Brownies, Skripsi, dan Luka Kecil di Tubuh Integritas

Hikmawan Firdaus | Yayang Nanda Budiman
Brownies, Skripsi, dan Luka Kecil di Tubuh Integritas
Ilustrasi Brownies (Pixabay)

Menjelang akhir masa studi, ketika ruang-ruang perpustakaan mulai sesak dan ruang dosen tak pernah sepi, ada satu pemandangan yang nyaris dianggap lazim di sebagian kampus di Indonesia: mahasiswa tingkat akhir menyelipkan sebungkus kue, kotak makanan, atau cenderamata kecil saat menyerahkan revisi skripsi. Di balik narasi “terima kasih” yang terdengar manis, sesungguhnya kita sedang menyaksikan akar-akar kecil dari sebuah budaya yang lebih besar—budaya gratifikasi yang dibungkus sopan santun.

Tradisi ini sering dipahami sebagai bentuk penghormatan dan apresiasi. Tapi persoalannya bukan soal niat, melainkan konteks. Ketika hadiah diberikan kepada seseorang yang memiliki kuasa menentukan kelulusan, saat itulah garis batas antara terima kasih dan upaya mempengaruhi mulai kabur.

Dalam sistem hukum Indonesia, gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Maka, sepotong brownies dalam ruang akademik bisa jadi lebih berat dari yang terlihat: ia mungkin membawa bobot moral yang tak kasat mata.

Relasi antara mahasiswa dan dosen, dalam struktur akademik, jelas timpang. Mahasiswa membutuhkan validasi, sedangkan dosen punya otoritas. Dalam ketimpangan ini, segala bentuk pemberian—seberapapun kecil dan manisnya—berisiko menjadi bentuk transaksi halus. Apa yang semula dianggap “budaya penghargaan” mulai bergeser menjadi “strategi memperlancar urusan”.

Yang lebih mengkhawatirkan, tradisi ini telah hidup lama dan diam-diam diwariskan secara informal antar generasi mahasiswa. Cerita dari kakak tingkat, “tips kelulusan” dari teman seangkatan, semua membentuk norma sosial baru bahwa “memberi sesuatu” adalah bagian tak terpisahkan dari proses akademik. Bahkan, tak jarang mahasiswa merasa takut jika tak mengikuti “tradisi” ini—seakan-akan tidak membawa kue sama dengan menantang sistem yang tak tertulis.

Namun di sinilah akar masalah itu tumbuh: ketika pemberian hadiah tak lagi bersumber dari niat tulus, tapi dari ketakutan dan kepentingan. Saat mahasiswa belajar bahwa hubungan personal lebih menentukan kelulusan daripada kualitas karya ilmiah, maka integritas mulai runtuh sejak dari ruang kuliah.

Dan yang lebih menyesakkan: pengalaman ini akan mereka bawa ke dunia profesional. Ketika nanti mereka menjadi pegawai, pengusaha, atau bahkan pejabat, mereka mungkin akan kembali memakai logika yang sama—bahwa segala sesuatu bisa lebih cepat dan mudah jika disertai “tanda terima kasih”. Maka, sepotong kue hari ini bisa menjelma menjadi amplop besok hari. Benih korupsi, seringkali, tidak ditanam di ruang sidang KPK, tapi di balik meja revisi skripsi yang kita anggap biasa-biasa saja.

Mengapa semua ini bisa bertahan? Ada tiga akar utama. Pertama, budaya patronase dan penghormatan simbolik yang melekat dalam masyarakat kita. Kedua, ketakutan mahasiswa yang merasa lebih aman dengan “memberi” daripada tidak melakukan apa-apa. 

Ketiga, ketiadaan aturan tegas dari pihak kampus. Banyak institusi pendidikan tidak memiliki regulasi spesifik terkait gratifikasi akademik, dan menyerahkan semuanya pada etika pribadi dosen dan mahasiswa. Padahal, dalam situasi relasi yang timpang, mengandalkan etika pribadi adalah sebuah kelengahan.

Lantas, apa yang bisa dilakukan?

Kampus harus berani mengambil sikap. Salah satunya dengan menerapkan kebijakan zero gift—tidak ada pemberian dalam bentuk apa pun dalam proses akademik. Jika pemberian tak terhindarkan, maka harus dilaporkan dan dikelola secara transparan. Dosen pun harus menjadi teladan moral: menolak segala bentuk pemberian dan hanya menilai berdasarkan kualitas ilmiah mahasiswa.

Di sisi lain, mahasiswa harus dibekali pendidikan integritas sejak awal masuk kuliah. Tak cukup dengan seminar anti-korupsi satu-dua kali, melainkan melalui kurikulum dan budaya kampus yang mendukung nilai-nilai kejujuran. Kampus juga harus menyediakan mekanisme pengawasan dan pengaduan yang aman, rahasia, dan bebas dari risiko pembalasan.

Sebagai alternatif bentuk penghargaan, mahasiswa bisa menulis surat terbuka, memberikan testimoni publik, atau menyerahkan penghargaan simbolik non-materi dalam forum resmi. Dengan begitu, rasa terima kasih tetap tersampaikan, namun tanpa mengorbankan integritas.

Perubahan memang tak datang secepat revisi skripsi yang diteken dalam satu hari. Ia butuh waktu, konsistensi, dan kesadaran kolektif. Tapi jika kita sungguh ingin membangun generasi yang berani jujur, perubahan itu harus dimulai sekarang. Bukan esok hari. Bukan setelah wisuda.

Karena kampus bukan sekadar tempat belajar teori. Ia adalah tempat kita belajar menjadi warga negara. Dan di antara lembar-lembar skripsi, mestinya tak ada ruang untuk kompromi yang menjadikan kejujuran sebagai pilihan kedua. Jangan biarkan nilai sebuah gelar akademik ternoda oleh hadiah kecil yang kita tahu, tidak pernah benar-benar netral.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak