RUU TNI baru saja disahkan dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen Jakarta pada Kamis, (20/3/2025). Padahal, penolakan dari masyarakat masih bergema di berbagai tempat.
Banyak yang bertanya-tanya, apakah suara rakyat sudah tidak ada artinya? Jika keputusan besar seperti ini bisa diambil tanpa benar-benar mempertimbangkan aspirasi publik, lalu di mana letak demokrasi yang katanya berpihak pada rakyat?
Perubahan UU TNI kali ini memperbolehkan prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil di 14 kementerian dan lembaga negara. Ini bukan sekadar perubahan administratif, tetapi langkah yang berpotensi mengubah dinamika politik dan pemerintahan di Indonesia.
Reformasi 1998 jelas menekankan bahwa militer harus kembali ke baraknya dan tidak ikut campur dalam urusan sipil. Namun, aturan baru ini justru seperti membuka pintu yang dulu sudah ditutup rapat.
Apabila peran TNI di dalam pemerintahan semakin luas, lalu bagaimana nasib supremasi sipil yang seharusnya dijaga dalam sistem demokrasi?
Dilansir Reuters, para akademisi dan aktivis memperingatkan bahwa kebijakan ini bisa saja membawa Indonesia kembali ke era ketika militer memiliki pengaruh dominan dalam politik sipil.
Yang membuat masyarakat semakin geram adalah betapa cepatnya revisi ini disahkan. Tidak ada transparansi yang memadai, tidak ada ruang diskusi yang cukup. Kalau memang kebijakan ini dibuat untuk kepentingan rakyat, mengapa prosesnya seperti dikebut?
Penolakan datang dari berbagai kelompok masyarakat, mahasiswa, hingga aktivis pro-demokrasi. Namun, seakan sudah memiliki agenda sendiri, DPR tetap melanjutkan proses pengesahan tanpa ragu.
Merujuk laporan dari Suara.com, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan bahwa kritik masyarakat adalah bagian dari dinamika demokrasi. Pernyataan ini justru menegaskan betapa lemahnya komitmen DPR dalam mewakili suara rakyat.
Sekiranya demokrasi hanya dimaknai sebagai prosedur formal tanpa benar-benar mendengar aspirasi publik, maka keberadaan lembaga legislatif ini patut dipertanyakan.
Kepercayaan masyarakat terhadap DPR semakin menipis. Jika DPR terus mengesahkan undang-undang tanpa mempertimbangkan keresahan rakyat, bukan tidak mungkin jurang ketidakpercayaan semakin dalam.
Demokrasi seharusnya tidak hanya tentang siapa yang berkuasa, tetapi juga tentang bagaimana kebijakan diambil dengan legitimasi rakyat.
Pada akhirnya, masyarakat dihadapkan pada kenyataan pahit: suara mereka sering kali diabaikan. Kalau kondisi ini terus dibiarkan, maka lambat laun demokrasi hanya akan menjadi sekadar nama tanpa makna.
Rakyat punya pilihan: tetap diam dan menerima keadaan, atau mulai menuntut pertanggungjawaban dari mereka yang seharusnya menjadi wakil rakyat, bukan sekadar pelaksana kepentingan kelompok tertentu.