Pendidikan dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara bukan sekadar tempat menuntut ilmu, melainkan jalan menuju kemerdekaan manusia: merdeka dalam berpikir, merasa, dan bertindak. Ia memperjuangkan sistem pendidikan yang berpihak pada rakyat, inklusif, dan berakar pada budaya bangsa.
Namun, lebih dari satu abad sejak gagasan itu diperkenalkan, dunia pendidikan Indonesia justru makin menjauh dari cita-cita dasarnya. Alih-alih menjadi alat pembebasan, pendidikan kini kerap dijadikan alat konsolidasi kekuasaan. Di ruang-ruang parlemen dan panggung kampanye, pendidikan lebih sering tampil sebagai jargon politis daripada sebagai isu yang benar-benar diperjuangkan dengan serius.
Salah satu ironi terbesar dalam sejarah modern pendidikan kita adalah bagaimana anggaran pendidikan yang begitu besar justru menjadi lahan subur bagi politisasi dan proyek-proyek elitis. Dalam APBN 2024, alokasi anggaran pendidikan mencapai Rp660,8 triliun, atau sekitar 20% dari total anggaran negara—angka yang terlihat impresif di atas kertas.
Namun, kenyataan di lapangan jauh berbeda. Laporan Kemendikbudristek menunjukkan bahwa aliran dana tersebut tidak merata pemanfaatannya. Di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), sekolah-sekolah masih berjuang dengan keterbatasan fasilitas, guru yang kurang kompeten, hingga akses internet yang nyaris nihil. Bahkan menurut riset independen tahun 2024, hanya 40% guru di wilayah terluar yang pernah mendapat pelatihan lanjutan, sementara di kota besar angkanya mencapai 75%.
Ketimpangan ini diperparah oleh praktik komodifikasi pendidikan yang berlangsung secara sistemik. Sekolah unggulan menjadi simbol status sosial, bukan sarana pembelajaran universal. Biaya masuk sekolah favorit melambung tinggi, sementara sekolah-sekolah negeri di pinggiran kota dan desa kekurangan fasilitas dasar seperti perpustakaan, laboratorium, atau bahkan toilet yang layak.
Pendidikan, yang seharusnya menjadi jalan kesetaraan, berubah menjadi arena kompetisi berbasis privilese. Anak-anak dari keluarga kaya bisa mengakses bimbingan belajar, teknologi, dan lingkungan belajar yang nyaman; sementara anak-anak dari kelas pekerja harus menghadapi sistem yang berat sebelah sejak awal.
Laporan Litbang Kompas tahun 2023 menunjukkan indeks mutu pendidikan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya berada di atas angka 80, sementara di Nduga (Papua), Lembata (NTT), dan sebagian Kalimantan, angkanya berkisar di bawah 60. Ini bukan sekadar angka statistik, tetapi cermin ketimpangan struktural yang telah berlangsung lama dan belum kunjung diatasi secara serius.
Pendidikan bahkan telah menjadi instrumen politik yang manipulatif. Fenomena “kampus hijau” dan program beasiswa elitis yang sarat kepentingan politik menunjukkan bahwa institusi pendidikan semakin rawan diperalat.
Berdasarkan Laporan Transparansi Pendidikan 2023, 30% dari beasiswa besar di kampus-kampus negeri justru jatuh kepada calon mahasiswa yang punya hubungan dengan pejabat tinggi atau tokoh politik tertentu. Ketika kesempatan belajar diberikan bukan karena prestasi, tetapi karena kedekatan, maka matilah prinsip meritokrasi. Sistem seperti ini tidak hanya mencederai keadilan, tapi juga merusak fondasi moral pendidikan itu sendiri.
Politik yang masuk ke dunia pendidikan bukan hanya soal anggaran dan beasiswa. Lebih halus dari itu, ia masuk melalui kurikulum, pengangkatan kepala sekolah, bahkan narasi sejarah dalam buku pelajaran. Banyak kebijakan pendidikan lahir bukan dari kebutuhan peserta didik, melainkan dari ambisi para elite untuk membentuk “produk” manusia sesuai selera penguasa. Bukannya melahirkan siswa yang kritis, humanis, dan bebas, pendidikan kita justru sering kali mendidik untuk tunduk, hafal, dan seragam.
Di sinilah suara Ki Hadjar terasa makin relevan, tetapi ironisnya, justru paling diabaikan. Pendidikan menurutnya harus berpihak pada rakyat, membentuk budi pekerti, bukan sekadar kecerdasan akademik. Namun saat ini, sekolah lebih sibuk mengejar akreditasi digital, guru dibebani administrasi tanpa ruang berkarya, dan siswa dinilai dari angka-angka ujian yang tidak memotret potensi manusia secara utuh. Sistem kita tampak modern secara teknologi, tapi mundur dalam nilai-nilai kemanusiaan.
Ketika pendidikan menjadi komoditas, maka orientasi utamanya bukan lagi kemajuan manusia, melainkan keuntungan politik. Kita menciptakan sistem yang hanya mencetak lulusan, bukan membangun manusia. Elite politik membanggakan pembangunan sekolah bertingkat, namun menutup mata terhadap anak-anak yang harus berjalan berkilo-kilometer untuk belajar di ruang reyot. Mereka berbicara tentang "revolusi pendidikan," tapi masih mewarisi cara berpikir kolonial yang memisahkan rakyat dari akses ilmu pengetahuan yang adil.
