Menurut Game Quitters, lebih dari dua miliar orang di dunia saat ini bermain game, dan jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat.
Data menunjukkan bahwa beberapa negara memiliki tingkat penetrasi video game yang sangat tinggi, mencerminkan minat masyarakat yang besar terhadap permainan ini.
Secara global, rata-rata penetrasi game mencapai 81,9%, yang berarti delapan dari sepuluh pengguna internet di dunia memanfaatkan waktu mereka untuk bermain game.
Namun, bermain game secara berlebihan dan dalam waktu yang lama dapat berdampak negatif pada kesehatan, terutama dalam perkembangan emosi dan sosial anak-anak.
Anak-anak di usia sekolah dasar, yang masih rentan baik secara fisik maupun mental, sering kali kesulitan membedakan mana yang baik dan buruk untuk mereka.
Fenomena ini, bersamaan dengan meningkatnya popularitas game online, telah menyebabkan banyak anak di usia tersebut mengalami kecanduan.
Kecanduan game telah menjadi topik yang banyak dibahas dalam beberapa tahun terakhir, seiring bertambahnya jumlah pemain game online.
Meski banyak orang menikmati bermain game sebagai bentuk hiburan, dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan emosional mulai menarik perhatian para peneliti dan ahli kesehatan mental.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan telah mendefinisikan gangguan akibat video game sebagai gaming disorder dalam revisi ke-11 Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD-11).
Gangguan ini ditandai oleh perilaku bermain game yang tidak terkontrol hingga mengganggu kehidupan sehari-hari.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Psychology of Addictive Behaviors menunjukkan bahwa kecanduan game dapat berdampak negatif pada kesehatan mental.
Dalam studi tersebut, peserta yang melaporkan waktu bermain yang berlebihan juga mengalami tingkat stres dan kecemasan yang lebih tinggi.
Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa penggunaan game sebagai pelarian justru dapat memperburuk masalah emosional yang ada.
Selain itu, tak sedikit komunitas game sering kali menciptakan lingkungan yang toksik. Banyak pemain melepaskan frustasi mereka akibat kekalahan dalam permainan, yang dapat menimbulkan perilaku kasar.
Sikap toksik ini menjadi kebiasaan, didorong oleh lingkungan game online yang sudah tidak sehat, dan pemain baru cenderung terjerumus ke dalam perilaku serupa demi bertahan.
Sebuah studi oleh Anti-Defamation League mengungkapkan bahwa lebih dari 80% pemain multiplayer mengalami perilaku toksik, yang mayoritas berkaitan dengan gender, etnis, ras, orientasi seksual, agama, dan kemampuan.
Dampak perilaku ini sangat berbahaya, dapat menyebabkan depresi atau bahkan pikiran untuk bunuh diri. Namun, tidak semua penelitian menunjukkan efek negatif.
Dalam konteks tertentu, bermain game dapat memberikan manfaat emosional. Sebuah studi dalam Computers in Human Behavior menemukan bahwa pemain yang menggunakan game untuk bersosialisasi dan membangun hubungan sosial cenderung memiliki kesejahteraan emosional yang lebih baik.
Interaksi dalam game multiplayer dapat menciptakan dukungan sosial yang penting, membantu mengurangi rasa kesepian dan meningkatkan suasana hati.
Beberapa pemain mungkin menggunakan game sebagai cara untuk mengatasi perasaan negatif, tetapi pola ini bisa menjadi berbahaya seiring berjalannya waktu.
Para ahli menyarankan agar pemain menerapkan pendekatan seimbang, menetapkan batas waktu bermain, dan melibatkan diri dalam aktivitas sehat dan produktif lainnya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS