Beberapa waktu belakangan ini, fenomena "quiet quitting" atau berhenti secara diam-diam, semakin banyak dibicarakan di dunia kerja. Istilah ini mengacu pada kondisi di mana pekerja melakukan pekerjaan mereka hanya sebatas kewajiban dasar tanpa semangat atau keterlibatan lebih, meskipun secara fisik mereka masih ada di tempat kerja. Tapi, apa yang sebenarnya membuat fenomena ini semakin marak?
Banyak yang berpendapat bahwa berhenti diam bukanlah masalah malas bekerja, melainkan rasa tidak dihargai dan kelelahan akibat ekspektasi yang berlebihan. Ketika pekerja merasa bahwa usaha mereka tidak diakui atau bahkan tidak dihargai, mereka mulai menarik diri. Mereka melakukan tugas hanya untuk memenuhi kewajiban tanpa berusaha lebih, karena mereka merasa tidak akan mendapatkan penghargaan yang setimpal.
Di balik fenomena ini, ada juga peran perusahaan yang sering kali tidak mampu memberikan penghargaan yang mampu terhadap kontribusi karyawan. Laporan atau pencapaian yang luar biasa tidak selalu diikuti dengan penghargaan yang nyata. Bahkan terkadang perusahaan lebih fokus pada keuntungan dan efisiensi tanpa melihat kesejahteraan mental dan emosional pekerjanya. Hal ini menambah rasa frustrasi yang pada akhirnya menumbuhkan sikap apatis di kalangan karyawan.
Selain itu, budaya kerja yang beracun juga turut mempengaruhi munculnya silent quiting. Ketika lingkungan kerja dipenuhi tekanan, tuntutan yang tidak realistis, atau budaya “kerja keras tanpa batas”, banyak pekerja merasa terjebak. Mereka merasa terpaksa bekerja lebih dari yang seharusnya tanpa adanya dukungan yang cukup. Di sisi lain, mereka juga tidak merasa nyaman untuk mengungkapkan ketidakpuasan mereka karena takut dianggap tidak loyal atau tidak profesional.
Ada pula faktor lain seperti ketidakjelasan jenjang karier. Pekerja yang merasa bahwa upaya mereka tidak memberikan dampak pada kemajuan karier mereka akan mulai kehilangan motivasi. Tidak ada ruang untuk berkembang atau dihargai, maka mereka memilih untuk berhenti berusaha lebih dan hanya memenuhi target dasar yang diberikan.
Fenomena silent quitting ini sebenarnya adalah sinyal bagi perusahaan untuk menyalakan kembali budaya kerja yang mereka terapkan. Hal ini mengingat bahwa pekerja yang merasa dihargai, diberi ruang untuk berkembang, dan diberi penghargaan yang layak, cenderung lebih produktif dan setia. Jika tidak ada perbaikan dalam cara perusahaan menghargai kontribusi karyawan, masalah ini bisa menjadi lebih besar dan merugikan bagi kedua belah pihak.
Tentu saja, pekerja juga memiliki peran dalam menyadari bahwa komunikasi terbuka dengan atasan bisa menjadi langkah pertama untuk mencegah pengunduran diri secara diam-diam. Namun, pada akhirnya, ini adalah masalah yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak, baik pekerja maupun perusahaan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan penuh penghargaan.