Terbukti! 5 Sebab Home Fatigue Akibat WFH Tanpa Batas di Era Digital

Bimo Aria Fundrika | Alpatih Al
Terbukti! 5 Sebab Home Fatigue Akibat WFH Tanpa Batas di Era Digital
ilustrasi seorang wanita alami jenuh kerja/home Fatigue, penyebabnya budaya always on, notifikasi pekerjaan terus menerus, regulasi jam kerja kurang, rumah jadi kantor sampai pada dampak psikologis yang terjadi (www.pexels.com/Helena Lopes)

Era digital memang membawa banyak kemudahan, terutama dengan hadirnya sistem kerja jarak jauh seperti WFH dan pola hybrid. Fleksibilitas ini memungkinkan pekerja menyesuaikan ritme kerja dengan kebutuhan pribadi sehingga produktivitas bisa meningkat.

Namun, di balik kenyamanan tersebut, muncul tantangan baru berupa home fatigue, yaitu kondisi ketika rumah kehilangan peran utamanya sebagai tempat beristirahat dan berubah menjadi kantor tanpa batas waktu yang jelas.

Fenomena home fatigue semakin nyata dialami oleh generasi muda yang terbiasa dengan budaya “always on”. Notifikasi pekerjaan yang terus berdatangan, bahkan di luar jam kerja, membuat batas antara kehidupan pribadi dan profesional semakin kabur.

Akibatnya, banyak pekerja merasa sulit melepaskan diri dari urusan pekerjaan, sehingga tingkat stres dan kelelahan mental pun meningkat.

Untuk memahami lebih jauh, ada lima fakta penting tentang home fatigue di era digital yang perlu diwaspadai. Pertama, kondisi ini dapat menurunkan kualitas tidur karena otak terus aktif memikirkan pekerjaan. Kedua, produktivitas justru bisa menurun akibat rasa jenuh yang berkepanjangan.

Ketiga, hubungan sosial terganggu karena waktu bersama keluarga atau teman berkurang. Keempat, kesehatan fisik dapat terdampak karena kurangnya aktivitas dan pola hidup yang tidak seimbang. Kelima, home fatigue berpotensi menurunkan motivasi kerja dalam jangka panjang jika tidak segera ditangani.

1. Teknologi dan Notifikasi Tanpa Henti

Ilustrasi seorang wanita bekerja dari rumah akrab dengan notifikasi pekerjaan. (www.pixabay.com/Startup Stock Photos)
Ilustrasi seorang wanita bekerja dari rumah akrab dengan notifikasi pekerjaan. (www.pixabay.com/Startup Stock Photos)

Era digital membuat komunikasi kerja jadi super cepat. Email, WhatsApp, dan aplikasi kerja seperti Slack bisa masuk kapan saja. Akibatnya, pekerja merasa harus selalu siap merespons.

Notifikasi yang terus berdatangan membuat batas jam kerja kabur. Bahkan setelah jam kantor selesai, pesan kerja tetap mengalir. Hal ini menimbulkan tekanan psikologis karena otak tidak pernah benar-benar istirahat.

Inilah salah satu penyebab utama munculnya home fatigue. Pekerja kehilangan kendali atas waktu pribadi karena teknologi mendorong budaya “always on”.

2. Kurangnya Regulasi Jam Kerja Digital

Ilustrasi Seorang pria sedang bekerja sampai larut malam. (www. pexels.com/Arina Krasnikova)
Ilustrasi Seorang pria sedang bekerja sampai larut malam. (www. pexels.com/Arina Krasnikova)

Banyak perusahaan belum menetapkan aturan jelas soal jam kerja di era WFH. Atasan sering menganggap wajar jika karyawan bisa dihubungi kapan saja. Akibatnya, jam kerja resmi jadi tidak relevan.

Karyawan pun merasa terjebak dalam ekspektasi yang tidak realistis. Mereka takut dianggap tidak loyal jika menolak permintaan di luar jam kerja. Padahal, loyalitas tidak bisa diukur dari seberapa lama seseorang online.

Kurangnya regulasi ini memperkuat budaya kerja tanpa batas. Tanpa aturan, pekerja kehilangan perlindungan terhadap hak istirahat.

3. Rumah Jadi Kantor Permanen

Ilustrasi seorang wanita saat WFH kasur sebagai alas duduknya. (www.pexel.com/Antoni Shkraba Studio)
Ilustrasi seorang wanita saat WFH kasur sebagai alas duduknya. (www.pexel.com/Antoni Shkraba Studio)

3. Rumah Jadi Kantor Permanen

Banyak perusahaan belum menetapkan aturan jelas soal jam kerja di era WFH. Atasan sering menganggap wajar jika karyawan bisa dihubungi kapan saja. Akibatnya, jam kerja resmi jadi tidak relevan.

Karyawan pun merasa terjebak dalam ekspektasi yang tidak realistis. Mereka takut dianggap tidak loyal jika menolak permintaan di luar jam kerja. Padahal, loyalitas tidak bisa diukur dari seberapa lama seseorang online.

Kurangnya regulasi ini memperkuat budaya kerja tanpa batas. Tanpa aturan, pekerja kehilangan perlindungan terhadap hak istirahat.

4. Dampak Psikologis yang Mengkhawatirkan

Ilustrasi seorang wanita terlihat stres di atas meja kerjanya. (www.pexels.com/Anna Tarazevich)
Ilustrasi seorang wanita terlihat stres di atas meja kerjanya. (www.pexels.com/Anna Tarazevich)

Fenomena home fatigue tidak hanya berdampak pada fisik, tetapi juga mental. Pekerja yang terus-menerus terhubung dengan pekerjaan cenderung lebih mudah stres. Mereka merasa hidupnya hanya berputar di sekitar pekerjaan.

Selain itu, fokus dan produktivitas juga menurun. Ketika otak tidak pernah benar-benar istirahat, kemampuan berpikir jernih ikut berkurang. Hal ini bisa memengaruhi kualitas kerja dan hubungan sosial.

Lebih jauh lagi, kondisi ini bisa menimbulkan rasa bersalah yang berlebihan. Banyak orang merasa tidak pantas beristirahat karena selalu ada pekerjaan yang menunggu.

5. Risiko Burnout di Era “Always On”

Budaya “always on” berbahaya karena bisa merusak keseimbangan hidup. Tanpa aturan yang jelas, pekerja kehilangan kendali atas waktu pribadi. Hal ini berpotensi menimbulkan burnout dalam jangka panjang.

Burnout membuat seseorang kehilangan motivasi, energi, dan semangat kerja. Kondisi ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga perusahaan karena produktivitas menurun drastis.

Solusinya adalah menetapkan batasan sehat. Misalnya, membuat aturan pribadi untuk tidak membuka email kerja setelah jam tertentu, atau menciptakan ruang khusus kerja agar tidak bercampur dengan ruang pribadi.

Penutup

Era digital memang membawa fleksibilitas, tetapi jangan sampai fleksibilitas berubah menjadi jebakan. Kita perlu menetapkan batasan sehat agar rumah tetap menjadi ruang istirahat, bukan kantor permanen.

Salah satu cara adalah dengan membuat aturan pribadi, seperti tidak membuka email kerja setelah jam tertentu. Selain itu, penting juga untuk menciptakan ruang khusus kerja agar tidak bercampur dengan ruang pribadi.

Pada akhirnya, produktivitas bukan soal seberapa lama kita online. Produktivitas sejati muncul ketika kita mampu menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dengan begitu, kita bisa tetap sehat, bahagia, dan berkarya secara berkelanjutan.

Sumber

1. Jebakan WFH dan kerja fleksibel yang justru menciptakan burnout – the coversation (https://theconversation.com/jebakan-wfh-dan-kerja-fleksibel-yang-justru-menciptakan-burnout-270092)

2. Cara menciptakan ‘burnout’ Kerja Hybrid dan WFH Mengancam Kesehatan Mental – Indonesiana (https://www.indonesiana.id/read/183179/cara-kerja-hybrid-dan-wfh-mengancam-kesehatan-mental)

3. Studi Ungkap WFH Bisa Sebabkan Masalah Kesehatan Mental – Bisnis.com (https://lifestyle.bisnis.com/read/20241013/106/1807063/studi-ungkap-wfh-bisa-sebabkan-masalah-kesehatan-mental-ini-penjelasannya)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak