Dari Dongeng ke Scrolling: Hilangnya Sentuhan Orang Tua dalam Tumbuh Kembang Anak

Hayuning Ratri Hapsari | Davina Aulia
Dari Dongeng ke Scrolling: Hilangnya Sentuhan Orang Tua dalam Tumbuh Kembang Anak
Ilustrasi anak-anak (freepik.com/freepik)

Di banyak sudut kafe di kota besar Indonesia, pemandangan yang berulang kini menjadi lumrah, satu keluarga duduk bersama di satu meja, namun tidak saling berbicara.

Ayah dan ibu sibuk menatap layar ponsel masing-masing, sementara anak-anak, bahkan yang masih balita diberi tablet atau ponsel untuk "anteng" selama orang dewasa berbincang atau sekadar menikmati waktu sendiri.

Tak ada tawa riuh, tak ada celoteh polos, dan tak ada interaksi yang hangat di antara mereka. Yang terdengar hanyalah suara latar musik kafe dan sesekali notifikasi digital. Ironisnya, meski mereka duduk berdekatan secara fisik, secara emosional mereka tampak berjauhan.

Fenomena ini mencerminkan pergeseran drastis dalam dinamika keluarga, di mana gadget, bukan orang tua, kini menjadi penenang utama anak-anak di ruang sosial keluarga.

Gadget sebagai Pengasuh Kedua

Picture of shocked young unshaven male (freepik.com/karlyukaf)
Ilustrasi ayah dan anak (freepik.com/karlyukaf)

Di banyak rumah tangga masa kini, layar gadget telah menggantikan kehadiran orang tua dalam rutinitas anak sehari-hari. Mulai dari balita yang diberikan ponsel agar tidak rewel saat makan, hingga anak-anak yang menghabiskan sore mereka dengan menonton video di YouTube, fenomena ini mencerminkan bentuk pengasuhan permisif yang semakin lazim.

Dalam pola asuh ini, orang tua cenderung membiarkan anak memilih sendiri aktivitasnya tanpa batasan tegas dan gadget pun menjadi solusi instan untuk menenangkan atau mengalihkan perhatian anak.

Permissive parenting bukanlah hal baru, tetapi kehadiran teknologi mempercepat dan memperluas dampaknya. Ketika orang tua lelah, sibuk bekerja, atau tidak tahu harus berinteraksi seperti apa dengan anak, layar menjadi ‘penjaga’ yang diam tapi efektif.

Anak-anak yang dulu ditenangkan dengan cerita, pelukan, atau permainan sederhana kini disodori tayangan animasi dan aplikasi permainan. Tanpa disadari, kebiasaan ini memindahkan peran pengasuhan emosional dan kognitif dari manusia ke mesin, lebih tepatnya, ke algoritma.

Dari Cerita ke Scroll: Perubahan Pola Interaksi

Students using a digital tablet in class (freepik.com/pressfoto)
Ilustrasi anak-anak (freepik.com/pressfoto)

Salah satu perubahan besar dari tumbuh bersama layar adalah berkurangnya momen mendongeng atau aktivitas klasik yang bukan sekadar hiburan, tetapi juga bentuk koneksi emosional, pendidikan nilai, dan pengembangan imajinasi.

Ketika orang tua tidak lagi membacakan cerita atau berbincang dengan anak, hubungan emosional antara keduanya menjadi lebih renggang dan fungsional semata.

Layar memberi stimulasi visual yang cepat dan menarik, tetapi tidak menggantikan kebutuhan anak akan interaksi manusia yang hangat dan empatik.

Berbagai studi menyebutkan bahwa anak-anak yang terlalu banyak terpapar layar sejak dini memiliki risiko keterlambatan bicara, kesulitan berkonsentrasi, dan kurangnya kemampuan sosial.

Hal ini diperparah oleh konten digital yang dikendalikan oleh algoritma, didesain untuk mempertahankan perhatian, bukan mendidik secara utuh. Maka, yang terjadi bukanlah anak belajar dari cerita, melainkan dari pola konsumsi konten yang pasif dan repetitif.

Membangun Kembali Ruang Emosional di Era Digital

A Father and Son Lying Down Together (Pexels.com/Pavel Danil Yuk)
Ilustrasi ayah dan anak (Pexels.com/Pavel Danil Yuk)

Fenomena ini bukan berarti teknologi harus dijauhi sepenuhnya, tetapi bagaimana orang tua menggunakannya secara bijak dan sadar.

Pengasuhan tidak bisa diserahkan pada layar, seberapa pun canggih atau edukatifnya konten yang ditonton anak. Kehangatan, perhatian, dan keterlibatan aktif orang tua tetap menjadi pilar penting dalam tumbuh kembang anak.

Sudah saatnya orang tua merebut kembali momen mendongeng, bermain bersama, atau sekadar berbincang dengan anak. Teknologi bisa dijadikan alat bantu, bukan pengganti.

Misalnya, orang tua bisa memilih konten edukatif lalu menontonnya bersama anak dan berdiskusi ringan setelahnya. Ini membantu anak belajar mengolah informasi, mengungkapkan pendapat, dan merasa terhubung secara emosional.

Di tengah dunia yang semakin digital, anak-anak tetap membutuhkan cerita, bukan hanya dari layar, tetapi dari suara dan tatapan orang tua mereka. Karena sesungguhnya, yang membentuk karakter anak bukan hanya apa yang mereka tonton, tapi dengan siapa mereka bertumbuh. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak