IPK Tinggi Bukan Lagi Jaminan: Keluhan Gen Z tentang Pendidikan

Sekar Anindyah Lamase | Inggrid Tiana
IPK Tinggi Bukan Lagi Jaminan: Keluhan Gen Z tentang Pendidikan
Ilustrasi sarjana (Pexels/Emily Ranquist)

Ada sebuah narasi yang sering kali terdengar di kalangan Generasi Z, bahwa sistem pendidikan yang ada saat ini terasa kurang relevan dengan realitas dunia kerja yang serba cepat.

Mereka adalah generasi yang tumbuh di era digital, di mana informasi bisa diakses dalam hitungan detik. Namun, mereka juga merasa terperangkap dalam kurikulum yang kaku dan metode pembelajaran yang cenderung monoton.

Bagi mereka, pendidikan bukan lagi sekadar soal IPK tinggi atau gelar sarjana, melainkan tentang bagaimana cara bertahan dan unggul di dunia yang terus berubah. Inilah salah satu keluhan besar yang sedang mereka rasakan.

Sejak kecil, banyak dari kita didoktrin bahwa nilai bagus adalah kunci kesuksesan. Masuk sekolah favorit, lalu kampus ternama, dan tamat dengan IPK cemerlang akan menjamin pekerjaan yang mapan.

Namun, Gen Z kini menghadapi kenyataan yang berbeda. Mereka melihat bahwa seorang teman dengan IPK biasa-biasa saja, namun punya portofolio dan soft skills yang kuat, justru lebih mudah mendapatkan pekerjaan atau bahkan sukses membangun bisnis sendiri.

Sementara itu, gelar sarjana dari kampus ternama tidak lagi menjadi jaminan. Hal ini memicu pertanyaan besar, apakah sistem pendidikan kita sudah ketinggalan zaman?

Banyak Gen Z mengeluhkan bahwa kurikulum yang ada terlalu teoritis dan tidak praktis. Mata pelajaran yang diajarkan seringkali tidak memiliki kaitan langsung dengan kebutuhan industri yang terus berkembang.

Misalnya, mereka merasa lebih membutuhkan skill digital, kemampuan komunikasi, atau pemahaman tentang analisis data, ketimbang menghafal teori-teori yang jarang diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari. Mereka butuh pengalaman nyata, studi kasus, dan proyek-proyek yang menantang, bukan sekadar tugas-tugas hafalan.

Di sinilah peran penting pengembangan diri di luar bangku kuliah menjadi sangat menonjol. Bagi Gen Z, belajar tidak lagi terbatas di ruang kelas. Mereka sangat mengandalkan berbagai platform edukasi online seperti Coursera, Udemy, edX, hingga YouTube untuk mendapatkan ilmu dan keterampilan baru yang relevan.

Mereka sadar betul bahwa untuk bisa bersaing, mereka harus memiliki hard skills yang spesifik dan soft skills yang kuat. Mereka dengan sendirinya mencari kursus coding, belajar desain grafis, mendalami teknik pemasaran digital, atau mengasah kemampuan berbicara di depan umum.

Fenomena ini bukan sekadar tren, melainkan sebuah respons adaptif terhadap tuntutan zaman. Di dunia kerja sekarang, perusahaan tidak hanya mencari karyawan yang pintar secara akademis, tetapi juga yang fleksibel, kreatif, mampu berpikir kritis, dan bisa bekerja sama dalam tim.

Inilah yang disebut dengan keterampilan abad ke-21, dan banyak Gen Z merasa bahwa mereka tidak mendapatkan keterampilan ini secara memadai dari pendidikan formal. Mereka harus mencarinya sendiri, di luar jam kuliah atau sekolah, dengan biaya dan usaha ekstra.

Keluhan lainnya adalah terkait biaya pendidikan yang terus melonjak. Banyak Gen Z merasa tertekan secara finansial, terutama mereka yang mengambil pinjaman pendidikan.

Mereka merasa bahwa investasi besar yang dikeluarkan untuk pendidikan formal tidak sepadan dengan hasil yang didapat di dunia kerja, terutama jika mereka hanya bisa mendapatkan gaji UMR di awal karier.

Hal ini menciptakan lingkaran kecemasan yang tak berujung, cemas akan masa depan, cemas tidak bisa membayar utang, dan cemas tidak bisa mengejar impian.

Melihat fenomena ini, para pendidik dan lembaga pendidikan perlu beradaptasi. Mereka harus mulai mendengarkan suara Gen Z. Kurikulum perlu direformasi agar lebih relevan dengan kebutuhan industri.

Metode pembelajaran harus lebih interaktif, praktis, dan mendorong kolaborasi. Selain itu, institusi pendidikan juga bisa memfasilitasi program-program upskilling dan reskilling yang sesuai dengan minat dan bakat mahasiswa.

Namun, di balik semua keluhan ini, ada sisi positif yang perlu kita hargai. Gen Z adalah generasi yang sangat proaktif dalam belajar. Mereka tidak menunggu untuk disuapi, melainkan mencari ilmu sendiri dari berbagai sumber.

Mereka sadar bahwa tanggung jawab untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka ada di tangan mereka sendiri. Mereka juga punya semangat kewirausahaan yang tinggi, banyak dari mereka yang sudah memulai bisnis atau proyek sampingan di usia muda, memanfaatkan keterampilan yang mereka pelajari secara otodidak.

Pada akhirnya, keluhan Gen Z tentang pendidikan bukan sebuah cerminan rasa malas atau tidak tahu diri. Sebaliknya, itu adalah wujud kepedulian dan pemikiran kritis mereka terhadap sistem yang mereka anggap tidak lagi sesuai.

Mereka menginginkan pendidikan yang lebih dari sekadar transfer pengetahuan, melainkan sebuah proses yang membekali mereka dengan alat-alat yang diperlukan untuk menghadapi tantangan di dunia nyata.

Hal ini adalah seruan agar kita semua, baik sebagai pendidik, orang tua, maupun masyarakat, untuk ikut beradaptasi dan mendukung perjalanan mereka menuju masa depan yang lebih cerah.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak