Ulasan Novel Sumur: Sepotong Kisah Getir di Tengah Krisis Lingkungan

Hernawan | Shin Harin
Ulasan Novel Sumur: Sepotong Kisah Getir di Tengah Krisis Lingkungan
Novel Sumur karya Eka Kurniawan (Gramedia)

Novel berjudul "Sumur" karya Eka Kurniawan adalah salah satu karya fiksi singkat yang penuh makna. Meskipun bisa dibaca dalam sekali duduk, cerita ini meninggalkan kesan yang mendalam. Gaya bahasa khas Eka yang tajam dan sarkastik, membuat cerita ini terasa hidup, getir, dan penuh ironi.

Cerita ini dimulai dari kisah dua anak, yakni Toyib dan Siti, yang sejak duduk di bangku sekolah dasar sudah saling menaruh rasa. Mereka jatuh cinta pada masa kanak-kanak, masa yang masih polos dan penuh harapan. Namun sayangnya, cinta mereka tidak berlangsung mulus. Keadaan di desa tempat mereka tinggal perlahan-lahan membentuk jurang antara keduanya.

Konflik utama muncul ketika ayah mereka masing-masing bertengkar hebat demi satu hal, yakni perebutan sumber air. Sumber air tersebut menjadi sangat penting untuk kelangsungan hidup dan pertanian keluarga mereka.

Perebutan ini berujung pada duel yang tragis dan salah satu ayah dari mereka meninggal. Sejak peristiwa kelam itu, hubungan Toyib dan Siti ikut hancur. Mereka dipisahkan oleh dendam, rasa kehilangan, dan luka batin yang mendalam.

Yang menarik, meskipun kisah ini berakar dari cinta masa kecil, "Sumur" bukanlah cerita cinta biasa. Cerita ini tidak dibumbui dengan romansa manis atau akhir yang bahagia. Justru sebaliknya, kisah cinta Toyib dan Siti dibalut oleh rasa sakit, dendam, dan kesedihan. Novel ini menggambarkan cinta yang tak bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu.

Latar cerita pun sangat sederhana, yaitu sebuah desa yang kekurangan air. Kini, hanya ada satu sumber air yang tersisa, yakni sumur. Namun, sumur ini bukan hanya sekadar sumber kehidupan bagi masyarakat desa, tapi juga satu-satunya tempat di mana Toyib dan Siti bisa saling bertemu lagi. Sumur menjadi saksi bisu dari hubungan rumit yang pernah mereka miliki.

Eka Kurniawan menggunakan gaya bahasa yang tajam dan sarkastik dalam menyampaikan cerita. Ia tidak segan menyingkap sisi kelam manusia seperti egoisme, kerakusan, dan kebencian. Ia juga menyelipkan pesan tentang pentingnya menjaga lingkungan.

Perebutan sumber air yang menjadi inti cerita menyadarkan kita bahwa konflik akibat perebutan sumber daya alam bukanlah hal fiktif. Di banyak tempat, krisis air dan kerusakan lingkungan memang menjadi sumber konflik dan perpecahan.

Secara tidak langsung, buku ini juga memberikan kritik sosial dan menyentil kesadaran kita tentang bagaimana manusia bisa saling menghancurkan demi kepentingan pribadi atau keluarga. Sementara alam, yang seharusnya dijaga bersama, justru menjadi ajang perebutan.

Saya pribadi sebenarnya lebih suka membaca cerita-cerita yang fiksi dan tidak terlalu dekat dengan kenyataan. Membaca bagi saya adalah pelarian dari dunia nyata yang seringkali melelahkan.

Tapi, buku ini membawa saya kembali pada kenyataan bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai keinginan. Dunia tidak selalu indah dan penuh warna. Terkadang, dunia itu pahit, getir, dan menyakitkan. Dan buku ini menggambarkan itu semua dengan sangat nyata.

Yang membuat saya tersentuh dari novel ini adalah caranya menyampaikan bahwa manusia adalah makhluk kompleks. Kita bisa mencintai dan membenci pada saat yang bersamaan. Kita bisa rindu tapi juga dendam. Lewat tokoh-tokohnya, Eka Kurniawan menggambarkan manusia sebagai makhluk yang rumit, penuh kontradiksi, dan tak jarang egois.

Secara keseluruhan, "Sumur" adalah buku yang singkat tapi menyentuh. Buku ini berhasil menyampaikan cerita cinta, tragedi, dan kritik sosial hanya dalam beberapa halaman.

Jika kamu mencari bacaan ringan tapi punya makna dalam, buku ini sangat layak untuk dibaca. Tapi bersiaplah, karena setelah membaca buku ini, kamu mungkin akan merenung dan melihat hidup dari sisi yang berbeda.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak