Mengenal GWM, Apa Dampaknya bagi Bank dan Tenaga Kerja di Tengah Pandemi?

Tri Apriyani | hanifah dinalia hadi
Mengenal GWM, Apa Dampaknya bagi Bank dan Tenaga Kerja di Tengah Pandemi?
Bank Indonesia

Dunia kini tengah dihadapkan pada kondisi mewabahnya Covid-19 yang membuat berbagai sektor terkena dampaknya tak terkecuali sektor ekonomi. Situasi pandemi ini menjadi pukulan besar bagi para pelaku usaha karena permintaan barang dan jasa terus merosot, produktivitas menurun drastis, menyebabkan kerugian yang dialami pelaku usaha terus membengkak. Mengarahkan terjadinya PHK secara besar-besaran, angka pengangguran pun meningkat tajam.

Dalam wawancara melalui video daring pada Jum’at, 17 April 2020, Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, “IMF bahkan memprediksi ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 0,5% tahun ini”. Pemerintah Indonesia tentunya tidak mau hal tersebut terjadi.

Untuk melakukan mitigasi, pemerintah bersama berbagai lembaga seperti Bank Indonesia (BI) menerapkan berbagai kebijakan keuangan negara dan stabilitasi sistem keuangan dalam rangka menghadapi ancaman yang dapat membahayakan perekonomian negara di tengah situasi pandemi Covid-19. Diperlukan adanya keseimbangan antara kebijakan fiskal dan moneter.

Bank Indonesia sendiri memilih untuk menerapkan kebijakan pelonggaran moneter atau kebijakan moneter ekspansif melalui quantitative easing. Salah satunya dengan menurunkan giro wajib minimum (GWM) rupiah sebesar 200 bps untuk bank umum konvensional dan 50 bps untuk bank umum syariah yang berlaku mulai 1 Mei 2020.

Apa yang dimaksud dengan giro wajib minimum (GWM)? Menurut Peraturan Bank Indonesia, GWM adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah maupun Unit Usaha Syariah. Besaran dana minimum tersebut ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar presentase tertentu dari dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun oleh bank.

GWM terbagi menjadi 2, yakni GWM primer dan GWM sekunder. GWM primer adalah simpanan minimum yang harus disimpan oleh bank, bentuknya adalah saldo rekening giro pada bank Indonesia sedangkan GWM sekunder berbentuk Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito Bank Indonesia, dan/atau Surat Berharga Negara.

GWM merupakan instrumen yang dapat digunakan Bank Indonesia untuk mengatur likuiditas perbankan. Di tengah pandemi Covid-19 ini nasabah umumnya akan menunda pembayaran angsuran kredit karena perekonomian sedang dalam kondisi yang sulit.

Perbankan pun akhirnya akan mengalami kekurangan likuiditas karena dana kredit tersebut tidak dapat diputar kembali. Dana yang disalurkan untuk kredit lebih besar daripada dana pihak ketiga yang dimiliki oleh bank. Dikhawatirkan bank tidak dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya jika sewaktu-waktu ditagih oleh nasabahnya.

Maka dari itu, menurut Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, penurunan GWM rupiah sebesar 200 bps untuk bank umum konvensional dan 50 bps untuk bank umum syariah tersebut merupakan langkah yang tepat karena likuiditas bank akan bertambah sekitar Rp 102 triliun, membuat sistem keuangan khususnya perbankan akan menjadi lebih kuat.

Kebijakan ini diharapkan akan menambah dana yang dimiliki oleh bank untuk kemudian digunakan sebagai pembiayaan para pelaku usaha yang terkena dampak Covid-19 agar dapat terus melakukan produksi sehingga mengurangi tingkat PHK dan menekan angka pengangguran.

Namun, berbagai pertanyaan tentang kemungkinan perbankan menolak pengajuan kredit di masa pandemi corona pun bermunculan. Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI), Sunarso, menjamin bahwa bank dengan likuiditas yang sehat akan tetap menyalurkan kredit kepada nasabah. "Saya ini kan bankir. Kalau ada bank enggak mau menyalurkan kredit, ya tutup saja, karena tandanya bank itu enggak likuid," ujar Sunarso dalam webinar pada Selasa, 16 Juni 2020.

BRI sendiri siap untuk menyalurkan kredit modal kerja untuk pelaku usaha terutama UMKM yang tak melakukan PHK terhadap karyawannya dengan menggandeng asuransi untuk menjamin kredit tersebut.

Sunarso mengatakan bahwa  walaupun potensi penundaan pembayaran bunga dan pokok pinjaman oleh debitur, bank tetap harus menjaga pertumbuhan kredit terutama untuk UMKM. Karena di tahun 2018 saja, kontribusi UMKM terhadap PDB nasional mencapai sekitar 60,34%. Pelaku usaha UMKM di Indonesia dapat menyerap dan mempekerjakan sekitar 92% tenaga kerja. Jadi, dukungan terhadap UMKM akan menjaga dan menyejahterakan tenaga kerja.

Sebagai langkah lanjutan untuk mendukung kebijakan tersebut, Bank Indonesia akan memberikan insentif bagi perbankan yang mau menyediakan dana untuk pelaku usaha dalam kegiatan ekspor, impor UMKM dan/ kegiatan ekonomi di sektor prioritas lainnya seperti kredit ekspor atau pembiayaan ekspor,  kredit impor yang bersifat produktif atau pembiayaan impor yang bersifat produktif, Letter of Credit, kredit UMKM atau pembiayaan UMKM, dan/atau kredit atau pembiayaan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Insentif tersebut dalam bentuk pelonggaran kewajiban untuk memenuhi GWM rupiah harian dengan besaran yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pemberian insentif ini dilakukan secara bulanan berdasarkan data penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu yang wajib disampaikan oleh bank dalam periode bulanan.

Data tersebut dapat diperoleh dari laporan bulanan bank umum, laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah, laporan bank umum terintegrasi, dan/atau laporan atau data lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Penurunan GWM oleh BI ini tentunya dibarengi dengan berbagai kebijakan moneter lainnya yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia seperti penurunan suku bunga acuan, pembelian Surat Berharga Negara (SBN, meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara) di pasar sekunder, penyediaan term-repo untuk bank dan korporasi dengan underlying SUN/SBSN bertenor 1 tahun, tidak mewajibkan tambahan giro untuk memenuhi Rasio Intermediasi Makropruden (RIM) dan lain-lain.

Harapannya kebijakan-kebijakan ini dapat menguntungkan bank karena bertambahnya likuiditas sehingga dapat menyalurkan kredit bagi para pelaku usaha dan mencegah terjadinya gelombang PHK yang semakin besar di tengah pandemi virus corona ini.

Oleh: Hanifah Dinalia Hadi / Mahasiswa PKN STAN

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak