Ketika One Piece Menjadi Bahasa Politik Kaum Muda Indonesia

Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Ketika One Piece Menjadi Bahasa Politik Kaum Muda Indonesia
One Piece Luffy Cosplasy Standing on Cliff (Unsplash/Scorpio)

Bendera Merah Putih berkibar. Suara angklung, alat musik khas Jawa Barat, mengalun lembut mengiringi lagu "Rayuan Pulau Kelapa" di layar televisi. Sepasang suami istri duduk di sofa coklat, menyaksikan siaran berita sore hari di saluran televisi nasional. Suara narasi yang menjelaskan persiapan upacara bendera yang sakral di Istana Negara memenuhi ruang keluarga. Di sisi lain, sang anak, seorang laki-laki berusia 17 tahun, yang sedang membuka media sosialnya di atas karpet berbulu, tersenyum sinis.

Mendengar kabar tentang berbagai persiapan upacara, sang anak yang kerap disapa dengan nama Bima berkata, “Pak, Bu, sudah dengar belum? Katanya kalau kita unggah bendera Topi Jerami di media sosial, kita bakal dicap anti-nasionalis. Lucu ya, padahal yang diunggah bendera bajak laut, tapi kok rasanya lebih ‘Indonesia’ daripada janji-janji pejabat yang cuma jadi wacana di meja kerja. Apalagi kalau sudah berbicara tentang kemerdekaan yang katanya sudah 80 tahun, tapi kalau di lihat dari perspektif rakyatnya, rasanya baru merdeka dari penjajahan saja, belum dari korupsi dan ketidakadilan yang merajalela.”

Bima hanya tertawa kecil. Di benaknya, ada pertanyaan besar yang mengganjal. Mengapa bendera bajak laut Topi Jerami, yang sejatinya adalah simbol petualangan dan kebebasan fiksi, kini bisa menjadi bahasa politik yang lebih lantang dan tajam daripada orasi politisi di mimbar? Mengapa para generasi muda, termasuk dirinya, lebih memilih menyuarakan kritik dengan simbol-simbol budaya populer alih-alih ikut-ikutan berdebat di forum-forum formal yang justru terasa steril dan penuh basa-basi?

Rasa skeptis Bima terhadap birokrasi dan kekuasaan yang korup bukan tanpa alasan. Ia melihat bagaimana para pejabat di televisi terus mengulang retorika yang sama, “Kita sudah merdeka!” “Kita harus bersatu!” Namun, dalam praktik sehari-hari, ia melihat ketidakadilan di mana-mana. Bantuan sosial yang seharusnya sampai ke tangan yang membutuhkan, justru berakhir di saku para oknum. Janji-janji pembangunan yang digembar-gemborkan, pada akhirnya hanya menyisakan proyek mangkrak dan utang negara yang semakin menumpuk.

Maka, ketika Bima melihat unggahan bendera Topi Jerami di media sosial, ia merasa menemukan solidaritas yang selama ini ia cari. Ia merasa tidak sendirian. Ada ribuan, bahkan jutaan, anak muda lainnya yang juga merasa resah, yang juga bertanya-tanya, “Kemerdekaan ini milik siapa?” Simbol bendera tengkorak dengan topi jerami, yang dalam kisah One Piece merupakan simbol persatuan dan perjuangan melawan kekuasaan tirani, kini telah bermetamorfosis menjadi alegori perjuangan rakyat kecil di dunia nyata.

Bendera Bajak Laut dan Kekuasaan yang Korup

Dalam dunia fiksi One Piece, bendera Topi Jerami bukan hanya hiasan. Bendera tersebut adalah simbol dari kru bajak laut yang dipimpin oleh Monkey D. Luffy. Mereka adalah sekelompok individu yang unik, datang dari latar belakang yang berbeda, dan memiliki impian masing-masing. Namun, mereka dipersatukan oleh satu visi, yaitu mencari harta karun legendaris bernama One Piece dan meraih kebebasan sejati. Mereka melawan Pemerintah Dunia (World Government), sebuah entitas yang digambarkan sebagai otoritas absolut yang korup dan menindas. Pemerintah Dunia menggunakan kekuatan militer (Marinir) dan propaganda untuk mempertahankan kekuasaan mereka, seringkali dengan mengorbankan kebebasan dan hak-hak rakyat kecil.

Di dunia nyata, menjelang HUT ke-80 RI, maraknya unggahan bendera Topi Jerami di media sosial adalah sebuah fenomena yang menarik. Bendera tersebut tidak lagi hanya menjadi simbol fandom, melainkan sebuah protes terselubung yang tajam terhadap kekuasaan yang dianggap korup. Mengunggah bendera Topi Jerami adalah cara halus untuk mengatakan, “Kami lelah dengan janji-janji kosong. Kami lelah dengan birokrasi yang berbelit-belit. Kami lelah dengan ketidakadilan yang kami lihat setiap hari.”

Bayangkan saja, ada seorang warga di pedalaman yang kesulitan mendapatkan akses listrik dan air bersih, sementara di ibu kota, para pejabat sibuk merayakan kemerdekaan dengan pesta kembang api dan pidato yang berapi-api. Bukankah ironis? Warga yang seharusnya merasakan kemerdekaan seutuhnya, justru masih berlayar di lautan ketidakadilan. Mereka seperti pelaut Tobelo di Halmahera yang dicontohkan oleh EP Thompson, yang mungkin masih merasa terasing dari narasi kemerdekaan yang digembor-gemborkan di pusat kekuasaan.

Pada akhirnya, bendera Topi Jerami menjadi simbol perlawanan mereka. Simbol ini adalah bahasa universal yang dapat dipahami oleh sesama ‘awak kapal’ yang merasa senasib. Mereka tidak perlu berteriak-teriak di jalanan atau menulis petisi formal yang mungkin tidak akan pernah dibaca. Cukup dengan mengunggah bendera tengkorak bertopi jerami, mereka sudah bisa menyampaikan pesan yang kuat, “Kami tidak akan menyerah. Kami akan terus berlayar sampai kami menemukan ‘One Piece’ kami, yaitu keadilan, kesetaraan, dan kemerdekaan sejati.”

Narasi Kemerdekaan dan Perspektif Sejarah Sosial

Narasi resmi tentang kemerdekaan seringkali terfokus pada tokoh-tokoh besar, peristiwa heroik, dan tanggal-tanggal penting. Namun, narasi ini seringkali melupakan pengalaman sehari-hari dari rakyat biasa. Dalam buku The Making of the English Working Class, sejarawan E.P. Thompson menawarkan perspektif yang berbeda. Ia berpendapat bahwa sejarah seharusnya tidak hanya tentang peristiwa-peristiwa besar, melainkan juga tentang pengalaman, perjuangan, dan budaya rakyat biasa. Ia mengajak kita untuk melihat sejarah dari kacamata mereka yang jarang terdengar suaranya.

Jika kita menerapkan perspektif Thompson pada konteks kemerdekaan Indonesia, kita akan menemukan hal-hal yang menarik. Kita akan menyadari bahwa kemerdekaan tidak hanya dirasakan oleh para elite di kota-kota besar. Kemerdekaan juga harus dirasakan oleh petani di desa-desa terpencil, nelayan di perairan yang jauh, dan masyarakat adat di hutan-hutan yang terlupakan.

Namun, apakah kemerdekaan sudah benar-benar dirasakan oleh mereka?

Mari kita ambil contoh masyarakat adat di Halmahera. Mereka mungkin memiliki bendera merah putih yang berkibar di desa mereka, tetapi apakah mereka benar-benar merasa merdeka ketika tanah leluhur mereka dirampas oleh perusahaan tambang? Apakah mereka merasa merdeka ketika suara mereka diabaikan dalam proses pembangunan?

Mungkin bagi sebagian orang, jawaban atas pertanyaan ini adalah "ya", tetapi bagi sebagian lainnya, terutama mereka yang terpinggirkan, jawabannya mungkin "belum". Bagi mereka, kemerdekaan adalah sebuah proses yang terus berlanjut, bukan sebuah peristiwa yang sudah selesai.

Oleh karena itu, fenomena penggunaan simbol One Piece sebagai bahasa politik adalah sebuah cara bagi mereka yang terpinggirkan untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka. Mereka menggunakan simbol budaya populer yang bersifat global untuk menyampaikan pesan lokal yang sangat personal. Mereka tidak hanya berbicara tentang korupsi atau ketidakadilan, tetapi juga tentang pencarian kebebasan sejati, yang dalam konteks Indonesia, berarti kebebasan dari kemiskinan, kebebasan dari ketidakadilan, dan kebebasan dari penindasan.

