Bagi para penikmat tulisan puitis dan reflektif, nama Rintik Sedu tentu sudah tak asing lagi. Melalui karya-karyanya yang penuh perasaan dan sering kali menyentuh sisi rapuh pembaca, ia berhasil menciptakan ruang nyaman bagi mereka yang sedang berjuang memahami luka, cinta, dan kehilangan. Salah satu karyanya yang mencuri perhatian adalah buku berjudul “Buku Minta Dibanting”.
Meskipun berjudul cukup nyeleneh, isi buku ini jauh dari sekadar guyonan atau amarah. Sebaliknya, buku ini justru menjadi kumpulan kata-kata puitis dan penggalan kisah yang penuh perasaan.
Formatnya tidak seperti novel pada umumnya, melainkan lebih mirip kumpulan puisi dan prosa pendek yang terhubung oleh benang merah tema, yakni tentang menjadi jomblo, mencintai diam-diam, dan berusaha melupakan seseorang yang pernah begitu berarti.
Yang menarik dari buku ini adalah cara Rintik Sedu menyampaikan pesan-pesan sederhana dengan gaya bahasa yang ringan namun menyentuh.
Ia tidak berusaha menggurui, melainkan berbagi tentang perasaan ditinggalkan, tentang harapan yang tak sampai, dan tentang mencoba kuat meski kenyataannya masih rapuh.
Inilah mengapa pembacanya sering kali merasa seperti sedang bercermin, seolah-olah tulisan itu ditujukan untuk dirinya sendiri.
Salah satu kelebihan buku ini terletak pada kejujuran emosionalnya. Misalnya, banyak bagian yang berbicara tentang bagaimana seseorang sering kali memberi kode pada gebetan tapi tidak digubris, atau tentang perasaan gagal move on ketika mantan sudah melangkah dengan orang baru.
Bagi Rintik Sedu, hal-hal yang mungkin dianggap sepele oleh sebagian orang justru dikemas menjadi refleksi yang dalam, menyadarkan bahwa luka hati sekecil apa pun layak untuk dipahami, bukan diabaikan.
Dua tokoh ilustratif yang diperkenalkan dalam buku ini adalah Mblo dan Mblu. Meski hanya sebatas visual, keduanya merepresentasikan banyak pembaca, mereka yang masih sendiri, merasa sepi, dan diam-diam menginginkan cinta, tetapi terlalu canggung untuk memulainya.
Menurut penjelasan dalam buku, Mblo dan Mblu adalah cerminan dari pembaca Rintik Sedu sendiri, mereka yang belajar untuk tidak terlalu cepat berharap, tapi juga tidak menyerah pada harapan.
Hal yang membuat buku ini semakin unik adalah kehadiran halaman-halaman dengan kertas tebal yang bisa disobek atau digunting. Pada bagian ini, pembaca diajak untuk benar-benar berinteraksi dengan buku, menyobek satu kutipan, lalu mengirimkannya kepada seseorang yang sedang disukai atau dirindukan.
Sebuah ide yang sederhana, tapi sangat personal dan menyentuh. Mungkin, dengan menyobek satu halaman, kita juga sedang menyobek sedikit keberanian dalam diri untuk mengungkapkan isi hati.
“Buku Minta Dibanting” tidak hanya menghibur, tapi juga mengajarkan pembacanya untuk lebih bijak dalam mencintai, agar tidak mudah terbawa perasaan atau terlalu berharap pada seseorang yang bahkan tak menoleh sedikit pun. Ia mengingatkan bahwa mencintai diri sendiri lebih penting daripada mengejar cinta yang tidak pasti.
Walaupun temanya terkesan menghibur untuk kaum jomblo, namun Rintik Sedu menyuarakan bahwa tidak ada yang benar-benar sendirian di dunia ini. Bahkan dalam kesepian, kita tetap punya diri sendiri yang layak diperjuangkan.
Bahasa yang digunakan dalam buku ini pun sangat akrab, seolah kita sedang mendengar suara sahabat yang sedang menenangkan kita.
Buku ini juga cocok untuk dibaca kapan pun, terutama saat hati sedang lelah atau bingung menghadapi perasaan sendiri. Banyak pembaca yang mengaku tersenyum sendiri, merasa tertampar, atau bahkan menangis saat membaca beberapa bagiannya.
Pada akhirnya, “Buku Minta Dibanting” adalah pelukan hangat bagi siapa pun yang sedang patah hati, ragu, atau hanya sekadar butuh ditemani dalam diam. Ia tidak menawarkan solusi instan, tapi memberi ruang untuk merasakan dan perlahan menyembuhkan.