Fenomena Perselingkuhan Micro Cheating: Gejala Mental Bukan Sekadar Moral

Hayuning Ratri Hapsari | Angelia Cipta RN
Fenomena Perselingkuhan Micro Cheating: Gejala Mental Bukan Sekadar Moral
Ilustrasi perselingkuhan (Pexels/Keira Burton)

Di tengah dunia yang serba terkoneksi, kesetiaan menghadapi ujian paling berat dalam sejarah hubungan manusia. Kini, perselingkuhan tidak lagi membutuhkan pertemuan rahasia atau surat cinta tersembunyi cukup satu pesan di direct message, satu emoji senyum, atau satu “like” di unggahan orang lain.

Fenomena ini dikenal sebagai micro-cheating, bentuk pengkhianatan halus yang sering dimulai dari perhatian kecil tapi berujung pada keterikatan emosional di luar hubungan utama.

Psikolog modern melihat tren ini sebagai gejala sosial sekaligus psikologis. Manusia adalah makhluk yang haus validasi, dan media sosial menyediakan pasokan perhatian tanpa batas. Rasa diperhatikan dari orang lain, sekecil apa pun, bisa memicu pelepasan dopamin di otak hormon yang memberi sensasi senang.

Dalam jangka panjang, sensasi ini bisa menjadi candu, hingga seseorang tanpa sadar mencari pengganti perhatian pasangan di dunia digital.

Kasus perselingkuhan yang kian marak di era ini bukan sekadar bukti moral yang goyah, melainkan cermin dari kesehatan mental yang rapuh. Ketika seseorang tidak bahagia dalam diri sendiri, perhatian luar tampak seperti obat penenang, meski efeknya sementara.

Akar Psikologis: Luka Emosional dan Kesiapan Mental yang Rapuh

Banyak perselingkuhan berawal bukan dari niat jahat, tetapi dari luka yang belum disembuhkan. Menurut psikolog hubungan Esther Perel, pengkhianatan sering kali muncul bukan karena seseorang mencari orang lain, melainkan karena ingin menemukan kembali dirinya yang hilang.

Saat seseorang merasa tidak lagi “hidup” dalam hubungan kehilangan gairah, penghargaan, atau kebebasan ia mungkin mencari pantulan diri baru melalui hubungan terlarang.

Kesiapan mental menjadi faktor utama dalam menjaga hubungan tetap sehat. Hubungan harmonis tidak hanya membutuhkan cinta, tetapi juga kematangan psikologis: kemampuan mengelola emosi, mengatur ekspektasi, dan menanggung ketidaknyamanan tanpa lari dari masalah.

Banyak pasangan yang gagal bukan karena kekurangan cinta, tetapi karena belum siap secara mental menghadapi konflik, stres, dan perubahan yang tak terelakkan dalam hubungan jangka panjang.

Dalam konteks psikologi, ini dikenal dengan konsep emotional regulation kemampuan seseorang mengendalikan reaksi emosionalnya dengan sehat. Tanpa keterampilan ini, seseorang mudah merasa tidak dihargai, mudah curiga, dan mudah mencari pelarian.

Di titik inilah perselingkuhan sering muncul bukan sebagai pencarian cinta baru, tapi sebagai bentuk pelarian dari tekanan batin.

Kesehatan Mental dan Hubungan: Dua Hal yang Tak Terpisahkan

Kesehatan mental yang stabil adalah pondasi hubungan harmonis. Pasangan dengan kestabilan emosi tinggi cenderung lebih sabar, komunikatif, dan mampu menghadapi perbedaan tanpa konflik berkepanjangan. Sebaliknya, mereka yang menyimpan stres, kecemasan, atau trauma emosional cenderung menyalurkan ketidakpuasan itu ke dalam hubungan.

Hubungan yang bertahan lama ditandai oleh kemampuan kedua pasangan untuk saling menenangkan saat konflik. Mereka tidak saling menyalahkan, tetapi berfokus pada pemecahan masalah.

Sebaliknya, hubungan yang dipenuhi kritik, defensif, dan sikap meremehkan berisiko tinggi mengalami kehancuran termasuk membuka peluang perselingkuhan.

Menariknya, era digital memperburuk tantangan ini. Ketika stres meningkat dan komunikasi melemah, dunia maya menjadi tempat pelarian yang nyaman. Ada seseorang yang selalu siap mendengarkan, memberi perhatian, dan membuat kita merasa “dihargai kembali.” Padahal, perhatian semu ini sering kali berujung pada ketergantungan emosional yang justru menguras energi mental lebih dalam.

Hubungan yang sehat memerlukan dua individu yang sehat pula secara psikologis. Artinya, masing-masing harus mampu menenangkan diri, memahami kebutuhan emosionalnya, dan berani mengungkapkan perasaan tanpa menyakiti. Tanpa hal itu, cinta bisa berubah menjadi medan perang mental yang melelahkan.

Menjaga Cinta dan Kewarasan di Era Serba Digital

Lalu, bagaimana cara menjaga keharmonisan dan kesehatan mental di tengah badai godaan digital? Pertama, bangun komunikasi emosional yang jujur. Jangan menunggu masalah meledak untuk mulai bicara. Sampaikan ketidaknyamanan sejak dini, bahkan untuk hal-hal kecil. Kejujuran adalah bentuk cinta paling tulus dan juga benteng paling kuat melawan perselingkuhan.

Kedua, tetapkan batas digital bersama. Sepakati apa yang dianggap wajar dan tidak wajar dalam interaksi daring. Ini bukan tentang kontrol, tapi tentang transparansi dan saling menghargai.

Ketiga, pelihara kesehatan mental individu. Jangan bergantung pada pasangan untuk selalu menjadi sumber kebahagiaan.

Miliki ruang pribadi, teman sehat, dan cara mengelola stres sendiri. Hubungan yang sehat bukan yang selalu bersama, tetapi yang mampu memberi ruang bagi pertumbuhan pribadi.

Akhirnya, cinta di era digital menuntut lebih dari sekadar rasa ia menuntut ketahanan mental. Godaan akan selalu ada, tapi pasangan yang matang secara psikologis tahu bahwa hubungan bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang komitmen untuk saling menjaga kewarasan di tengah dunia yang semakin bising.

Karena di balik setiap cinta yang bertahan lama, ada dua jiwa yang memilih untuk tetap sadar, sehat, dan setia bukan karena dunia memudahkan, tapi karena mereka telah siap secara mental untuk memperjuangkannya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak