Beberapa waktu terakhir, media sosial dipenuhi kasus bullying yang viral, mulai dari kekerasan fisik di sekolah, perundungan verbal, hingga penghinaan di ruang publik. Setiap kali sebuah kasus muncul ke permukaan, publik langsung heboh, terutama pengguna media sosial.
Imbasnya, muncul kemarahan massal, kecaman, hingga desakan penindakan tegas bagi pelaku bullying. Namun, pertanyaan besar yang selalu muncul adalah mengapa kita baru bergerak saat kasusnya sudah viral dan terlambat?
Fenomena ini menunjukkan kalau ada sesuatu yang salah dalam sistem deteksi dini bullying, baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan sosial, seolah semua harus menunggu diviralkan lebih dulu.
Budaya Menunggu “Bukti Viral” Sebelum Bertindak
Salah satu penyebab masyarakat terkesan lamban bergerak adalah karena banyak kasus bullying tidak terlihat sebelum direkam dan dipublikasikan. Banyak korban memilih diam karena takut, malu, atau merasa tidak akan dipercaya.
Di sisi lain, kasus bullying baru dianggap nyata kalau ada bukti visual berupa foto atau video yang sulit dibantah. Tanpa bukti visual, banyak laporan bullying hanya dianggap drama, berlebihan, atau masalah pribadi yang sepele.
Diakui atau tidak, tekanan massa yang kemudian mampu memaksa respons cepat dari pihak terkait untuk menindak kasus bullying. Namun, tindakan ini lebih sering bersifat reaktif dan bukan preventif.
Pada akhirnya, kasus perundungan dalam kehidupan sehari-hari semakin terlihat normal, terutama dalam pergaulan, karena dibungkus dengan dalih “cuma bercanda” atau “namanya juga anak-anak”.
Normalisasi dan pola pikir semacam ini kemudian membuat tanda-tanda awal perilaku bullying sering diabaikan hingga korban yang memilih diam semakin terluka dalam waktu yang lama.
Bullying Sudah Terjadi Lama Sebelum Videonya Viral
Mayoritas kasus bullying yang viral bukan kejadian pertama tapi puncak gunung es dari rangkaian perundungan yang sudah berlangsung lama. Korban terlanjur terluka, mulai menarik diri, mengalami penurunan prestasi hingga perubahan suasana hati yang drastis.
Namun sayangnya, banyak lingkungan tidak peka terhadap sinyal-sinyal awal tersebut. Saat bukti visual muncul, barulah semua orang menyadari bahwa masalahnya sudah berkembang parah.
Pencegahan Bullying Lambat, Salah Sistem yang Telat?
Fenomena bullying viral sebenarnya mencerminkan kelemahan sistemik yang khas, seperti ruang aman untuk melapor yang minim, mekanisme antibullying yang rendah, serta lingkungan yang cenderung menyalahkan korban.
Sering kali, bullying semakin marak karena korban memilih diam dan takut untuk melapor. Beberapa korban bahkan takut akan dibalas lebih kejam jika melapor tindakan perundungan yang dialami mengingat saluran pelaporan yang tidak aman.
Selain itu, sekolah yang kerap menjadi “TKP” bullying hanya fokus pada penyelesaian akademik, bukan keamanan emosional siswa. Pada akhirnya, program antibullying terkesan hanya jadi formalitas, bukan sistem kerja nyata.
Kecenderungan lingkungan yang menyalahkan korban juga punya andil besar dalam lambannya pencegahan bullying. Korban yang seharusnya didukung malah dihakimi hingga semakin merasa bersalah dan enggan bicara.
Peran Media Sosial: Penyelamat atau Pemicu Sensasi?
Dalam kasus bullying, media sosial memiliki dua sisi. Di satu sisi, ia membantu membuka kasus yang selama ini tersembunyi. Di sisi lain, viralitas sering membuat fokus beralih ke drama, bukan penyelesaian.
Reaksi masyarakat pun sering pendek umur, marah hari ini dan lupa besok. Padahal, yang dibutuhkan korban dan fenomena bullying secara umum bukan sekadar trending topic, tetapi sistem pencegahan berkelanjutan.
Bergerak Lebih Cepat dalam Kampanye Antibullying, Masyarakat Siap?
Agar tidak selalu terlambat, perlu ada perubahan mendasar di berbagai lini demi kampanye antibullying yang sigap dan cepat. Jangan cuma menunggu kasus viral dulu baru ditangani, tapi cegah sejak dini.
Pendidikan antibullying harus menjadi kultur, bukan sekadar event sesaat. Langkah antisipasi bullying tidak butuh seminar setahun sekali, tapi harus masuk menjadi bagian dari kurikulum, aktivitas kelas, dan kebijakan sekolah.
Seminar hanya ‘senjata’ pendukung bagi guru dan staf sekolah yang memang butuh pelatihan khusus agar mampu mengenali tanda-tanda dan menangani kasus bullying dengan benar, tanpa menyalahkan korban.
Di sisi lain, orang tua juga harus peka pada perubahan emosi anak. Saat sikap anak mulai berubah dan berbeda biasanya, celah komunikasi hangat dan empatik harus dibuka untuk menggali indikasi bullying yang mungkin disembunyikan.
Publik juga harus bekerja sama dalam menciptakan ruang aman untuk kanal laporan anonim. Komunitas ini akan menjadi fondasi kuat dalam sistem pelaporan yang rahasia, mudah diakses, dan tidak membuat pelapor takut.
Fokus pada Pencegahan, Bukan Sekadar Hukuman
Tidak kalah penting, masyarakat juga harus menaruh perhatian pada pencegahan, bukan sekadar membahas hukuman pada pelaku bullying. Memang benar hukuman penting, tetapi membangun empati, toleransi, dan keterampilan sosial jauh lebih berdampak jangka panjang.
Intinya, jangan tunggu viral dulu baru peduli. Kasus bullying yang viral hanyalah puncak dari masalah yang jauh lebih besar. Kita harus berhenti bersikap reaktif dan mulai membangun lingkungan yang aman secara emosional.
Jangan biarkan korban menunggu bukti viral untuk mendapat keadilan. Jangan biarkan pelaku belajar bahwa mereka bisa bertindak tanpa konsekuensi sampai dunia melihatnya. Bullying bisa dicegah kalau semua pihak mau peduli sebelum kamera menyala.