Pendidikan bukan panggung kampanye. Ia adalah hak asasi manusia yang seharusnya dijamin tanpa syarat. Jika para pengambil kebijakan benar-benar mendengar suara Ki Hadjar, mereka akan tahu bahwa membangun bangsa bukan soal membanggakan anggaran atau statistik, tapi soal membebaskan manusia dari ketertindasan sistem. Kini saatnya menyadari: semakin lama pendidikan dipolitisasi, semakin jauh pula kita dari cita-cita bangsa yang merdeka secara intelektual, sosial, dan budaya.
Pendidikan bukanlah panggung kampanye atau alat pencitraan semata. Pendidikan adalah hak asasi manusia yang fundamental, sebuah fondasi untuk kebebasan dan keadilan sosial, yang seharusnya dijamin tanpa syarat oleh negara. Jika para pengambil kebijakan benar-benar mendengar dan memahami suara Ki Hadjar, mereka akan menyadari bahwa membangun bangsa tidak dapat diukur hanya melalui besarnya anggaran atau statistik yang mencengangkan, melainkan melalui kemampuan sistem pendidikan untuk membebaskan setiap individu dari belenggu ketertindasan dan ketidakmerataan.
Saat ini, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 memperlihatkan bahwa meski alokasi pendidikan di APBN mencapai Rp660,8 triliun, namun indikator pemerataan mutu dan akses belajar masih jauh dari target. Angka partisipasi guru yang hanya mencapai 40% di daerah terpencil, dibandingkan dengan 75% di kota besar, menegaskan bahwa kebijakan yang ada belum menjangkau seluruh pelosok negeri.
Selain itu, survei UNESCO tahun 2023 menunjukkan bahwa hampir 18% anak di daerah marginal belum mendapatkan pendidikan dasar yang layak, sebuah fakta yang mencerminkan jurang yang masih lebar antara retorika kebijakan dan realitas di lapangan.
Bahkan, di era dimana transformasi digital diharapkan menjadi kunci peningkatan kualitas pendidikan, hanya sekitar 55% sekolah di daerah tertinggal yang telah terintegrasi dengan teknologi pembelajaran modern. Kondisi inilah yang membuktikan bahwa politisasi dan komodifikasi pendidikan telah menggeser prioritas sistem pendidikan dari tujuan mulia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan dan pencitraan politik semata.
Pendekatan kebijakan yang lebih manusiawi dan inklusif diperlukan untuk mengembalikan esensi pendidikan yang telah lama diperjuangkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Artinya, reformasi pendidikan harus melampaui angka-angka statistik dan menitikberatkan pada pemberdayaan individu melalui pendidikan yang merata.
Pemerintah perlu mengoptimalkan akses ke fasilitas pendidikan berkualitas, khususnya di daerah 3T, dengan meningkatkan anggaran secara lebih tepat sasaran dan menyertai dengan pendampingan yang intensif bagi para pendidik. Laporan dari Lembaga Kajian Pendidikan Indonesia 2024 menyarankan agar kebijakan pendidikan tidak lagi difokuskan semata pada akreditasi atau peringkat, melainkan pada penciptaan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan karakter, kreativitas, dan kemandirian berpikir.
Dengan demikian, semakin lama pendidikan dipolitisasi dan dijadikan alat untuk memenangkan citra politik, semakin jauh pula kita dari cita-cita bangsa yang merdeka secara intelektual, sosial, dan budaya. Jalan menuju kemerdekaan sejati adalah dengan mengembalikan hak setiap individu untuk mendapatkan pendidikan yang adil dan berkualitas, yang mendorong kebebasan berpikir dan kemandirian. Hanya dengan reformasi yang menyeluruh dan berfokus pada nilai kemanusiaan, bangsa ini dapat mewujudkan sistem pendidikan yang tidak hanya membebaskan pikiran, tetapi juga membuka peluang bagi transformasi sosial yang nyata dan berkeadilan.
Daftar Pustaka
- Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Statistik Pendidikan Indonesia 2024. Jakarta: BPS.
- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek). (2024). Laporan Kinerja dan Anggaran Kemendikbudristek Tahun 2024. Jakarta: Kemendikbudristek.
- Litbang Kompas. (2023). Indeks Pembangunan Pendidikan Indonesia 2023. Jakarta: Harian Kompas.
- UNESCO Institute for Statistics. (2023). Out-of-School Children and Youth: Regional Overview for Asia-Pacific. Paris: UNESCO.
- Koalisi Pendidikan untuk Semua. (2023). Laporan Transparansi dan Pemerataan Akses Beasiswa di Indonesia. Jakarta: KPSA.
- Lembaga Kajian Pendidikan Indonesia (LKPI). (2024). Kesenjangan Pendidikan dan Ketimpangan Struktural di Indonesia. Yogyakarta: LKPI.
- Setiawan, A. (2020). Politik Pendidikan di Indonesia: Kajian Kritis terhadap Praktik Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Suryadarma, D. & Jones, G.W. (2013). Education in Indonesia: A White Elephant?. Singapore: ISEAS–Yusof Ishak Institute.
- Ki Hadjar Dewantara. (1967). Pendidikan: Bagian Pertama. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.
- World Bank. (2023). Indonesia Education Sector Assessment: Addressing Inequality and Improving Learning. Washington D.C.: The World Bank Group.
- Tempo Data & Analysis. (2023). Dana Pendidikan dan Realitas Lapangan: Dari APBN hingga Sekolah 3T. Jakarta: Tempo Publishing.
- Indonesian Corruption Watch (ICW). (2022). Pendidikan dalam Bayang-bayang Politik dan Korupsi. Jakarta: ICW.