Realitas sosial dewasa ini, kita masih menyaksikan bagaimana sudut pandang terhadap kedudukan perempuan dan laki-laki yang seringkali terperangkap pada paradigma yang usang, di mana perempuan kerap ditempatkan pada keadaan yang tak seimbang.
Hal itu bukan sebatas teori, melainkan refleksitas dalam tindakan nyata, salah satunya adalah mengakarnya praktik pelecehan seksual.
Meskipun tidak semua korban adalah perempuan, namun berdasarkan data yang tercatat di sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa mayoritas korban pelecehan seksual merupakan kaum hawa.
Kejadian ini bisa terjadi di mana saja, seperti pusat perbelanjaan, sekolah, tempat kerja, atau di angkutan umum, oleh para pelaku yang bahkan tidak dikenali oleh korban.
Namun, fenomena ini tidak terbatas ruang publik, karena di ruang privat sekalipun, pelecehan seksual tak jarang terjadi tanpa diduga oleh korban.
Akibatnya, perbuatan bejat pelaku hanya meninggalkan sedikit jejak yang dapat dipergunakan bukti oleh korban. Inilah yang kemudian menjadi salah satu tantangan besar dalam proses pengungkapan sejumlah kasus pelecehan seksual.
Pembuktian yang sulit, khususnya dalam kasus yang terjadi tanpa keberadaan saksi, menimbulkan banyak perkara yang tidak terungkap.
Tak jarang, kasus serupa tidak dilaporkan atau bahkan mandek di tengah jalan, karena sistem hukum kesulitan untuk memperoleh bukti yang memadai untuk menindaklanjuti perkara tersebut.
Oleh karena itu, kita harus mempertanyakan kembali, apakah sistem yang tersedia telah benar-benar berpihak pada keadilan korban, atau justru semakin melanggengkan tindakan pelaku karena lemahnya penegakan hukum kita saat ini?
Beban Pembuktian
Dalam konteks hukum acara pidana, Pasal 184 KUHAP telah menggariskan bahwa alat bukti yang sah terdiri dari keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Sementara itu, Pasal 183 KUHAP mempertegas bahwa seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa kecuali terdapat minimal dua alat bukti yang sah, dan hakim yakin bahwa tindak pidana benar-benar terjadi serta terdakwalah yang melakukan perbuatan tersebut. Artinya, dalam setiap perkara pidana, diperlukan setidaknya dua alat bukti yang sah dan disertai dengan keyakinan hakim.
Implikasi adanya limitasi syarat alat bukti tersebut, dalam kasus pelecehan seksual, seringkali korban menghadapi kesulitan untuk melaporkan kejadian yang menimpanya karena terkendala oleh minimnya ketersediaan alat bukti.
Tidak sedikit kasus pelecehan seksual yang tidak mudah untuk dibuktikan dalam sistem peradilan pidana, karena tak jarang perbuatan tersebut dilakukan di ruang tertutup, dan hanya diketahui oleh korban serta pelaku saja.
Hal serupa juga sempat disampaikan oleh Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan Bagi Perempuan Korban Kekerasan di Indonesia, Siti Mazumah.
Ia mengungkapkan bahwa bagi korban dugaan kekerasan seksual, proses membawa kasusnya ke pengadilan bukanlah perkara yang mudah.
Seringkali, ia menemukan korban diminta untuk membuktikan sendiri peristiwa yang menimpanya oleh aparat penegak hukum.
Padahal, menurutnya, aparat penegak hukum semestinya dapat melakukan proses penyelidikan tanpa harus membebani korban dengan kewajiban pembuktian tersebut.
Pembuktian dalam UU TPKS
Dengan maraknya kasus pelecehan seksual dan tidak sedikit korban yang terkendala dalam soal pembuktian, maka sangat diperlukan adanya ketersediaan perangkat hukum yang dapat mengakomodasi kepentingan korban yang mengatur upaya pembuktian alternatif dalam kasus pelecehan seksual secara lebih komprehensif.
Sebab, pada kenyataannya, angka kasus pelecehan seksual dapat menurun jika terdapat regulasi yang tepat dan tindakan aparat penegak hukum yang optimal dalam memberikan perlindungan hukum bagi korban yang sebelumnya menghadapi jalan terjal proses hukum akibat syarat minimal dalam pembuktian yang cenderung formalistis, tanpa mempertimbangkan rasa keadilan bagi korban.
Namun, pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), memantik harapan baru bagi publik.
Undang-undang ini memberikan jangkauan perspektif yang jauh lebih luas dalam hal pembuktian kasus pelecehan seksual, yang sebelum terbatas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dengan begitu, penyelesaian kasus serupa dapat ditangani lebih efektif melalui pendekatan yang lebih memperhatikan kebutuhan korban.
Lebih lanjut, alat bukti yang dipergunakan untuk membuktikan adanya suatu tindak pidana pelecehan seksual diatur dalam Pasal 24 dan 25 UU TPKS.
Misalnya, Pasal 24 menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam membuktikan tindak pidana kekerasan seksual meliputi alat bukti yang diatur dalam hukum acara pidana, alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta barang bukti yang digunakan dalam pelaksanaan tindak pidana atau sebagai hasil dari perbuatan pidana kekerasan seksual dan/atau benda yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.
Selain itu, alat bukti juga dapat berupa keterangan saksi yang diperoleh melalui pemeriksaan saksi dan/atau korban selama tahap penyidikan dengan perekaman elektronik.
Adapun alat bukti surat meliputi surat keterangan dari psikolog klinis dan/atau psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa, rekam medis, hasil pemeriksaan forensik, dan/atau hasil pemeriksaan rekening bank.
Keterangan dari saksi dan/atau korban cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, sepanjang disertai dengan satu alat bukti sah lainnya, dan hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana memang telah terjadi dan terdakwalah yang melakukannya.
Jika ketersediaan alat bukti sangat terbatas, misalnya, keterangan saksi hanya dapat diperoleh dari korban, atau keterangan saksi tidak diberikan di bawah sumpah, maka kekuatan pembuktiannya dapat diperkuat dengan keterangan dari saksi yang mempunyai informasi yang secara tidak langsung berhubungan dengan tindak pidana sepanjang keterangan tersebut relevan (saksi testimonium de auditu)
Dengan adanya ketentuan baru dalam Undang-Undang TPKS, proses pembuktian dalam kasus pelecehan seksual kini lebih terbuka dan fleksibel, memberikan ruang lebih luas bagi korban atau penyintas untuk membuktikan kejahatan yang dialami tanpa harus kembali terperangkap pada syarat-syarat formal yang ketat dalam hukum acara pidana.
Harapannya, undang-undang akan memberikan keadilan yang lebih baik terhadap korban, serta mengoptimalkan proses hukum dalam kasus-kasus kekerasan seksual.
Dengan regulasi yang lebih baik, perlindungan terhadap korban menjadi lebih maksimal, dan aparat penegak hukum dapat bekerja lebih efektif dalam menegakkan hukum khususnya terkait tindak pidana kekerasan seksual.