Pengaruh Defisit dan Kenaikan Harga Minyak Dunia Terhadap Indonesia

Tri Apriyani
Pengaruh Defisit dan Kenaikan Harga Minyak Dunia Terhadap Indonesia
Ilustrasi tambang minyak

Sudah tak dapat dibantah lagi bahwa minyak bumi telah menjadi bahan utama dan menjadi yang paling besar jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi energi dunia. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC). OPEC menyatakan konsumsi minyak dunia mencapai 98,85 juta barel per hari pada kuartal I-2018.

OPEC memprediksi konsumsi minyak dunia tumbuh 7,3 juta barel per hari (bph) dari periode 2017 sampai 2023, dengan perkiraan menyentuh 104,5 juta barel di 2023. Selanjutnya pertumbuhan permintaan akan melambat sekitar 200 ribu bph hingga 2040, sehingga kebutuhan minyak dunia diprediksi bisa mencapai 120 juta bph pada 2040.

Kenaikan kebutuhan permintaan minyak tentu akan mempengaruhi harga minyak dunia. Pada saat ini ada dua acuan yang paling banyak digunakan dunia dalam menentukan harga minyak bumi. Pertama ada Brent yaitu sebutan untuk minyak hasil tambang dari Laut Utara (Eropa), nama Brent berasal dari lahan tambang di laut utara, yang dibuka pada tahun 1970.

Harga minyak Brent menjadi dasar pembentukan harga sejak tahun 1971 untuk hampir 40 persen nilai minyak diseluruh dunia. Pada saat ini minyak Brent memiliki kisaran harga 66,30 dollar AS per barel. Dan yang kedua ada West Texas Intermediate (WTI) yaitu minyak bumi yang diproduksi di Amerika Utara. Tak jauh beda dengan minyak Brent, minyak WTI memiliki kisaran harga 61,04 dollar AS per barel.

Di Indonesia, berdasarkan data British Petroleum (BP Global Company), menyatakan pada tahun 2018 konsumsi minyak Indonesia sebesar 1,8 juta bph, ini berarti sepanjang tahun 2018 konsumsi minyak Indonesia sekitar 657 juta barel.

Sejak tahun 2003, neraca minyak nasional selalu mengalami defisit dan semakin membengkak. Dan pada saat 2018, produksi minyak sebesar 808 ribu barel/hari dengan konsumsi minyak 1,8 juta barel/hari. Hal ini berarti Indonesia mengalami defisit neraca minyak sekitar 992 juta barel/hari.

Tentu saja, mau tak mau untuk menutupi angka defisit yang semakin membengkak ini harus dilakukan impor. Bahkan defisit minyak ini dan besarnya impor yang harus dilakukan sampai disinggung Presiden Joko Widodo dan menjadi sorotan publik.

Mengutip kata-kata dari Presiden Joko Widodo "Coba dicermati angka-angka ini, kenapa impor begitu sangat tinggi. Migas naiknya gede sekali, hati-hati di migas Pak Menteri ESDM, Bu Menteri BUMN yang terkait dengan ini" singgung Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor pada bulan Juli lalu.

Di tengah membludaknya kebutuhan Indonesia akan ketersediaan energi dan harus ditutupi dengan cara impor, harga minyak dunia mengalami kenaikan sebesar 1 persen sebagai akibat dari membaiknya hubungan antara Amerika Serikat dan China. Pemerintah AS berkomitmen untuk mengurangi beberapa tarif bea impor terhadap produk China. Dan sebagai gantinya, pemerintah China akan meningkatkan pembelian produk pertanian dari AS.

Kenaikan harga minyak dunia ini memiliki dampak yang kompleks dan efek domino terhadap perekonomi Indonesia. Saat harga minyak naik maka sistem fiskal Indonesia terganggu dan berisiko terhadap kredibilitas APBN, sehingga mau tidak mau pemerintah terpaksa harus subsidi.

Di sisi lain, kenaikan ini pula akan berdampak pada tingkat bunga dana dan kredit belum akan turun dalam waktu dekat, tingkat bunga yang bertendensi meningkat atau minimal tetap akan berbanding terbalik dengan harga obligasi, yang berarti jika tingkat bunga meningkat, harga obligasi berkemungkinan akan turun, tingkat bunga yang tidak berubah juga memberikan perbedaan tingkat bunga di dalam negeri dengan luar negeri yang relatif tetap atau bahkan semakin melebar. 

Selain itu, hal ini menyebabkan biaya produksi meningkat yang berarti harga produk dalam negeri semakin mahal, harga jual barang impor meningkat dan daya beli menurun. Bahkan pada kasus yang lebih lanjut dapat berakibat nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS melemah dan laju inflasi tinggi sehingga hal ini dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pengirim: Muhammad Alwan / Mahasiswa Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak