Perang: Naluri Purba atau Kecelakaan Peradaban?

Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Perang: Naluri Purba atau Kecelakaan Peradaban?
Ilustrasi perang (Pixabay/janeb13)

Mari kita mulai dengan kejujuran pahit: sejarah manusia lebih mirip buku laporan kekerasan daripada kitab moralitas. Sejak sebelum manusia belajar menulis, mereka sudah pandai mengukir luka—di kulit, di tanah, dan di hati lawannya. Kita menyebutnya perang. Ada yang menyalahkan DNA, ada yang menuding peradaban, sisanya memilih tidur siang sambil berharap utopia.

Tapi mari kita ajukan pertanyaan yang lebih jujur: Apakah perang itu bawaan lahir, seperti warna rambut? Ataukah ia seperti kendaraan: diciptakan oleh kebutuhan dan diperburuk oleh teknologi?

Sejumlah temuan arkeologis dan studi evolusi terkini memberikan jawaban yang menggugah: perang mungkin bukan takdir biologis, tapi ia juga bukan murni ciptaan kapitalisme modern. Ia lahir dari perpaduan yang rumit antara naluri, struktur sosial, dan—tentu saja—kesempatan. Nah, kesempatan inilah yang biasanya disediakan oleh peradaban.

Dari Gua ke Gerombolan: Kekerasan Sebelum Ada Negara

Jangan bayangkan semua pemburu-pengumpul masa lampau hidup dalam harmoni ala film dokumenter BBC yang diberi musik harpa. Beberapa memang hidup damai. Tapi beberapa lainnya? Ya, mereka punya hobi melempar batu ke kepala tetangga.

Bukti dari situs arkeologi Nataruk di Kenya menunjukkan bahwa 10.000 tahun lalu, sekelompok pemburu-pengumpul dibantai secara brutal oleh kelompok lain. Mayat-mayat mereka terkubur dengan luka panah di tulang dan kepala retak seperti semangka dilempar dari balkon. Temuan ini, menurut Glowacki (2024), membantah gagasan bahwa perang hanya muncul setelah masyarakat menjadi kompleks. Bahkan “orang gua” pun bisa berseteru, asal ada cukup alasan dan senjata.

Namun jangan terburu-buru membuat kesimpulan. Meijer (2024) menekankan bahwa tidak semua masyarakat prasejarah terlibat perang secara rutin. Sebagian besar kekerasan kala itu bersifat interpersonal, bukan antar-kelompok. Jadi bukan perang besar-besaran, tapi lebih mirip “keributan tetangga plus parang”.

Kuncinya ada pada keragaman sosial dan konteks ekologis. Kalau sumber daya melimpah, tidak ada alasan rebutan. Tapi kalau ada satu sungai di tengah padang tandus? Selamat datang, adu tombak.

Peradaban: Rumah Impian Konflik

Ironisnya, semakin manusia “beradab”, semakin brutal cara mereka berperang. Saat manusia mulai bertani dan menetap, muncul kepemilikan lahan, hierarki sosial, dan tentu saja muncul yang namanya pajak. Semua ini memperluas potensi konflik dari skala pribadi ke skala nasional. Menurut Fernández-Crespo et al. (2023), transisi ke kehidupan menetap menciptakan ketimpangan dan persaingan sumber daya yang menjadi pupuk bagi peperangan.

Kalau di masa lalu seseorang bisa pergi ke gunung saat cekcok, kini mereka terjebak di desa dengan tetua suku yang cerewet, pajak hasil panen, dan tanah yang diwariskan secara turun-temurun. Begitu hak milik didefinisikan, maka kekerasan menemukan justifikasinya. Dan ketika hierarki terbentuk, satu konflik bisa mengorbankan ribuan orang yang bahkan tidak tahu sedang bertempur untuk apa.

