Sudah Tepat Sasarankah Kebijakan Relaksasi Kredit di Tengah Pandemi?

Tri Apriyani | nisa nazwa hairina
Sudah Tepat Sasarankah Kebijakan Relaksasi Kredit di Tengah Pandemi?
Ilustrasi perbankan dan nasabah

Pandemi Covid-19 memberi dampak yang besar terhadap perkonomian. Banyak sekali usaha-usaha yang berada di perkotaan terancam mengalami kebangkrutan. Hal itu juga berimplikasi secara langsung dan tidak langsung terhadap sektor perbankan juga.

Hal ini dikarenakan apabila debitur mengalami kebangkrutan maka dapat terjadi kredit macet. Kredit macet dapat disebabkan oleh kedua pihak antara si perbankan nya atau dari pihak nasabah.

Apabila kredit macet terjadi pada pihak perbankan artinya bisa terjadi 2 hal juga yaitu karena pada analis yang kurang teliti dalam memprediksikan apa yang akan terjadi di masa depan atau adanya kolusi.

Kolusi di sini disebabkan pihak analis melakukan kerja sama dengan pihak debitur sehingga analisanya bersifat subjektif. Sedangkan kredit macet yang terjadi oleh pihak nasabah (debitur) dapat bersifat 2 hal juga, yaitu sengaja dan tidak sengaja. Apabila sengaja artinya memang debiturnya sendiri yang tidak akan atau tidak mau membayar kewajibannya.

Namun saat keadaan kahar misalnya terjadi gempa, banjir, tsunami, kebakaran atau tanah longsor dan lainnya yang membuat debitur tidak dapat membayarkan kewajibannya artinya debitur tersebut melakukannya dengan unsur ketidaksengajaan.

Sehingga untuk menghindari masalah seperti itu yang kemungkinan besar bisa terjadi ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk penyelamatan kredit macet yaitu rescheduling, restructuring, recondition, atau kombinasi di antaranya, dan upaya yang terakhir yaitu dengan menyita jaminan dimana penyitaan jaminan dilakukan saat debitur tidak memiliki  uang sama sekali atau tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk membayar hutangnya.

Recondition dapat dilakukan dengan menurunkan suku bunga atau membebaskan bunganya. Atau dapat juga melakukan perpanjangan waktu kredit atau jangka waktu angsuran dengan cara rescheduling. Selain itu mengatasinya dengan menambah jumlah kredit/modal juga dapat dilakukan agar bisnis atau usaha yang dilakukan debitur lancar dan dapat mengembalikan pinjamannya.

Oleh karena itu Pemerintah Indonesia juga menanggapi masalah pandemi Covid-19 dengan serius agar perekonomian kembali berjalan dengan baik yaitu dengan mengeluarkan kebijakan Restrukturisasi Kredit melalui POJK No.11/POJK.03/2020.

Restrukturisasi Kredit berupa Relaksasi Kredit tersebut dilakukan untuk mencegah masalah apabila terjadi penimbunan beban akibat kredit macet. Namun perlu sekali diperhatikan dalam memberikan insentif tersebut tidak ditujukan untuk semua pelaku usaha, untuk menghindari para debitur yang berpikiran curang dan malah memanfaatkan insentif tersebut untuk keutungannya sendiri.

Jadi pihak yang dapat menerima Restrukturisasi kredit dengan Relaksasi Kredit ini harus benar-benar dipilih untuk diberikan kepada yang berhak saja, yaitu sektor UMKM atau non-UMKM yang kondisi keuangannya terdampak langsung dengan pandemi virus corona sekarang ini. Yaitu sektor-sektor yang disebutkan di dalam POJK tersebut antara lain pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pertanian dan pertambangan.

Perlu sekali dilakukan pengawasan yang ketat dan terus menerus juga untuk memantau kondisi perbankan agar tidak terjadi kegagalan dalam penetapan kebijakan tersebut. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa mereka akan menjaga agar jangan sampai pelaku-pelaku usaha tersebut malah dengan sengaja memacetkan kredit atau bahkan membangkrutkan usahanya sendiri.

Namun dari informasi beberapa media massa ternyata dalam keadaan riil-nya. Restrukturisasi ini sangat sulit dilakukan. Karena pada nyatanya pengajuan restrukturisasi kredit ke lembaga jasa keuangan swasta masih sulit dilakukan kata Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia. Sehingga diperlukan ketentuan lebih lanjut yang mengatur secara jelas agar masalah seperti ini dapat diatasi.

Kemudian pada tanggal 21 April 2020 lalu untuk menindaklanjuti kewenangannya dalam pelaksanaan Perpu Nomor 1 tahun 2020, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan lima peraturan POJK.

Pada POJK Nomor 18/POJK.03/2020 dimana isinya memuat kewenangan OJK untuk memberikan Perintah Tertulis kepada Bank untuk melakukan maupun menerima penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan/atau Integrasi yang diberikan kepada pihak Bank yang memenuhi kriteria berdasarkan penilaian OJK. Disana juga terdapat perkembangan pelaksanaan restrukturisasi kredit dan pembiayaan.

Meskipun menurut OJK saat ini kondisi perbankan di Indonesia masih aman dan terjaga dibawah pengawasan mereka secara langsung. Namun tidak menutup kemungkinan akan terjadi masalah apabila wabah Covid-19 di Indonesia tidak membaik juga.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak