Tidak Sekadar Angka: Ketimpangan Gender di Dunia Kerja yang Masih Menganga

Hayuning Ratri Hapsari | Davina Aulia
Tidak Sekadar Angka: Ketimpangan Gender di Dunia Kerja yang Masih Menganga
Ilustrasi perempuan (Pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Di era yang kerap mengklaim telah mencapai kemajuan pesat dalam hal kesetaraan gender, dunia kerja justru masih menyimpan jurang ketimpangan yang lebar. Perempuan masih menghadapi berbagai hambatan struktural, mulai dari akses pekerjaan hingga peluang kepemimpinan.

Laporan dari World Economic Forum tahun 2024 menunjukkan bahwa kesenjangan partisipasi ekonomi antara laki-laki dan perempuan masih belum banyak berubah dalam satu dekade terakhir.

Di Indonesia, meski tingkat partisipasi kerja perempuan terus meningkat, mereka masih terkonsentrasi pada sektor informal dan sering mendapatkan upah lebih rendah dibandingkan rekan laki-laki untuk pekerjaan serupa.

Masalah ini bukan hanya sekadar statistik yang menunjukkan berapa banyak perempuan yang bekerja atau menempati posisi manajerial. Ketimpangan gender dalam dunia kerja adalah cerminan dari sistem yang masih bias dan mengakar dalam norma sosial, budaya, serta kebijakan perusahaan.

Diskusi mengenai kesetaraan tidak cukup jika hanya berhenti pada upaya menaikkan jumlah perempuan di tempat kerja, tanpa mengurai akar persoalan yang membuat mereka sulit berkembang. Apakah dunia kerja kita memang sudah inklusif dan adil bagi semua gender, ataukah hanya tampak demikian di permukaan?

Perempuan dan Tembok Tak Kasat Mata

Salah satu bentuk ketimpangan yang kerap tak terlihat adalah glass ceiling, atau langit-langit kaca, merupakan batas tak tertulis yang menghalangi perempuan untuk mencapai posisi tertinggi dalam organisasi.

Banyak perempuan memang masuk ke dunia kerja, namun hanya sedikit yang menduduki posisi strategis seperti direksi atau eksekutif. Ketika perempuan dinilai kurang “tegas” atau “kurang cocok memimpin,” penilaian ini sering kali berasal dari stereotip gender, bukan dari kinerja.

Fenomena ini diperparah oleh minimnya dukungan sistemik dalam mengembangkan kepemimpinan perempuan. Program mentoring, pelatihan, atau promosi sering kali lebih mengakomodasi laki-laki yang dianggap lebih “serius” dalam karier.

Akibatnya, potensi perempuan kerap terabaikan, bukan karena tidak mampu, melainkan karena tidak diberi peluang yang sama.

Beban Ganda dan Ketimpangan Peran

Selain menghadapi ketidaksetaraan di tempat kerja, perempuan juga sering dibebani dengan tanggung jawab domestik yang tidak seimbang.

Meski bekerja penuh waktu, banyak perempuan tetap dianggap bertanggung jawab utama atas urusan rumah tangga dan pengasuhan anak. Hal ini memengaruhi pilihan pekerjaan, jam kerja, hingga peluang promosi yang bisa mereka ambil.

Beban ganda ini menyebabkan perempuan lebih rentan terhadap stres dan kelelahan, serta cenderung menghindari posisi yang menuntut waktu dan energi besar.

Padahal, jika peran domestik dibagi secara setara dan ada dukungan kebijakan dari perusahaan, seperti cuti orang tua bagi kedua gender atau fleksibilitas kerja, perempuan bisa berpartisipasi lebih penuh dalam dunia profesional.

Ketimpangan Upah dan Peluang Karier

Perempuan masih menghadapi ketimpangan upah yang signifikan. Meski memiliki kualifikasi pendidikan dan pengalaman yang sama, banyak perempuan dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki untuk posisi serupa.

Data dari BPS pada 2023 menyebutkan bahwa rata-rata upah perempuan hanya sekitar 80% dari upah laki-laki. Perbedaan ini tidak hanya mengindikasikan ketidakadilan, tetapi juga mencerminkan bias sistemik dalam penilaian kerja.

Selain soal upah, peluang pengembangan karier juga tidak merata. Perempuan sering kali tidak dilibatkan dalam proyek besar, dipromosikan lebih lambat, atau bahkan tidak dianggap layak untuk mengikuti pelatihan penting.

Ketimpangan ini mempersempit jalan perempuan menuju jenjang yang lebih tinggi, menjadikan dunia kerja tetap menjadi arena yang berat sebelah.

Ketimpangan gender di dunia kerja bukan hanya isu perempuan, ini adalah persoalan keadilan sosial dan pembangunan yang inklusif. Dunia kerja yang adil seharusnya mampu memberikan ruang yang setara bagi semua orang, tanpa membatasi berdasarkan jenis kelamin.

Untuk mencapai itu, dibutuhkan lebih dari sekadar statistik, perlu perubahan budaya kerja, kebijakan yang berpihak pada kesetaraan, serta kesadaran kolektif bahwa kemampuan dan kepemimpinan tidak mengenal gender.

Perjuangan ini masih panjang, tetapi harus terus dilanjutkan agar dunia kerja benar-benar menjadi ruang yang adil dan manusiawi untuk semua.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak