Per 1 Januari 2020 kenaikan tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan resmi berlaku. Kenaikan iuran hingga 100% tersebut dinilai sangat signifikan mengingat peserta BPJS Kesehatan didominasi oleh masyarakat yang berpenghasilan menengah kebawah. Adapun kenaikan tersebut tertuang dalam melalui Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Oktober 2019.
“Kenaikan tersebut demi menutup defisit keuangan yang ada,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Defisit keuangan tersebut terjadi lantaran jumlah klaim BPJS Kesehatan lebih besar dibanding pendapatan dari iuran peserta. Nilainya tidak main-main, BPJS Watch memproyeksikan pada tahun 2019 defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 18 triliun.
Masyarakat semakin ketar-ketir. Pengobatan gratis bagi jutaan rakyat miskin terancam macet. Tak sedikit masyarakat yang bespekulasi bahwa salah satu penyebab defisit BPJS Kesehatan adalah kurangnya suntikan dana dari pemerintah. Lantas, apakah benar demikian?
Berartinya BPJS Kesehatan
Siapapun di dunia ini pasti setuju kalau harta yang paling berharga adalah kesehatan. Kesehatan menjadi kebutuhan dasar manusia yang luar biasa pentingnya. Efek dari kesehatan seseorang akan mempengaruhi berbagai hal dalam kehidupannya misalnya produktivitas, prestasi dan interaksi sosial. Karena masyarakat menyadari begitu berharganya kesehatan, maka mereka mengantisipasi dengan baik kemungkinan buruk yang akan terjadi terhadap kesehatan mereka. Salah satunya yaitu dengan asuransi kesehatan seperti BPJS Kesehatan.
Biaya kesehatan yang setiap tahun semakin tinggi memang membuat kesehatan menjadi hal yang sangat “mewah”. BPJS Kesehatan yang diluncurkan oleh pemerintah seolah menjadi angin segar bagi masyarakat Indonesia. Tarif iuran yang telah ditetapkan oleh pemerintah pun jauh lebih rendah dibandingkan dengan iuran asuransi kesehatan yang ditawarkan oleh perusahaan swasta.
Dengan demikian, BPJS Kesehatan dapat dinikmati oleh masyarakat dari berbagi golongan penghasilan. Tak hanya orang tua bahkan anak muda ketika mendapatkan penghasilan pertama mereka tidak mau menunda untuk memiliki BPJS Kesehatan. Tarif iuran peserta yang lebih murah tak lantas membuat layanan kesehatan yang diberikan juga “murahan”.
Dengan membayar Rp 25.500 (sebelum mengalami kenaikan), seorang Peserta Mandiri Kelas III akan mendapatkan layanan pemeriksaan, pembedahan, obat, rawat inap, dan lain-lain.
Hadirnya BPJS Kesehatan membuka harapan baru bagi rakyat kecil. Sekarang hal biasa kita lihat orang yang berjubel di ruang tunggu Puskesmas atau rumah sakit. Mereka rela menunggu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk mendapatkan pelayanan. Pemandangan ini kontras beberapa tahun sebelumnya dimana Puskesmas atau rumah sakit masih sepi pengunjung.
Rakyat kecil memilih bungkam dan pasrah atas penyakitnya. Mereka memilih bersembunyi, takut berobat ke dokter karena tidak mampu membayar. Namun sekarang rakyat kecil lebih mudah dalam mendapatkan akses kesehatan melalui Penerima Bantuan Iuran (PBI). Masyarakat miskin dan kurang mampu sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tidak diwajibkan untuk membayar iuran BPJS Kesehatan, namun justru pemerintah yang membayar iuran tersebut.
Alasan pemerintah mewajibkan BPJS Kesehatan
Dalam ilmu Keuangan Publik, ada istilah yang disebut dengan Adverse Selection yang artinya hanya peserta dengan risiko tinggi yang membeli asuransi. Salah satu contohnya adalah ketika seseorang telah divonis dokter bahwa ia menderita penyakit jantung, sesegera mungkin ia mendaftar ke BPJS Kesehatan untuk membantu menutup biaya penyembuhannya.
Sudah tentu biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk penyakit jantung sangatlah banyak, sedangkan iuran yang peserta bayarkan tidak seberapa dibanding biaya yang dikeluarkan pemerintah.
Itu hanya contoh satu orang, lantas bagaimana jika hal tersebut juga dilakukan oleh jutaan peserta BPJS Kesehatan lainnya? Tentu pemerintah akan selalu mengalami defisit. Lebih paranya lagi pemerintah akan mengalami default dalam membayar klaim peserta.
Salah satu hal yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mewajibkan seluruh rakyat agar memiliki BPJS Kesehatan. Tak hanya orang sakit, orang yang sehat pun akan mambayar iuran. Secara tidak langsung iuran dari peserta yang sehat akan digunakan untuk membayar klaim peserta yang sakit saat ini.
Kemudian di masa mendatang, ketika peserta yang saat ini sehat menjadi sakit, maka pemerintah membayar klaim dengan bantuan iuran peserta sehat saat itu, begitu seterusnya. Apabila hal tersebut terlaksana dengan baik, diharapkan dapat “menyehatkan” keuangan pada BPJS Kesehatan.
Pentingnya Kontribusi Masyarakat
Cukup santer diberitakan di media bahwa salah satu penyumbang defisit BPJS Kesehatan adalah rendahnya kontribusi peserta dalam iuran. Menurut data Kementerian Keuangan, sepanjang 2018, total iuran dari peserta mandiri adalah Rp8,9 triliun, namun total klaimnya mencapai 27,9 triliun.
Dengan kata lain jumlah klaim peserta tiga kali lipat dari iuran yang dibayarkan peserta. Selain itu, data pada akhir tahun 2018 menunjukkan bahwa tingkat keaktifan peserta mandiri dalam mengiur yaitu sebesar 53,7 persen. Hal itu berarti bahwa 47,3 persen dari peserta mandiri yang menunggak.
Kita tahu bahwa BPJS Kesehatan mengedepankan prinsip gotong royong. Prinsip ini tentu sudah mendarah daging pada masyarakat Indonesia sehingga seharusnya dapat aplikasikan dengan baik. Melalui prinsip gotong royong, diharapkan peserta yang kaya membantu peserta yang miskin dengan membayar iuran lebih banyak dan peserta yang sehat membantu peserta yang sakit atas iuran yang ia bayarkan.
Salah satu bentuk implementasi prinsip gotong royong adalah kepatuhan dalam membayar iuran. Tidak hanya peserta yang sakit saja yang membayar iuran, namun peserta yang sehat juga memiliki kewajiban yang sama.
Idealnya seorang yang memiliki komitmen tinggi perihal membayar iuran akan berusaha untuk tidak menunggak. Namun kenyataannya tidak demikian. Tidak sedikit peserta BPJS Kesehatan yang tidak mengiur setelah mendapatkan fasilitas kesehatan.
Seperti yang dicontohkan sebelumnya, misalnya seorang peserta dengan penyakit jantung membayar iuran sebanyak lima kali dan berhenti mengiur setelah mendapatkan pengobatan, tentu tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk menutupi kekurangan pengobatan tersebut. Dan tak lain, sumber untuk menutup biaya tersebut adalah berasal dari iuran peserta lain. Selain itu, iuran yang macet akan semakin memberatkan pemerintah.
Jika semangat gotong royong tersebut benar-benar tertanam pada setiap masyarakat, tentu jumlah pendapatan BPJS Kesehatan dari iuran peserta menjadi jauh lebih banyak. Terlebih saat ini Indonesia mengalami era bonus demografi, dimana jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibanding usia tidak produktif. Dengan demikian seharusnya lebih banyak peserta yang memberikan subsidi (baca: membayar iuran) dibanding peserta yang mendapat subsidi.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi defisit BPJS Kesehatan, namun hal tersebut tidak akan pernah cukup menutup defisit jika masyarakat tidak punya kesadaran berkontribusi membayar iuran. Defisit BPJS Kesehatan memang sangat banyak dari segi nominal dan sulit untuk menutupnya, namun jika masyarakat berkontribusi bersama-sama tentu akan terasa lebih ringan. Dan bukankah tangan diatas jauh lebih baik dibanding tangan dibawah?