Salah satu stigma yang masih sering melekat pada pembaca buku adalah anggapan bahwa mereka itu antisosial, penyendiri, atau bahkan “tidak gaul”.
Anggapan ini biasanya muncul dari stereotip yang sudah lama terbentuk yang mengatakan bahwa seseorang yang betah duduk berjam-jam membaca, lebih suka tenggelam dalam buku daripada ikut nongkrong, dan cenderung menutup diri dari pergaulan.
Padahal, anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Membaca memang aktivitas yang dilakukan sendiri, tapi bukan berarti pembacanya antisosial.
Tak jarang, orang yang rajin membaca diberi julukan “kutu buku”, dan sayangnya, istilah ini tidak selalu digunakan dengan nada yang positif, tak jarang juga dimaknai sebagai ejekan.
Di lingkungan sekolah, sosok kutu buku sering digambarkan sebagai orang yang pendiam, aneh, lemah, atau bahkan kurang gaul. Stigma ini membuat banyak pelajar enggan menunjukkan minat bacanya secara terbuka.
Mereka takut dijauhi teman, dianggap membosankan, atau dinilai “terlalu serius”. Padahal minat membaca seharusnya menjadi hal yang patut diapresiasi, bukan disudutkan.
Kini saatnya julukan “kutu buku” bagi seseorang yang senang membaca buku seharusnya tidak lagi menjadi ejekan, melainkan simbol dari semangat belajar dan keingintahuan yang besar.
Justru banyak pembaca buku adalah individu yang aktif, terbuka, dan punya empati tinggi. Mereka hanya punya cara berbeda dalam mengisi waktu, berekreasi, dan memahami dunia.
Sebaliknya, membaca bisa menjadi jembatan untuk membangun relasi sosial. Dari buku, seseorang bisa punya bahan obrolan yang luas tentang isu sosial, budaya, sejarah, bahkan percintaan.
Banyak pembaca justru sangat terbuka saat membicarakan buku yang mereka baca. Mereka antusias berbagi, merekomendasikan judul, hingga berdiskusi panjang lebar di klub baca atau forum daring. Ini tentu bukan ciri-ciri orang yang antisosial.
Selain itu, membaca buku bisa melatih kemampuan berempati. Saat seseorang membaca novel, misalnya, ia diajak masuk ke dalam pikiran dan perasaan tokoh-tokoh berbeda.
Ia merasakan bagaimana menjadi orang lain. Hal ini secara tidak langsung membentuk kepekaan sosial dan empati, dua hal yang sangat penting dalam berinteraksi dengan sesama.
Bahkan kini, komunitas-komunitas pembaca bermunculan di berbagai kota dan platform digital. Mereka saling bertukar pikiran, mengadakan bedah buku, bahkan membuat proyek literasi sosial.
Ini membuktikan bahwa membaca buku tidak membuat seseorang tertutup atau bahkan anti-sosial, justru bisa membuka lebih banyak ruang interaksi sosial.
Kemunculan berbagai komunitas atau klub baca juga tak jarang menjadi pemancing bagi mereka yang memiliki kepribadian yang tertutup untuk lebih berani dan terbuka.
Hal ini juga sebagai salah satu hal yang bisa menolak stigma bahwa pembaca buku adalah orang yang anti-sosial. Sedangkan dalam komunutas kita dituntut untuk bisa untuk berkomunikasi dengan baik dengan sesama pembaca buku.
Komunikasi ini tentu memicu adanya interaksi sosial di antara pembaca buku, sehingga dimanakah letak anti-sosialnya? Mungkin yang perlu disadari adalah, tidak semua orang nyaman dengan interaksi yang sama. Ada yang suka keramaian, ada yang lebih suka percakapan mendalam dalam ruang kecil.
Dan itu sah-sah saja. Hanya karena seseorang memilih membaca buku di kafe sendirian, bukan berarti dia menolak kehadiran orang lain. Bisa jadi, itulah cara dia menikmati hidup sambil tetap terkoneksi dengan dunia.
Stigma bahwa pembaca itu penyendiri harus diluruskan. Membaca adalah pilihan gaya hidup, bukan tanda isolasi sosial. Yang justru perlu didukung adalah bagaimana kita melihat membaca sebagai cara memperkaya diri, membuka perspektif, dan memperkuat hubungan antar manusia, bukan sebagai tembok pembatas.