Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali berinteraksi dan membuat janji dengan orang lain. Namun, ada satu kebiasaan yang masih melekat di sebagian masyarakat kita, yaitu membuat janji dengan patokan waktu salat.
"Nanti setelah asar ya," atau "Kita ketemu setelah isya," adalah contoh-contoh umum yang sering kita dengar. Meskipun niatnya baik, praktik ini menyimpan potensi ketidakpastian dan rentan terhadap apa yang kita kenal sebagai jam karet.
Saya termasuk orang yang menolak kebiasaan ini. Jika ada yang membuat janji dengan cara ini, saya pasti akan menanyakan kembali, "Itu jam berapa?".
Bukan tidak tahu kapan biasanya waktu ibadahnya, tetapi kepastian pukul berapa rencana kami dapat terlaksana. Barangkali di pikiran saya, cara sebelumnya adalah bentuk penundaan.
Misalnya saya sudah tepat waktu, bertemu di lokasi pertemuan tepat setelah waktu salat tertentu, ternyata rekan janji saya belum siap bahkan belum berangkat. Sesungguhnya, itulah yang menyebalkan.
Mengandalkan waktu salat sebagai patokan janji memiliki beberapa kelemahan mendasar. Pertama, waktu salat bersifat relatif dan berubah-ubah setiap harinya, bahkan bisa berbeda signifikan antarwilayah. Hal ini membuat estimasi waktu pertemuan menjadi kurang presisi.
Kedua, waktu pelaksanaan salat itu sendiri bisa bervariasi tergantung pada individu atau kelompok. Ada yang lebih cepat, ada pula yang membutuhkan waktu lebih lama untuk persiapan dan pelaksanaan.
Akibatnya, janji yang berpatokan pada waktu salat sering kali tidak memiliki kepastian waktu yang jelas. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan, ketidaknyamanan, dan bahkan potensi hilangnya waktu berharga.
Misalnya, seseorang yang menunggu terlalu lama karena orang lain belum selesai salat, atau sebaliknya, seseorang yang datang terlalu cepat karena perkiraan waktu salat yang kurang tepat. Inilah yang kemudian memicu budaya jam karet yang kurang produktif.
Sebaliknya, membuat janji dengan menggunakan jam pasti, seperti "Kita bertemu pukul 14.00 WIB," menawarkan kepastian dan efisiensi yang jauh lebih baik.
Dengan adanya jam yang jelas, kedua belah pihak memiliki acuan waktu yang sama dan dapat merencanakan kegiatan mereka dengan lebih teratur. Hal ini tidak hanya meningkatkan kedisiplinan waktu, tetapi juga menunjukkan rasa saling menghargai waktu satu sama lain.
Normalisasi penggunaan jam pasti dalam membuat janji akan memberikan dampak positif yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam dunia profesional, ketepatan waktu adalah kunci produktivitas dan kredibilitas.
Dalam kehidupan sosial, janji dengan jam pasti akan memupuk rasa saling percaya dan menghargai. Dengan meninggalkan kebiasaan berjanji dengan patokan waktu yang tidak pasti, kita selangkah lebih maju menuju budaya yang lebih efisien dan menghargai waktu.
Perubahan kebiasaan ini tentu membutuhkan kesadaran dan komitmen dari semua pihak. Individu perlu membiasakan diri untuk menggunakan jam pasti saat membuat janji, baik secara lisan maupun tertulis.
Masyarakat juga perlu mendukung dan mendorong terciptanya budaya tepat waktu. Pendidikan dan sosialisasi mengenai pentingnya menghargai waktu sejak dini juga akan sangat membantu dalam membentuk generasi yang lebih disiplin waktu.
Kesimpulannya, meninggalkan kebiasaan membuat janji dengan patokan waktu salat dan beralih ke penggunaan jam pasti adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih efisien dan menghargai waktu.
Dengan adanya kepastian waktu, kita dapat menghindari ketidakpastian, mengurangi potensi jam karet, dan pada akhirnya meningkatkan produktivitas serta kualitas interaksi sosial kita. Mari kita bersama-sama membangun budaya tepat waktu demi kemajuan bersama.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS