Jangan Malu Baca Buku di Tempat Umum: Normalisasi Membaca di Ruang Publik

Hikmawan Firdaus | Ruslan Abdul Munir
Jangan Malu Baca Buku di Tempat Umum: Normalisasi Membaca di Ruang Publik
Ilustrasi membaca buku di ruang publik (Pexels/Nam Phong Bùi)

Pernahkah kamu melihat seseorang membaca buku di halte bus, di trotoar, atau di dalam angkot, lalu spontan merasa heran atau kagum? Atau mungkin kamu sendiri pernah membaca buku di tempat umum dan merasa seperti makhluk aneh yang sedang diperhatikan?

Padahal, membaca seharusnya menjadi aktivitas yang lumrah dilakukan di mana saja, termasuk di ruang publik. Sayangnya, budaya membaca di tempat umum belum sepenuhnya menjadi hal yang biasa di Indonesia.

Membaca di tempat umum di Indonesia masih sering dianggap aneh atau tidak biasa, membuat individu merasa menjadi pusat perhatian.

Hal ini kemungkinan besar karena kegiatan tersebut belum menjadi kebiasaan umum. Selain itu, membaca seringkali dianggap sebagai aktivitas yang membosankan atau opsional, bukan rutinitas harian.

Dikutip dari Not Just Fiction salah satu hambatan signifikan untuk menormalisasi membaca di tempat umum di Indonesia adalah persepsi sosial dan stigma yang melekat padanya.

Banyak individu merasa malu atau tidak nyaman membaca di tempat umum, khawatir akan menjadi pusat perhatian karena tindakan tersebut dianggap asing atau tidak biasa

Selain itu, dikutip dari Quora membaca seringkali dianggap membosankan, terutama jika kontennya melibatkan bahasa yang kompleks atau teks yang panjang.

Persepsi ini diperparah oleh kurangnya lingkungan sosial yang mendukung dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat luas. Banyak orang tua di Indonesia, misalnya, dilaporkan tidak menyadari pentingnya membaca untuk pendidikan.

Mereka seringkali mendelegasikan tanggung jawab ini sepenuhnya kepada sekolah. Kesenjangan dalam pemahaman orang tua ini berkontribusi pada lemahnya budaya membaca dasar.

Di banyak negara lain, membaca buku di taman kota, kereta bawah tanah, atau kafe adalah pemandangan yang sangat umum.

Tapi di sini, seseorang yang membaca di tempat umum kadang justru dilihat terlalu rajin atau bahkan sok pintar. Pandangan seperti ini perlahan harus mulai kita ubah.

Membaca di ruang publik perlu dinormalisasi, bahkan didorong. Ruang-ruang publik harus bisa menjadi tempat yang mendukung aktivitas literasi, bukan hanya tempat lalu-lalang tanpa interaksi yang nyata.

Ketika seseorang membawa buku ke tempat umum, itu bukan sekadar soal gaya, tapi upaya untuk memberi ruang bagi aktivitas intelektual di tengah kesibukan kota.

Lebih dari itu, membaca di tempat umum bisa jadi inspirasi bagi orang lain. Anak-anak yang melihat orang dewasa membaca buku di kereta atau taman akan tumbuh dengan kesadaran bahwa membaca adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sekadar tugas sekolah.

Untuk kita yang sibuk, membaca di ruang publik juga bisa jadi solusi menyelipkan waktu baca di sela kesibukan. Bawa satu buku di tas, baca saat menunggu ojek online, atau buka e-book selagi menunggu pesanan kopi datang.

Tentu kita butuh kenyamanan dan rasa aman untuk melakukan ini. Maka penting juga bagi pengelola fasilitas publik untuk menyediakan ruang duduk yang layak, pencahayaan yang baik, atau bahkan pojok baca di tempat umum.

Tapi sebelum menuntut itu semua, langkah awalnya bisa dimulai dari kita adalah berani membaca di tempat umum tanpa merasa canggung.

Karena semakin sering kita melihat orang membaca di luar rumah, semakin wajar pula aktivitas ini di mata publik. Kita tak perlu malu terlihat membaca buku di halte, di kafe, atau bahkan di pinggir jalan. Justru dari situlah budaya literasi bisa tumbuh lebih alami dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak