Ngabuburit adalah istilah yang erat kaitannya dengan bulan Ramadan di Indonesia. Segala usia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, menantikan momen ini sebagai salah satu cara untuk mengisi momen menjelang azan Magrib dengan berbagai aktivitas menyenangkan.
Namun jika direnungkan sejenak, apakah ngabuburit benar-benar sebuah tradisi yang memiliki makna mendalam, atau hanya sekadar mengisi waktu menjelang berbuka puasa?
Ngabuburit: Dari Budaya Sunda ke Fenomena Nasional
Istilah “ngabuburit” sebenarnya berasal dari bahasa Sunda yang berarti “menunggu senja”. Dulu, di Jawa Barat, ngabuburit erat kaitannya dengan kegiatan rekreasi, seperti jalan-jalan sore atau duduk di luar sambil ngobrol bersama teman.
Seiring berjalannya waktu, konsep ini menyebar ke berbagai daerah di Indonesia dan menjadi bagian budaya Ramadan yang sangat dihormati.
Menariknya, cara masyarakat menikmati ngabuburit telah berkembang. Dulu, banyak orang yang mengisi waktu tersebut dengan kegiatan spiritual, seperti membaca Alquran atau mendengarkan khotbah.
Namun saat ini ngabuburit lebih banyak sekedar berburu jajanan buka puasa, nongkrong di tempat populer, atau browsing media sosial sambil menunggu azan.
Ngabuburit: Ajang Kebersamaan atau Sekadar Tren?
Salah satu daya tarik Ngabuburit adalah rasa kebersamaan yang dipupuknya. Jalanan ramai dengan masyarakat yang berburu makanan, taman kota ramai, dan berbagai komunitas mengadakan acara ngabuburit khusus. Rasanya seperti momen ikatan tahunan di mana keluarga dan teman bisa berkumpul tanpa perlu alasan formal.
Namun hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah ngabuburit masih menyimpan esensi kebersamaan, atau sekadar menjadi tren konsumen?
Melihat fenomena yang terjadi saat ini, banyak orang yang melakukan ngabuburit bukan sekadar untuk menikmati waktu bersama, namun untuk mencari spot-spot Instagrammable, menjajal jajanan yang sedang viral, atau sekadar menghabiskan waktu tanpa tujuan.
Di beberapa kota besar, ngabuburit bahkan telah berubah menjadi pertunjukan gaya hidup—menampilkan pakaian Ramadan yang penuh gaya dan beragam menu buka puasa yang mewah.
Dampak Sosial dan Ekonomi dari Ngabuburit
Meski mengalami pergeseran makna, ngabuburit tetap memberikan dampak positif, terutama dari segi ekonomi. Bulan Ramadan merupakan bulan yang penuh berkah bagi para pedagang kaki lima dan usaha kecil, karena semakin banyak masyarakat yang mencari jajanan dan makanan untuk berbuka puasa.
Banyak orang yang memanfaatkan waktu ini untuk berjualan berbagai jajanan, mulai dari jajanan tradisional hingga jajanan gorengan yang cenderung cepat ludes bak sulap menjelang berbuka puasa.
Namun, ada juga beberapa kekhawatiran yang perlu dipertimbangkan. Salah satunya adalah meningkatnya kemacetan lalu lintas di wilayah tertentu akibat banyaknya masyarakat yang keluar untuk menikmati ngabuburit.
Selain itu, ada juga fenomena konvoi sepeda motor yang bisa berubah menjadi ugal-ugalan, yang tidak hanya mengurangi kesenangan, namun juga menimbulkan risiko baik bagi pengendara maupun orang di sekitarnya.
Ngabuburit dengan Makna: Bisa Nggak?
Jika kita ingin tradisi ngabuburit tetap bermakna, mungkin inilah saatnya memikirkan bagaimana menjadikan momen ini lebih bermanfaat.
Misalnya, daripada sekadar berburu takjil, kenapa tidak mencoba ngabuburit sambil berdonasi? Di beberapa daerah, saat ini sedang berkembang tren berbagi sembako kepada pihak yang membutuhkan, seperti membagikan takjil kepada pengemudi yang masih dalam perjalanan atau berbuka puasa bersama anak yatim.
Alternatifnya, kita bisa meninjau kembali pendekatan ngabuburit yang lebih spiritual. Menghabiskan waktu membaca buku-buku inspiratif, mendengarkan podcast bertema Ramadan, atau sekadar melakukan refleksi diri dapat menawarkan cara yang lebih bermakna untuk menghabiskan waktu ini.
Kesimpulan: Tradisi atau Sekadar Gaya Hidup?
Ngabuburit pada hakikatnya merupakan fenomena yang berkembang seiring berjalannya waktu. Apa yang awalnya merupakan kebiasaan sederhana kini berubah menjadi bagian gaya hidup Ramadan yang lebih modern dan bervariasi.
Masih bisakah kita menyebut ini sebagai tradisi? Boleh saja, asal nilai kebersamaan dan kebermanfaatan tetap terjaga.
Namun, jika ngabuburit hanya sekedar tren tahunan yang lebih fokus pada konsumsi dan hiburan, kita mungkin perlu bertanya pada diri sendiri: apakah ngabuburit yang kita lakukan masih ada maknanya, atau sudah menjadi rutinitas sia-sia dan tidak ada gunanya?
Pada akhirnya, bagaimana kita menikmati ngabuburit bergantung pada individu masing-masing. Apakah sekadar mengisi waktu saja, atau malah menjadi momen yang membawa manfaat lebih besar? Pilihan ada di tangan kita.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS