, banyak orang yang menjadikan gambaran ini sebagai tolok ukur keberhasilan, tanpa menyadari konteks di baliknya.
Fenomena ini tidak hanya memengaruhi individu secara emosional, tetapi juga menciptakan kesenjangan sosial yang lebih dalam. Orang-orang yang berasal dari lapisan masyarakat kurang mampu mungkin merasa semakin terpinggirkan.
Mereka dihadapkan pada standar kehidupan maya yang sulit dicapai, sehingga memunculkan perasaan tertekan atau tidak cukup baik. Media sosial yang awalnya dirancang untuk menghubungkan orang, malah mempertegas jurang pemisah yang ada.
Tekanan untuk memenuhi standar ini juga sering kali mendorong individu untuk mengambil langkah ekstrem. Tidak sedikit yang rela berutang hanya untuk tampil seperti "orang kaya" di media sosial.
Mereka membeli barang-barang mewah, menghadiri acara-acara eksklusif, atau bahkan mengedit foto secara berlebihan demi mendapat validasi berupa "likes" dan "followers." Akibatnya, media sosial menjadi tempat di mana kesenjangan sosial terkamuflase sebagai kemewahan universal.
Namun, di balik semua ini, ada realitas yang sering terabaikan. Banyak dari mereka yang terlihat "sempurna" di media sosial sebenarnya juga menghadapi tantangan yang tidak tampak di layar. Mereka mungkin memiliki masalah keuangan, tekanan karier, atau perjuangan pribadi lainnya.
Kehidupan di dunia maya tidak hanya menciptakan kesenjangan sosial bagi yang melihat, tetapi juga bagi yang memamerkan, karena mereka terus-menerus merasa harus mempertahankan citra sempurna.
Untuk menghadapi ironi ini, langkah pertama adalah kembali ke kesadaran bahwa media sosial bukanlah cermin yang akurat dari kehidupan nyata.
Kita perlu belajar memisahkan ilusi maya dari kenyataan dan berhenti mengukur kebahagiaan atau keberhasilan kita berdasarkan unggahan orang lain. Mulailah menghargai hal-hal kecil dalam hidup yang sering kali tidak terlihat di media sosial, tetapi sangat bermakna.
Studi dari jurnal Psychological Science yang berjudul The Power of the Like in Adolescence menunjukkan bahwa "likes" di media sosial dapat memengaruhi otak remaja, menciptakan perasaan euforia yang serupa dengan hadiah nyata.
Dengan memahami bahwa banyak orang terjebak dalam siklus validasi digital ini, kita dapat lebih kritis dalam menyikapi kesenjangan sosial yang muncul.
Pada akhirnya, kehidupan nyata—dengan segala kekurangannya—tetaplah lebih berharga daripada kemewahan yang hanya tampak di layar.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS