Baim Wong lagi-lagi jadi sorotan. Kali ini bukan karena prank YouTube atau sensasi, melainkan keputusan melibatkan kedua anaknya, Kiano dan Kenzo, dalam film horor terbarunya berjudul SUKMA.
Meski hanya tampil sebagai pemeran pendukung, kehadiran Kiano dan Kenzo sukses bikin warganet terbelah. Banyak yang terkejut, bahkan khawatir, mengingat usia mereka masih sangat belia.
“Kok aku kasihan lihat mereka (Kiano dan Kenzo),” tulis seorang netizen yang menilai anak-anak seharusnya tak perlu ikut proyek film.
Baim pun buru-buru klarifikasi lewat unggahan di media sosial pada 27 Agustus 2025. Menurutnya, keterlibatan Kiano dan Kenzo sama sekali bukan paksaan.
“Justru mereka yang semangat banget di lokasi syuting. Keinginan buat ikut tampil datang dari Kiano dan Kenzo sendiri,” ujar Baim.
Namun klarifikasi itu tak serta-merta meredam perdebatan publik. Pertanyaan lebih besar muncul: perlukah anak kecil dilibatkan dan dikenalkan ke film horor?
Penelitian Atlantis Press (2023) menemukan, anak usia 3–5 tahun yang sering menonton horor cenderung mengalami gangguan emosional: takut berlebih, susah tidur sendiri, sampai konsentrasi belajar menurun.
Universitas Michigan bahkan melaporkan 25 persen mahasiswa masih menyimpan trauma dari tontonan horor di masa kecil. Efeknya bisa berupa kecemasan di tempat gelap, sulit tidur, hingga halusinasi.

Di usia dini, imajinasi anak masih kuat dan sulit membedakan nyata-fiksi. Adegan monster atau hantu bisa mereka anggap sungguhan, meninggalkan rasa takut yang menetap. Meski ada juga pendapat yang menyebut horor bisa jadi sarana melatih mental, risikonya jauh lebih besar jika tak sesuai usia.
Kuncinya ada pada peran orang tua. Tanpa pendampingan, anak hanya menyerap rasa takut. Tapi dengan co-viewing, penjelasan, dan obrolan setelah menonton, mereka bisa belajar mengelola emosi.
Jadi, bolehkah anak menonton film horor? Jawabannya tak sesederhana ya atau tidak. Tapi kalau melihat hasil penelitian, dampak negatif jelas lebih besar. Sebelum mengajak si kecil, orang tua harus bertanya: ini benar-benar hiburan, atau justru awal dari trauma panjang?
Penulis: Muhammad Ryan Sabiti