Angka pengangguran Indonesia yang menembus 7,28 juta per Februari 2025 seakan menampar kenyataan: di balik gegap gempita pertumbuhan ekonomi dan jargon bonus demografi, masih banyak yang terkubur dalam ketidakpastian.
Data Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap bahwa jumlah penganggur naik sekitar 83 ribu orang dibanding setahun sebelumnya, padahal Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) hanya turun tipis dalam persentase. Apa artinya? Simple: lebih banyak orang gagal menemukan pekerjaan meski seakan-akan angka statistik tampak lebih baik.
Berjalan di jalanan Ibu Kota, pemandangan pun tak jauh berbeda. Kelompok muda berkocek tebal bukan berasal dari gaji job first yang menjanjikan, melainkan keluarga mapan; sementara lulusan perguruan tinggi maupun tamatan sekolah menengah atas justru kian sulit memetik peluang.
Lowongan yang ada sering kali menuntut pengalaman bertahun-tahun, sertifikasi khusus, dan persyaratan melangit—padahal visi awal pendidikan adalah mempersiapkan generasi baru, bukan menjadikannya penonton di lapangan kerja.
Di ruang sidang parlemen hingga panggung media elektronik, gampang sekali memproduksi janji: pelatihan vokasi akan diperbanyak, program padat karya akan digenjot, insentif bagi pengusaha akan diperlonggar. Langkah-langkah ini terdengar masuk akal, tapi implementasinya kerap terhenti di birokrasi yang rumit dan dana yang tak kunjung cair.
Akhirnya, yang terlaksana hanyalah siraman wacana—banyak rapat koordinasi, banyak konferensi pers, minim bukti lapangan. Rakyat pun semakin peka; satu dua program uji coba disambut skeptisisme, sebab track record penerapan kebijakan selalu runtuh oleh kendala teknis dan akuntabilitas yang kabur.
Permasalahannya bukan cuma soal kuantitas lapangan kerja, tapi juga kualitas. Sektor formal yang menawarkan gaji layak kepada tenaga kerja terdidik semakin terbatas. Sebaliknya, sektor informal menjamur: ojek daring, usaha mikro kelontong, hingga warung lesehan.
Sementara itu, upah minimum sering dipertanyakan kecukupannya untuk menghidupi keluarga. Muncul paradoks: bekerja keras seharian belum tentu menjamin ketahanan hidup, apalagi masa depan. Rasa khawatir, jenuh, bahkan putus asa, menjadi teman sehari-hari bagi yang berstatus pencari pekerjaan.
Ironi lain yang tak boleh diabaikan adalah kesenjangan regional. Di ibu kota dan kota-kota besar, lapangan kerja mungkin tersedia, meski dengan persaingan ketat. Namun di daerah pinggiran dan pelosok, akses informasi dan pelatihan sering tertinggal, membuat potensi SDM lokal terbuang.
Migrasi massal muda-mudi menuju kota besar pun semakin masif, memicu tekanan urbanisasi yang tak diiringi pertumbuhan infrastruktur memadai. Alhasil, masalah pengangguran pun terpendam dalam kemiskinan urban yang kian membumbung.
Tulisan ini bukan sekadar mempermasalahkan angka dan statistik. Lebih jauh, ini tentang kerinduan akan keadilan sosial, hak setiap warga untuk bekerja, memperoleh penghasilan layak, dan menyusun mimpi masa depan. Bukankah pekerjaan adalah wujud paling konkret dari martabat?
Ketika peluang itu tak diberikan, lambat laun kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan akan memudar. Janji politik yang diulang-ulang di podium, tanpa aksi riil di masyarakat, justru menanam frustrasi yang lebih dalam.
Mekanisme demokrasi mestinya tidak hanya soal pemilihan suara, tapi juga pertanggungjawaban setelahnya. Pemerintah perlu memastikan bahwa janji-janji kampanye diubah menjadi program prioritas dengan target jelas, alokasi anggaran memadai, dan evaluasi berkala.
Kolaborasi dengan sektor swasta harus diarahkan pada penciptaan lapangan kerja terstruktur, bukan sekadar insentif fiskal tanpa kontrol. Pelatihan vokasi perlu didesain bersama industri, sehingga lulusan siap pakai. Tak kalah penting, akses informasi lowongan harus merata hingga ke pelosok desa.
Di saat yang sama, semangat kewirausahaan dan inovasi harus dirangkul. Riset dan pengembangan potensi lokal, misalnya pertanian urban, ekonomi kreatif, hingga teknologi digital, bisa menjadi titik tumpu baru.
Namun inisiatif ini memerlukan dukungan modal, pendampingan, serta ekosistem yang kondusif. Tanpa itu, semua gagasan akan kehilangan arah dan terulang dalam wacana kosong.
Pada akhirnya, pekerjaan bukanlah sekadar soal mencari uang. Ia adalah tentang memberi arti, menumbuhkan harapan, dan merawat rasa percaya diri.
Ketika janji politik begitu mudah diucapkan, sudah sewajarnya rakyat menuntut lebih keras: bukti nyata, bukan sekadar kata-kata manis. Karena bagaimanapun, di balik setiap angka pengangguran, ada jutaan cerita hidup yang menanti keadilan dan kesempatan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS