Sobat yoursay, bencana banjir dan longsor di Aceh dan Sumatra adalah duka kita semua. Namun di balik itu, kerugian yang ditimbulkan diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah.
Beberapa lembaga bahkan menghitung bahwa nilai deforestasi sendiri bisa menembus angka 68 triliun rupiah. Bayangkan angka sebesar itu menguap begitu saja karena kita kehilangan pelindung alami yang seharusnya menjaga aliran sungai tetap tenang dan lereng bukit tetap tegak.
Namun, anehnya, negara tetap terlihat sabar meneken izin pembukaan lahan. Katanya demi pembangunan ekonomi, katanya demi lapangan kerja, dan katanya demi pertumbuhan. Seolah-olah nilai hutan hanya hidup ketika berubah menjadi tumpukan batang kayu atau tambang yang menganga.
Padahal, hutan justru bekerja diam-diam, dalam keheningan akar dan naungan pohon, menjaga kestabilan air, cuaca, dan tanah. Nilai yang tidak dijual di pasar, sehingga sering dianggap tidak ada.
Sobat yoursay, kita sering diberi narasi bahwa pembangunan hanya bisa berjalan jika lahan dibuka. Bahwa masa depan ekonomi harus ditebus dengan sedikit pengorbanan ekologis.
Tetapi setiap kali hujan deras turun, kita melihat sendiri siapa yang akhirnya membayar lebih mahal, tak lain yaitu masyarakat yang rumahnya hanyut, petani yang gagal panen, anak-anak yang kehilangan sekolah, pemerintah daerah yang harus menutup anggaran untuk perbaikan jalan dan jembatan, serta pusat yang mau tidak mau menggelontorkan dana miliaran untuk tahap tanggap darurat.
Satu banjir besar saja bisa menghabiskan ratusan miliar dalam hitungan hari. Belum lagi longsor yang menyeret tiang listrik, merusak rumah sakit, dan memutus akses logistik berhari-hari.
Sekarang bayangkan itu terjadi berulang-ulang, tahun demi tahun. Apakah masih masuk akal jika kita terus mengatakan bahwa pembukaan lahan membawa keuntungan?
Negara terlihat rela kehilangan hutan demi pendapatan jangka pendek, padahal kerugiannya kembali ke negara itu sendiri dalam bentuk bencana yang semakin parah. Dan bukan hanya kerugian material. Kerugian sosial, psikologis, bahkan hilangnya generasi yang terdampak jauh lebih sulit dihitung.
Kita juga jarang membahas bagaimana seorang anak harus belajar di bangunan rusak, bagaimana ibu-ibu tidur di posko pengungsian selama berminggu-minggu, atau bagaimana petani harus memulai hidup dari nol karena sawah mereka berubah menjadi kubangan lumpur.
Sobat yoursay, setiap kali pemerintah berbicara soal pembangunan ekonomi, entah kenapa tidak pernah dibarengi dengan kalkulasi biaya ekologis yang sesungguhnya. Padahal, pembangunan yang mengabaikan perlindungan alam akan terus memproduksi bencana. Dan setiap bencana yang terjadi adalah bukti bahwa kita sedang membangun di atas tanah yang rapuh.
Lalu, apakah pemerintah benar-benar menghitung nilai hutan secara utuh? Atau hanya menghitung nilai jual kayu, tambang, dan lahan?
Hutan adalah infrastruktur ekologis yang bekerja tanpa gaji, tanpa cuti, bahkan tanpa perlu konferensi pers. Hutan mengatur aliran air, menyerap karbon, menghambat angin, menjaga struktur tanah, hingga menjadi rumah bagi ekosistem yang saling menopang satu sama lain. Ketika hutan hilang, maka kita juga kehilangan sistem penyangga kehidupan itu sendiri.
Sobat yoursay, seandainya kerugian akibat bencana benar-benar diperhitungkan secara menyeluruh, mulai dari infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga dampak sosial, mungkin kita akan menyadari bahwa deforestasi adalah investasi rugi terbesar dalam sejarah pembangunan negeri ini.
Mungkin sudah saatnya negara berhenti memandang hutan sebagai aset pasif yang bisa ditebang kapan saja. Hutan harus diperlakukan sebagai perlindungan ekologis yang nilainya meningkat seiring krisis iklim. Tanpa itu, kita hanya membangun ilusi kemajuan yang mudah dicuci bersih oleh satu hujan deras.
Dan ketika itu terjadi lagi, siapa yang membayar? Bukan perusahaan pemegang izin, bukan pula pejabat yang menandatangani persetujuan. Tetapi masyarakat yang setiap tahun harus membersihkan lumpur yang bukan mereka ciptakan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS