Modal Impor Mahal, Harga Jual Naik: Apakah Daya Beli Konsumen Stabil?

Hayuning Ratri Hapsari | Rial Roja Saputra
Modal Impor Mahal, Harga Jual Naik: Apakah Daya Beli Konsumen Stabil?
Ilustrasi pembeli dan penjual. (Pixabay/lauraelatimer0)

Belakangan ini, ada tren yang membuat banyak pelaku usaha bingung: naiknya biaya impor. Entah itu pelemahan rupiah, naiknya biaya logistik global, atau kebijakan luar negeri yang makin ketat, semua faktor tersebut mendorong harga barang impor naik.

Efek dominonya? Tentu saja, hal ini juga menyebabkan harga eceran di dalam negeri ikut naik. Pertanyaan mendesak sekarang adalah: apakah konsumen kita siap menghadapi tekanan harga ini? 

Banyak yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia tangguh. Namun, jika harga terus naik tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan, ketahanan tersebut dapat dengan mudah berubah menjadi frustrasi.

Di sinilah kita mulai melihat gambaran ekonomi yang sebenarnya: bukan hanya tentang neraca perdagangan atau inflasi, tetapi juga tentang psikologi konsumen dan adaptasi pasar.

Antara Impor dan Ketergantungan

Mari kita hadapi kenyataan: sebagian besar kebutuhan industri Indonesia masih bergantung pada bahan baku dan barang modal impor. Mulai dari mesin pabrik dan komponen elektronik hingga bahan baku farmasi, sebagian besar masih bersumber dari luar negeri.

Ketika biaya impor naik, bisnis dihadapkan pada dua pilihan sulit: menyerap kerugian agar tetap kompetitif atau menaikkan harga agar tetap bertahan. Karena tidak semua orang dapat menyerap kerugian dalam jangka waktu lama, menaikkan harga menjadi suatu keharusan.

Ini bukanlah isu baru, tetapi dalam konteks saat ini—di mana daya beli konsumen masih pulih dari pandemi dan tekanan ekonomi global terus berlanjut—dampaknya lebih terasa.

Daya Beli: Sekadar Bertahan atau Mencari Cara Bertahan?

Masyarakat Indonesia memang unik. Ketika harga naik, mereka tidak serta merta berhenti berbelanja. Sebaliknya, mereka mencari cara untuk beradaptasi: beralih ke produk substitusi, mengurangi pembelian, atau mencari promosi dan diskon.

Dalam banyak kasus, ketahanan konsumen ini menunjukkan kreativitas mereka dalam menghadapi tekanan ekonomi.

Namun, pertanyaannya tetap: sampai kapan ini bisa berlangsung? Jika kenaikan harga bersifat sementara, masyarakat mungkin masih bisa bertahan.

Namun, jika tren ini terus berlanjut dalam jangka waktu yang panjang misalnya, hingga tahun depan kita perlu melihatnya bukan sebagai 'fase sementara', tetapi sebagai realitas baru yang membutuhkan strategi baru. 

Di sinilah peran pemerintah, pelaku usaha, bahkan konsumen sendiri menjadi krusial. Ini bukan sekadar penyesuaian harga, tetapi juga perubahan kebiasaan konsumsi, pola produksi, dan orientasi pasar.

Dari Konsumsi ke Produksi Lokal: Saatnya Mengurangi Ketergantungan

Satu ide yang mulai diminati adalah penekanan pada penguatan produksi dalam negeri. Ini lebih dari sekadar slogan “cintai produk lokal”; ini bertujuan untuk benar-benar mendorong industri lokal agar bersaing secara efektif dan mengganti impor dengan alternatif buatan lokal.

Namun, ini tidak akan terjadi dalam semalam. Ini akan membutuhkan insentif kebijakan yang mendukung, ekosistem industri yang kondusif, akses ke modal, dan tenaga kerja yang kompetitif.

Namun, tingginya biaya impor saat ini dapat menjadi momen untuk refleksi menyoroti kerentanan ekonomi nasional kita terhadap ketergantungan yang berlebihan pada produk asing.

Bayangkan jika barang-barang penting seperti peralatan medis, persediaan makanan, atau teknologi dasar dapat diproduksi di dalam negeri dengan kualitas tinggi. Di masa gejolak global, kita akan memiliki perisai yang kuat untuk melindungi harga jual dan mempertahankan daya beli kita.

Daya Beli dan Pola Belanja: Konsumen Baru yang Lebih Cerdas

Salah satu aspek menarik dari situasi ini adalah munculnya tipe konsumen baru di Indonesia. Meski daya beli mungkin tidak selalu meningkat, konsumen kita menjadi lebih cerdas. Mereka kini membandingkan harga, mencari alternatif, lebih selektif dalam memilih produk, dan lebih menyadari nilai uang.

Artinya, apa yang tampak seperti tantangan sebenarnya bisa menjadi peluang. Bisnis yang dapat menyediakan produk berkualitas dengan harga yang kompetitif masih memiliki peluang besar untuk bertahan dan bahkan berkembang.

Di sisi lain, merek yang terlalu mengandalkan citranya dan gagal menyesuaikan harga bisa jadi akan kehilangan pelanggan. Konsumen masa kini tidak lagi hanya didorong oleh tren; mereka melakukan pembelian berdasarkan kebutuhan dan pertimbangan rasional mereka.

Kesimpulan: Bukan Tentang Siap atau Tidak, Tapi Mau Berubah atau Tidak

Biaya impor yang tinggi dan harga jual yang terus naik tentu saja menjadi tekanan bagi kita. Namun, apakah kita benar-benar siap menghadapi tantangan ini?

Jawabannya mungkin bukan terletak pada kesiapan atau ketidaksiapan kita, tetapi pada kemauan kita untuk beradaptasi. Baik pelaku usaha maupun konsumen memegang peranan penting dalam menjaga perekonomian agar terus bergerak maju.

Kita perlu mendorong lebih banyak inovasi produk lokal, mengembangkan strategi pemasaran yang lebih kreatif, dan mendorong konsumen untuk lebih berhati-hati dalam kebiasaan berbelanja mereka.

Pada akhirnya, daya beli bukan hanya tentang seberapa banyak uang yang dimiliki seseorang, tetapi seberapa bijak uang tersebut dibelanjakan.

Jika hal ini dapat kita capai, maka kenaikan harga tidak lagi menjadi beban, tetapi menjadi batu loncatan menuju perekonomian yang lebih mandiri.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak