Ngopi pada zaman ini bukan sekadar soal menikmati rasanya yang pekat khas atau aroma yang menggugah selera. Bagi banyak Gen Z, kegiatan ngopi telah menjelma menjadi bagian dari gaya hidup yang penuh estetika. Tak jarang, tujuan utama datang ke kafe bukan lagi untuk merasakan kopi itu sendiri, melainkan untuk mencari spot foto yang instagramable, suasana yang cocok untuk konten TikTok, atau sekadar memamerkannya lewat instastory.
Fenomena ini semakin diperkuat oleh budaya FOMO, singkatan dari Fear of Missing Out, atau dalam bahasa yang lebih gampang bisa diartikan sebagai “takut ketinggalan tren”. FOMO dapat membuat seseorang merasa gelisah atau kurang “update” jika tidak ikut serta dalam aktivitas yang sedang ramai dibicarakan.
Pada era saat ini, termasuk nongkrong di kafe hits atau mencicipi menu kopi viral. Alhasil, yang dicari bukan lagi kenikmatan rasa, tapi validasi sosial, yang dapat berbentuk likes, views, atau sekadar story yang tak membuat mereka merasa tertinggal dari lingkaran pertemanan.
Penelitian oleh Munggarsari dan Ahmad dalam Serat Rupa: Journal of Design menyebutkan bahwa FOMO bisa mendorong konsumen untuk ikut-ikutan membeli atau datang ke tempat yang sedang ramai dibicarakan. Dengan membuat konten yang memperlihatkan bagusnya coffeeshop, bisa menarik perhatian lebih banyak orang untuk mendatanginya.
Selain itu, kebanyakan bagi generasi Z, nongkrong di coffeeshop sering dijadikan sarana untuk yaitu mencari validasi dari orang lain. Biasanya, ini dilakukan dengan cara mengunggah foto atau aktivitas mereka di media sosial saat berada di coffee shop. Hal ini menciptakan kebiasaan baru yang menjadikan ngopi bukan hanya soal rasa, tapi juga soal gaya dan eksistensi sosial.
1. Dampak buruk terhadap diri sendiri

Dampak buruk yang muncul adalah perilaku konsumtif pada diri sendiri. Penelitian yang dilakukan Ringga dan Arsal yang terbit di Solidarity: Journal of Education, Society and Culture menyebutkan bahwa Perilaku konsumtif seseorang dapat terlihat dari kecenderungan mereka menghabiskan uang lebih banyak dari yang seharusnya, terutama untuk hal-hal yang sedang tren. Banyak dari gen Z kini tertarik mengunjungi tempat-tempat viral seperti coffee shop aesthetic agar tidak tertinggal tren.
Dalam penelitian itu juga menyebutkan bahwa terdapat mahasiswa yang rela merogoh kocek lebih dalam demi mencoba makanan atau sekadar menikmati suasana tempat yang terlihat menarik di media sosial.
Dampaknya, pola pengeluaran mahasiswa tersebut berubah. Jika sebelumnya mereka hanya menghabiskan sekitar Rp100.000 untuk makan di tempat sederhana seperti warung dekat kampus, kini pengeluaran bisa mencapai Rp300.000 hanya untuk satu kali kunjungan ke kafe yang sedang viral. Perubahan ini menunjukkan adanya pergeseran prioritas, yaitu konten media sosial menjadi hal yang lebih diutamakan dibanding kebutuhan dasar.
2. Cara mengatasinya dengan kontrol diri

Cara untuk mengatasi agar tidak terbawa arus dan merasakan FOMO terus-terusan adalah perlunya kontrol diri. Salah satu artikel di Jurnal Mahasiswa Humanis yang ditulis oleh Kartohadiprodjo dan Suryadi mengungkapkan bahwa kontrol diri adalah kemampuan seseorang untuk mengatur pikiran, emosi, dan perilakunya agar tetap fokus pada tujuan yang sudah ditetapkan.
Kemampuan ini membantu seseorang untuk menunda keinginan sesaat, mengendalikan dorongan spontan, serta menjaga tindakan agar tetap sesuai dengan apa yang dianggap benar atau penting. Jika dikaitkan dengan fenomena fomo coffeshop, kontrol diri dapat dilakukan dengan tidak terbawa arus pertemanan.
Jika dirasa hanya memiliki uang yang cukup untuk kebutuhan dasar, cukup penuhi hal tersebut. Tidak ikut dalam sebuah tren adalah bentuk kontrol atas diri sendiri. Beranilah membatasi diri untuk kegiatan tertentu, dan fokus pada tujuan yang sekiranya lebih positif.
Fenomena ngopi yang kini lebih menekankan pada gaya memang tak bisa dipisahkan dari perkembangan media sosial dan budaya FOMO di kalangan Gen Z. Meski terlihat menyenangkan, tren ini bisa berdampak pada perilaku konsumtif yang merugikan diri sendiri, terutama jika tidak diimbangi dengan kontrol diri yang baik.
Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk lebih bijak dalam menyikapi tren dan tidak selalu merasa perlu mengikuti segala yang viral. Dengan mengatur emosi, pikiran, dan kebiasaan konsumsi, setiap orang dapat tetap menikmati gaya hidup modern tanpa harus kehilangan kendali atas keuangan dan prioritas hidupnya.
Tapi, selama masih bisa dinikmati, dan tidak untuk mendapat validasi orang lain, tidak masalah ikut tren dan nongkrong di coffeeshop aesthetic dan hits itu. Kalau semua itu justru bikin kantong jebol dan jadi ngerasa wajib update terus biar nggak ketinggalan, mungkin sudah waktunya tarik napas sebentar dan tanya ke diri sendiri: “Ini buat aku, atau buat orang lain?”.
Dengan kontrol diri, kita tetap bisa menentukan mana yang baik atau yang buruk untuk diri sendiri. Semua itu tergantung prioritas, jika menurutmu tidak mengganggu kehidupanmu dan kamu sangat menyukainya, maka lakukanlah, jika hanya membawa dampak negatif sebaiknya jangan dilakukan ya!