Ini adalah bentuk nasionalisme yang baru dan unik. Ini bukan nasionalisme yang diukur dari seberapa keras kita berteriak "Merdeka!" atau seberapa sering kita mengunggah bendera merah putih. Ini adalah nasionalisme yang diukur dari seberapa besar kepedulian kita terhadap sesama warga negara, terutama mereka yang paling membutuhkan. Ini adalah nasionalisme yang tumbuh dari akar rumput, dari pengalaman sehari-hari rakyat biasa, dan dari harapan mereka akan masa depan yang lebih baik.

Gerakan Kreativisme Digital dan Nasionalisme Generasi Muda

Generasi muda Indonesia tidak lagi menyuarakan kritik dan aspirasi mereka melalui cara-cara konvensional. Mereka lebih memilih media sosial dan internet sebagai arena utama untuk berdiskusi, membentuk, dan menyebarkan pesan-pesan politik. Ini bukan hal baru. Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari et al. (2021) dan Sari et al. (2022) menunjukkan bahwa generasi muda menggunakan simbol budaya populer, meme, dan bahkan bendera fiksi untuk mengekspresikan identitas, solidaritas, dan harapan akan persatuan.

Fenomena ini sering disebut sebagai gerakan kreativisme digital (digital craftivism). Jika gerakan craftivism konvensional menggunakan karya seni fisik seperti sulaman atau rajutan untuk menyuarakan pesan politik, maka kreativisme digital menggunakan meme, fan art, dan simbol-simbol budaya populer yang disebarkan melalui media sosial. Ini adalah bentuk perlawanan yang unik, kreatif, dan sangat efektif.

Mengapa efektif? Karena simbol-simbol ini dapat menjangkau audiens yang sangat luas dengan cepat dan tanpa biaya. Sebuah meme lucu atau gambar bendera Topi Jerami yang diunggah di Instagram dapat menyebar dalam hitungan menit, melintasi batas-batas geografis dan demografis. Simbol-simbol ini juga dapat berbicara dengan bahasa yang lebih santai dan mudah dipahami, tanpa perlu menggunakan jargon politik yang rumit.

Sebagai contoh, bendera Topi Jerami dapat digunakan untuk menyuarakan berbagai isu, mulai dari korupsi, ketidakadilan sosial, hingga harapan akan masa depan yang lebih baik. Simbol ini juga dapat menjadi kode rahasia yang hanya dipahami oleh mereka yang berada dalam lingkaran yang sama. Ini adalah cara bagi generasi muda untuk membangun solidaritas dan komunitas di tengah polarisasi politik yang semakin memanas.

Pada akhirnya, gerakan ini menunjukkan bahwa nasionalisme tidak harus selalu diartikan sebagai "cinta buta" terhadap negara. Nasionalisme juga bisa diartikan sebagai kritik yang membangun terhadap negara. Ini adalah nasionalisme yang mendorong kita untuk bertanya, “Apa yang bisa kita lakukan untuk membuat negara ini menjadi lebih baik?” Ini adalah nasionalisme yang mendorong kita untuk berjuang demi keadilan, kesetaraan, dan kemerdekaan sejati, bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.

Belajar dari Fenomena Bendera One Piece

Melihat semua ini, kita harus bertanya pada diri sendiri, "Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Ataukah kita masih terjebak dalam ilusi kemerdekaan, di mana bendera berkibar tetapi janji-janji tidak pernah terwujud?".

Fenomena penggunaan simbol One Piece sebagai bahasa politik bukanlah sekadar tren sesaat. Ini adalah sebuah peringatan bagi kita semua, terutama bagi mereka yang berada di kursi kekuasaan. Peringatan ini datang dari generasi muda, dari rakyat kecil, dari mereka yang lelah dengan ketidakadilan.

Mereka tidak lagi percaya pada janji-janji kosong atau pidato-pidato yang berapi-api. Mereka lebih percaya pada simbol-simbol yang dapat berbicara dengan bahasa yang jujur dan tulus. Mereka lebih percaya pada komunitas yang mereka bangun sendiri di media sosial, di mana mereka dapat berbagi keluh kesah dan harapan tanpa rasa takut.

Maka, jika Anda melihat bendera Topi Jerami di media sosial, jangan buru-buru mencap mereka sebagai anti-nasionalis. Cobalah untuk memahami apa yang ingin mereka katakan. Dengarkan suara mereka, pahami kegelisahan mereka, dan renungkan pertanyaan yang mereka ajukan, "Apakah kita sudah benar-benar merdeka?".

Mungkin, jawabannya tidak akan ditemukan di buku sejarah atau di pidato-pidato pejabat. Mungkin, jawabannya hanya dapat ditemukan di hati nurani kita masing-masing.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak