Kasus Kekerasan Seksual: Siapa yang lemah? Perempuan atau Peraturan?

Tri Apriyani
Kasus Kekerasan Seksual: Siapa yang lemah? Perempuan atau Peraturan?
Ilustrasi korban kekerasan seksual, kdrt. (Shutterstock)

Komnas perempuan telah mencatat bahwa pada tahun 2019  terdapat  431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 2.341 di antaranya merupakan kasus kekerasan  terhadap anak perempuan, data kekerasan yang tercatat ini mengalami peningkatan secara signifikan sepanjang lima tahun terakhir. Menurut catatan tersebut, 571 kasus merupakan kasus kekerasan seksual.

Di luar sana, perempuan sangat lah rentan menjadi korban kekerasan. Saat menjadi korban, segala hal dijadikan sebagai umpan penyebab terjadinya hal yang tidak diinginkan tersebut hingga menyudutkan korban.

Dalam kasus kekerasan seksual selalu menyangkutpautkan masalah konsep moralitas yang ada di masyarakat yang mana seorang perempuan dianggap sebagai simbol kesucian serta kehormatan sehinga kasus ini sering dianggap sebagai aib dan menjadikan perempuan yang menjadi korban lebih memilih bungkam daripada mengungkapkan pelecehan yang dirasakannya.

Karena korban kekerasan seksual sering diabaikan, disalahkan, dan kurang di lindungi, mengakibatkan kekerasan seksual ini di anggap hal biasa saja oleh pelaku kekerasan. Ini mengakibatkan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan selalu bertambah setiap tahunnya. Pelaku merasa aman akibat lambannya penanganan serta penegakan aturan yang diterapkan dalam menangani kasus ini.

Perempuan yang menjadi korban selalu saja disalahkan oleh masyarakat dan dianggap mengundang pelaku untuk melakukan kekerasan seksual seperti dianggap merayu dan menggoda, terutama cara berpakaiannya. Padahal banyak juga perempuan yang berpakaian tertutup tetapi tetap menjadi korban dari kekerasan seksual.

Selain itu, banyak media masa yang menjadikan posisi korban sebagai highlight kasus, media bahkan lebih banyak fokus tehadap korban dengan memerlihatkan inisial, tempat tinggal, pekerjaan, sekolah, dan informasi pribadi korban sehingga masyarakat banyak yang lebih fokus terhadap korban daripada pelaku kekerasan seksual.

Sebagai seorang perempuan, di setiap langkah kehidupannya seringkali merasa tidak aman. Tidak hanya merasa tidak aman dengan orang tidak dikenal, tetapi juga dengan orang terdekat, karena terkadang malah orang terdekat menjadi pelaku kekerasan seksual. Banyak dari kasus kekerasan seksual yang terjadi dilakukan oleh orang terdekat.

Seorang perempuan yang sedang berjalanan sendirian di jalanan sering mengalami pelecehan seksual baik verbal maupun non verbal, lalu apa yang akan terjadi saat sang perempuan diperlakukan sama oleh orang terdekatnya?

Bukankah hal lebih berbahaya akan terjadi karena banyak orang yang tidak menyadarinya? Bukankah itu sangat melanggar hak asasi manusia terutama bagi perempuan? Lalu bagaimana dengan korban? Apa dia bisa hidup dengan sejahtera secara lahir dan batin? Apakah dia dapat hidup dengan psikis yang baik? Apa sebagai korban dia di prioritaskan?

Perempuan sebagai korban selalu mendapat penanganan yang tidak baik dan disalahkan. Akibat adanya ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, mengakibatkan sering terjadinya perlakuan diskriminatif kepada perempuan.

Perempuan sebagai korban sering kehilangan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Banyak sekali kasus kekerasann seksual di Indonesia yang di selesaikan secara kekeluargaan, saat korban dengan susah payah mengumpulkan keberanian untuk mengungkap kebenaran,lagi-lagi kasus ini tidak ditangani dengan baik lalu berhenti pada kesepakatan non litigasi.

Pelaku akan mengatakan bahwa ia menyesal, lalu meminta maaf dan kasus dianggap selesai. Padahal tidak banyak dari pelaku akan mengulangi perbuatan yang sama. Lalu akan menyelesaikan masalah dengan penanganan yang berujung pada kesepakatan yang sama, bahkan banyak kasus yang masih mempertemukan atau mengijinkan pelaku dan korban bertemu.

Padahal dengan penyelesaian kasus seperti ini tentunya akan sangat mempengaruhi psikis korban dan tidak menjauhkan dari trauma yang dirasakan korban. Hal ini bukankah sudah sangat membuktikan bahwa peraturan hukum serta penanganan yang dilakukan oleh birokrat terbilang sangatlah lemah.

Lemahnya penegakan hukum yang diterapkan ini tentunya menjadi tugas bagi para birokrat, birokrat harusnya lebih fokus untuk menerbitkan peraturan untuk menangani kekerasan seksual yang mana berempati dan berpihak kepada para korban.

Di tahun 2020 ini, di awal tahun saja telah banyak kasus kekerasan seksual yang tercatat dan banyak dari kasus tersebut berasal dari ranah pendidikan dan korban kebanyakan adalah perempuan. Sekolah ataupun kampus yang harusnya menjadi tempat untuk menimba ilmu malah menjadi tempat hal tak senonoh itu terjadi, terlebih lagi pelaku merupakan guru dan teman dari korban.

Di awal bulan maret kemarin, terdapat kasus kekerasan yang terjadi di salah satu SMK di Sulawesi Utara yang mana viral di sosial media, video yang viral tersebut menunjukan perbuatan pelecehan serius yang dilakukan oleh 5 orang teman kelas korban, setelah pelaku dipanggil oleh polisi pelaku mengaku melakukan pelecehan kepada temannya karena iseng saat menunggu guru untuk mengajar.

Dan karena pengakuan tersebut mejadikan kasus ini lagi-lagi diselesaikan secara non litigasi secara kekeluargaan. Pelaku dipulangkan, korban dan pelaku masih berada di sekolah dan kelas yang sama, padahal sangat terbukti jelas dalam video tersebut bahwa perlakukan korban sudah tidak bisa di toleril lagi.

Peraturan lagi-lagi hanya menjadi sebatas kertas tertulis yang hanya menjadi prosedur pelengkap penyelesaian kasus, namun tidak di terapkan dengan baik, hukum yang diterapkan terlalu lemah.

Korban lagi-lagi  mendapatkan pelakuan yang sama, hidup dengan trauma yang selalu ada di benaknya, pelaku masih bisa hidup dengan sejahtera tanpa memikirkan kesalahannya, penegak hukum yang masih saja lamban dan terlalu lemah dalam menerapkan peraturan tanpa berempati dengan korban.

Semua tetap berada di posisi yang sama dari tahun ketahun serta Institusi pendidikan yang tidak tegas dalam keikutsertaannya untuk menangani hal ini.

Kemudian di Kota Malang baru-baru ini digegerkan oleh media sosial twitter yang memposting beberapa tread mengenai predator seksual yang masih ada di malang, cuitan ini pun menyebar ke berbagai kalangan dan menjadi perbincangan.

Dalam cuitannya tersebut @sesenggukkan menggunggah sebuah pernyataan bahwa kekerasan seksual masih ada di Malang tanpa adanya penanganan, kasus dan korban tentunya akan bertambah jika pelaku tidak di adili. Cuitan ini berisi tentang kronologi yang dialami korban kekerasan seksual yang di lakukan oleh seorang personil band malang dan juga barista yang bernama Dio Veryaji Primanda.

Setelah cuitan itu viral, kedai kopi yang  menjadi tempat pelaku bekerja memberikan pernyataan resmi  dengan tegas tanpa menyensor pelaku, hal ini sangat menunjukan bahkan sebuah kedai kopi saja dapat  mengutamakan kemanusiaan dan jika dibandingkan dengan bagaimana cara kedai kopi ini menyikapi kasus kekerasan ini dengan tegas dan lantang tanpa menyudutkan dan dapat  berempati dengan korban, mengapa institute pendidikan dan juga birokrat tidak melakukan hal yang sama?

Oleh: Silvia Arindri Putri mahasiswi Ilmu Pemerintahan  Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang
Email: [email protected]

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak