Bagi banyak orang, Hari Raya Idul Fitri bukan hanya soal libur panjang atau baju baru. Lebaran adalah momen pulang ke rumah, kembali ke pelukan keluarga, dan menikmati hidangan khas yang hanya tersaji setahun sekali.
Bagi saya, salah satu rasa yang paling saya rindukan saat lebaran tiba adalah nasi tumpang khas Kediri, hidangan sederhana namun penuh makna yang selalu hadir setiap kali saya mudik ke Kertosono, kampung halaman dari pihak ayah.
Setiap mudik ke Kertosono kami selalu disambut dengan hangat, bukan hanya oleh keluarga besar, tetapi juga oleh aroma nasi tumpang yang menggoda dari dapur rumah saudara. Rasanya seperti sinyal kecil yang menyatakan bahwa saya sudah benar-benar pulang.
Nasi tumpang memang punya ciri khas tersendiri. Inti dari hidangan ini adalah sambal tumpang, yang terbuat dari tempe semangit, yaitu tempe yang dibiarkan sedikit berumur, lalu diolah dengan bumbu rempah dan santan. Hasilnya adalah saus berwarna cokelat pucat dengan rasa gurih, sedikit pedas, dan punya aroma khas yang susah dilupakan.
Biasanya, nasi tumpang disajikan bersama sayur rebus, tahu goreng, telur rebus, dan tentu saja, keripik peyek yang renyah. Setiap lauk tambahan itu terasa pas, menyatu dalam satu piring, menciptakan rasa yang tidak hanya memanjakan lidah tapi juga membangkitkan kenangan tersendiri.
Hal yang paling saya rindukan adalah suasana dapur rumah saudara yang selalu ramai menjelang lebaran. Para bibi dan sepupu sibuk mengulek bumbu, mencicipi masakan, sambil berbincang. Ada kehangatan yang tak bisa ditemukan di tempat lain. Bahkan hanya dengan mencium aroma sambal tumpang yang sedang dimasak pun, hati ini sudah merasa tenang.
Setelah semua siap, kami biasanya berkumpul di ruang tengah. Meja panjang penuh dengan piring-piring berisi nasi tumpang, sambal, sayur, dan aneka pelengkap. Kami, para sepupu, duduk berjejal sambil menonton televisi, sekadar saling bertukar cerita tentang hidup masing-masing.
Bagi saya, ini bukan sekadar makan siang saat lebaran. Ini adalah momen penuh rasa syukur dan kebersamaan, tempat di mana kita bisa jadi diri sendiri dan merasa bahwa, meskipun jarang bertemu, hubungan kekeluargaan tetap erat.
Sayangnya, dua tahun terakhir saya tidak bisa mudik ke Kertosono karena berbagai alasan. Jadi, kami hanya saling berkomunikasi lewat video call.
Jujur saja, dua tahun lebaran tanpa mudik memang terasa sangat berbeda. Tidak ada aroma sambal tumpang yang menyambut, tidak ada tawa para sepupu di ruang tengah, dan tidak ada keramaian khas keluarga besar yang biasanya mengisi hari-hari menjelang lebaran.
Rasa rindu itu kadang muncul tiba-tiba, bahkan hanya karena melihat foto makanan di media sosial atau mendengar cerita teman tentang kampung halaman mereka.
Di Malang, tempat saya tinggal sekarang, memang ada beberapa warung yang menjual nasi tumpang. Tapi entah kenapa, rasanya tak pernah bisa menyamai buatan tangan keluarga sendiri. Mungkin karena efek dari suasana dan cinta yang menyertainya.
Bagi saya, nasi tumpang adalah simbol rumah. Menu ini adalah bagian dari identitas saya sebagai orang Jawa Timur, bagian dari kebersamaan yang jarang bisa saya temukan di tengah kesibukan hidup dewasa ini.
Setiap kali saya makan nasi tumpang, meski bukan buatan keluarga, saya seperti ditarik kembali ke ruang tengah rumah saudara, duduk di lantai bersama sepupu-sepupu, sambil tertawa dan berbagi cerita. Saya kembali menjadi anak kecil yang hanya ingin menikmati makan siang sederhana bersama orang-orang tercinta.
Saya tahu, waktu akan terus berjalan, dan tidak semua tradisi bisa terus dijalankan seperti dulu. Tapi saya juga percaya bahwa selama ada kerinduan, ada jalan untuk kembali. Semoga tahun depan saya bisa mudik lagi ke Kertosono, menikmati semangkuk nasi tumpang buatan bibi, dan kembali tertawa bersama keluarga besar.
Karena sesederhana apa pun makanan itu, jika disantap bersama orang-orang tercinta, bisa menjadi penghangat jiwa. Dan bagi saya, nasi tumpang adalah rasa rumah yang tak tergantikan sampai kapan pun.