Perempuan di Indonesia masih harus menanggung keresahan ketika berada di ruang publik. Entah di jalan raya, di kendaraan umum, di tempat kerja, atau bahkan di platform media sosial, banyak perempuan merasa tidak sepenuhnya aman.
Pelecehan verbal, tatapan melecehkan, sentuhan tanpa izin, hingga komentar tak senonoh di kolom pesan atau unggahan media sosial masih menjadi kenyataan pahit yang sulit dihapuskan. Dalam keseharian, perempuan harus memutar otak memilih rute, jam, teman jalan, serta cara berpakaian, hanya demi menghindari perlakuan yang tidak menyenangkan.
Melihat fenomena ini, sudah waktunya kita membuka ruang diskusi secara lebih terbuka tentang bagaimana menjadikan ruang publik, baik nyata maupun digital menjadi lebih aman dan nyaman bagi semua orang, tanpa terkecuali.
Banyak pihak sering hanya menyoroti korban, membebankan kewaspadaan sepenuhnya kepada perempuan, dan lupa membenahi akar masalahnya, minimnya kesadaran kolektif tentang pentingnya menghargai privasi dan keselamatan orang lain. Padahal, keamanan adalah hak dasar yang semestinya tidak perlu dibayar mahal dengan rasa takut dan cemas.
Ketakutan di Jalanan: Ruang Publik yang Menjadi Momok
Berjalan kaki sendirian seharusnya menjadi aktivitas sederhana yang menyehatkan dan menenangkan pikiran. Namun, bagi banyak perempuan di Indonesia, hal ini justru memicu rasa takut. Tidak sedikit yang menghindari berjalan kaki di rute sepi atau pulang terlalu malam karena takut dilecehkan atau bahkan diikuti orang asing.
Catcalling atau siulan nakal di jalanan juga masih dianggap remeh oleh sebagian masyarakat, padahal dampaknya sangat mengganggu rasa aman dan mental korban. Situasi ini memaksa perempuan untuk melakukan banyak penyesuaian yang sebenarnya tidak perlu, mulai dari mengenakan pakaian yang dianggap “aman”, menghindari jalan pintas, hingga rela membayar transportasi lebih mahal demi tidak berjalan kaki sendirian.
Beban mental ini mengikis kebebasan perempuan untuk menikmati ruang publik sebagaimana mestinya. Ironisnya, jika terjadi pelecehan, tidak jarang korban masih disalahkan karena dianggap “mengundang perlakuan” tersebut.
Media Sosial: Ruang Digital yang Tak Luput dari Pelecehan
Selain di jalan raya, ruang publik modern kini juga merambah ke dunia maya. Media sosial seolah menjadi panggung bebas, tetapi di balik kebebasannya, banyak perempuan menjadi sasaran komentar tak pantas, pesan pribadi berisi ajakan cabul, bahkan penyebaran foto tanpa izin.
Ironisnya, banyak pelaku merasa aman bersembunyi di balik akun anonim sehingga tak segan melecehkan perempuan dengan kata-kata kotor. Tekanan ini membuat sebagian perempuan enggan mengekspresikan diri sepenuhnya di media sosial. Ada yang sengaja membatasi unggahan, mengatur privasi akun serapat mungkin, atau memilih tidak aktif agar terhindar dari interaksi toxic.
Padahal, media sosial seharusnya bisa menjadi sarana berjejaring, belajar, dan berekspresi tanpa rasa takut. Sayangnya, sampai saat ini belum semua orang sadar bahwa pelecehan di dunia maya sama seriusnya dengan pelecehan di dunia nyata.
Butuh Tanggung Jawab Bersama: Bukan Hanya Urusan Korban
Perubahan agar ruang publik menjadi lebih aman untuk perempuan tidak cukup hanya dengan menuntut kehati-hatian dari korban. Masyarakat perlu mulai berani menegur perilaku melecehkan, mendukung korban untuk bersuara, dan mendorong penegakan hukum yang tegas. Pendidikan sejak dini untuk menanamkan rasa hormat pada sesama, terutama terkait batasan tubuh dan ruang pribadi, juga perlu diperkuat.
Selain itu, pihak berwenang, seperti pemerintah daerah dan pengelola platform digital, juga punya peran penting. Jalanan perlu penerangan yang memadai, kamera pengawas, dan petugas keamanan di lokasi rawan.
Sementara di dunia maya, penyedia platform sebaiknya menindak akun yang kerap melecehkan, menyediakan fitur aduan yang responsif, serta membangun kebijakan perlindungan pengguna yang berpihak pada korban.
Ruang publik, baik di jalan raya maupun di dunia maya, seharusnya menjadi milik bersama tanpa memandang gender. Perempuan berhak merasa aman, bebas, dan dihargai di mana pun mereka berada. Membenahi kondisi ini butuh upaya dari banyak pihak mulai dari keluarga, masyarakat, penegak hukum, hingga penyedia layanan digital.
Dengan membuka mata dan hati, serta membiasakan untuk saling menjaga, harapannya tidak ada lagi cerita tentang perempuan yang merasa terancam hanya karena berjalan kaki atau bersuara di media sosial. Sudah waktunya ruang publik Indonesia benar-benar ramah bagi semua.