Tiba-tiba, perang bukan lagi soal bertahan hidup, tapi soal siapa yang punya kastil lebih besar atau agama lebih benar. Inilah tragedi peradaban: ia menciptakan sistem untuk menghindari kekacauan, lalu memicu kekacauan skala lebih besar dengan nama "tatanan".

Evolusi: Antara Cakar dan Pelukan

Namun apakah ini berarti manusia memang terlahir suka perang?

Sebagian ahli evolusi berkata, “Tidak juga.” Menurut Schlomer et al. (2011), konflik memang bisa dijelaskan sebagai hasil dari persaingan sumber daya dan kepentingan reproduksi. Bahkan dalam keluarga inti, anak bisa bersaing mendapatkan perhatian atau makanan. Namun, itu bukan berarti kita ditakdirkan untuk membakar desa tetangga.

Fakta menariknya, manusia juga punya kapasitas besar untuk rekonsiliasi. Coba lihat perilaku simpanse dan bonobo—kerabat dekat kita. Mereka bisa saling menghajar, tapi juga berpelukan, ciuman, bahkan “make-up sex” untuk memulihkan hubungan. Studi dari Pallante et al. (2023) menunjukkan bahwa rekonsiliasi adalah bagian penting dalam menjaga jaringan sosial.

Artinya? Manusia tidak hanya punya tombol 'serang', tapi juga 'maafkan' dan bahkan 'peluk erat'.

Evolusi bukan buku petunjuk satu arah. Ia memberi kita potensi untuk kekerasan dan perdamaian. Yang membedakan hanyalah sistem nilai dan siapa yang memegang tongkat komando.

Perang sebagai Proyek Ambisius: Ego, Identitas, dan Ilusi Musuh

Kalau memang perang bukan naluri mutlak, kenapa ia terus hadir? Salah satu jawabannya adalah: karena kita membuatnya terlihat keren.

Bayangkan ini: seorang jenderal berdiri di depan ribuan tentara, dengan pidato dramatis, bendera berkibar, dan musik latar Hans Zimmer. Sekarang bandingkan dengan: “Mari berunding dengan empati dan logika.” Yang mana yang lebih menjual di trailer bioskop?

Perang memberikan narasi identitas: kita vs mereka. Ini adalah proyek ego kolektif, di mana manusia merasa lebih baik hanya dengan menciptakan musuh. Dan sering kali, musuh itu hasil fabrikasi elite yang ingin mempertahankan kekuasaan atau menutupi kegagalan dalam negeri.

Sisi tragisnya? Orang biasa yang mati. Sisi jenakanya? Para pemimpin perang jarang muncul di garis depan. Mereka lebih sering muncul di layar TV sambil menyalahkan "provokasi asing".

Seolah-olah, perang adalah panggung sandiwara yang disiarkan langsung dari ego pemimpin dan ditonton oleh mereka yang tak punya pilihan selain ikut main.

Damai Itu Tidak Alamiah, tapi Mungkin

Kita lahir dengan potensi untuk mencintai dan menghancurkan. Evolusi tidak menulis takdir kita dengan tinta merah atau putih—ia memberi kita kuas dan palet, dan berkata: “Lukislah sesukamu.”

Perang bukan naluri purba saja. Ia adalah produk dari pilihan yang diulang-ulang, dilegitimasi oleh budaya, dan diromantisasi oleh sejarah. Ia adalah kecelakaan peradaban yang terus dibiarkan terjadi karena kita gagal menciptakan alternatif yang memikat.

Tapi seperti kata simpanse yang habis berkelahi: kita bisa memeluk setelah saling pukul. Kita bisa belajar dari kesalahan, menulis ulang narasi, dan mendesain peradaban yang tidak hanya mencegah konflik, tapi juga menghargai perdamaian sebagai prestasi, bukan kebetulan.

Mungkin damai itu tidak alamiah. Tapi ia adalah seni tertinggi dari spesies yang bisa menulis puisi dan menciptakan simfoni—dan mungkin, suatu hari, bisa berhenti saling membunuh hanya karena berbeda bendera.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak