RUU Minuman Beralkohol, Apakah Overkriminalisasi?

Ghentageatovanii
RUU Minuman Beralkohol, Apakah Overkriminalisasi?
Ilustrasi alkohol (thinkstock)

Akhir-akhir ini Dewan Perwakilan Rakyat kembali mengeluarkan Rancangan Undang-Undang yakni undang-undang terkait dengan larangan minuman beralkohol. Pengusul RUU Larangan Minuman Beralkohol ini terdiri dari 21 anggota DPR, dengan 18 dari Fraksi PPP, 2 orang dari Fraksi PKS, dan 1 orang dari Fraksi Partai Gerindra. Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol ini tentu akan menuai pro dan kontra dan menjadi perbincangan publik yang seperti biasa akan munculnya diametris opini yang berkembang di kalangan masyarakat.

Dimulai dari golongan pro yang dimana menurut asumsi mereka bahwa dengan menenggak minuman beralkohol yang orientasinya pada hal-hal negatif sampai merugikan masyarakat, maka hal demikian menurut mereka perlu dikriminalisasi sebagai tindak pidana.

Sedangkan dari golongan kontra, mereka berasumsi bahwa pengkriminalisasian pada larangan minuman beralkohol terlalu berlebihan, karena menurut mereka jika dilihat dari sektor daerah yang ada di Indonesia ini minuman beralkohol tersebut justru masih memanifestasikannya sebagai aset dari kekayaan tradisi mereka.

Kepala Biro Humas dan Protokol Setda NTT Marius Ardu Jelamu mengatakan, RUU dinilai merugikan masyarakat dari sisi ekonomi, sosial, dan budaya.

"Saya yakin RUU ini pasti akan ditolak oleh masyarakat luas, terutama oleh masyarakat yang selama ini menjadikan itu sebagai potensi ekonomi dan budaya," kata Marius kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Jumat (13/11/2020). Dengan tegas aturan ini disebutkan tak bisa diterapkan di NTT, dikarenakan sopi (minuman alkohol tradisional) telah menjadi budaya masyarakat.

Menurutnya, RUU dapat saja diterima masyarakat jika negara memberi jaminan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Sebagai tambahan informasi, minuman tradisional dari NTT yaitu sopi masuk dalam daftar yang dilarang pada RUU.

Di sisi lain, Felippa Amanta, peneliti lembaga the Center for Indonesian Policy Studies (CIPS). Merujuk pada data WHO, Felippa mengatakan Indonesia adalah salah satu negara dengan konsumsi alkohol paling sedikit di dunia.

"Menurut kami, RUU ini sama sekali tidak ada urgensinya karena angka konsumsi alkohol di Indonesia sangat rendah, salah satu terendah di dunia. "Berdasarkan data WHO, beberapa tahun belakangan ini, Indonesia konsumsinya sekitar 0,8 liter per kapita. Kalau kita bandingkan dengan Asia Tenggara, yang angkanya 3,4 liter per kapita," kita juga masih jauh lebih rendah.

Dari data tersebut, Felippa menjelaskan sebagian besar konsumsi alkohol di Indonesia itu tak legal atau banyak dari masyarakat Indonesia yang mengonsusmsi alkohol oplosan.

Pemerintah semestinya mengatur dan mengawasi pendistribusian terkait dengan minuman beralkohol tersebut karena dengan adanya larangan untuk mengonsumsi minuman beralkohol tersebut akan berujung pada meningkatnya kapasitas konsumen minuman oplosan yang dinilai sebagai minuman beralkohol yang illegal dan sembarangan. Sehingga tidak dapat dipungkiri timbulnya kriminalisasi larangan minuman beralkohol pada prinsipnya ditujukan pada orang-orang yang meminum minuman keras tersebut secara tidak senonoh (tidak sesuai tempat dan kegiatan).

Beralih pada regulasi dalam RUU Larangan Minuman Beralkohol ini yang dimana dalam pasal 18 hingga Bab IV tentang ketentuan Pidana dalam draf RUU Larangan Minuman Beralkohol menyebutkan bahwa mereka yang melanggar atau memproduksi, memasukkan, menyimpan, dan mengedarkan minuman beralkohol akan dipidana penjara minimal 2 tahun dan paling lama 10 tahun atau denda paling sedikit Rp200.000 dan paling banyak Rp1 miliar.

Sementara itu masyarakat yang mengonsumsi minuman beralkohol ini akan dipidana penjara minimal tiga bulan dan paling lama dua tahun atau denda paling sedikit Rp10.000.000 dan paling banyak Rp50.000.000. Jika pelanggaran tersebut sampai mengakibatkan korban jiwa, maka akan dipidana dengan pidana pokok ditambah satu pertiga.

RUU ini akan melarang setiap orang yang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan menjual minuman beralkohol di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meskipun begitu, minuman beralkohol diperbolehkan ketika terdapat kepentingan terbatas misalnya seperti kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang ketentuannya diatur dalam peraturan pemerintah.  

Terkait dengan kriminalisasi RUU Larangan Minuman Beralkohol. Menurut Herman Manheim, ada tiga aspek yang harus diperhatikan ketika mengkriminalisasi suatu perbuatan. Pertama, adanya sikap yang sama dari masyarakat atau mendapat dukungan luas dari masyarakat. Hal ini akan mengindikasikan bahwa perbuatan yang dikriminalisasi harus merupakan perbuatan yang dianggap merugikan bagi masyarakat luas.

Kedua, tidak sulit dalam teknis pelaksanaannya. Baik dalam konteks infrastruktur penegakan hukumnya maupun dalam konteks aspek pembuktiannya. Ketiga, sesuai dengan obyek hukum pidana. Artinya perbuatan yang dikriminalisasi harus sesuai dengan sasaran hukum pidana atau tidak mencampuri urusan yang bersifat privat. Maka RUU Larangan Minuman Beralkohol akan overkriminalisasi ketika suatu tindakan telah mencampuri urusan privat kemudian juga ketika suatu tindakan telah dianggap merugikan bagi masyarakat luas.

Oleh: Ghenta Geatovani (Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Malang)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak