Pembangunan kawasan perbatasan sudah mulai menjadi perhatian sejak pelaksanaan Program Pembangunan Nasional (Propernas) Periode 2000-2004, di mana pembangunan daerah-daerah perbatasan menjadi bagian dari agenda “Meningkatkan Pembangunan Daerah” yang menjadi prioritas pembangunan nasional.
Salah satu tujuan dari agenda tersebut adalah meningkatkan pengembangan potensi wilayah melalui pengembangan ekonomi daerah, pembangunan perdesaan dan perkotaan, pengembangan wilayah tertinggal dan perbatasan, pengembangan permukiman serta pengelolaan penataan ruang dan pertanahan.
Dalam merespon persoalan koordinasi dan integrasi pelaksaan program lintas sektor dalam pembanguanan kawasan perbatasan maka pemerintah menerbitkan Undang-Undang No.43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Kebijakan tersebut yang mendasari terbentuknya Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010.
BNPP dibentuk sebagai respons pemerintah atas dinamika dan situasi politik serta tuntutan kebutuhan obyektif untuk mempercepat upaya penanganan ketertinggalan perbatasan dan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pembangunan di perbatasan.
Kawasan perbatasan masuk dalam kategori daerah tertinggal. Ketertinggalan ini terjadi karena kurangnya perhatian pemerintah, dimana kebijakan pembangunan selama ini lebih mengarah kepada kawasan yang padat penduduk dan mudah dijangkau.
Sementara kawasan perbatasan cenderung difungsikan hanya sebagai sabuk keamanan. Kondisi demikian menyebabkan sebagian besar desa di sepanjang perbatasan sulit dijangkau (terisolir) dan secara umum menikmati infrastruktur dasar yang sangat terbatas. Potensi sumber daya alam di kawasan perbatasan padahal sangat melimpah, namun belum dikelola secara optimal.
Dalam kasus pada Kabupaten Kepulauan Meranti. Tingkat pendidikan dan kesejahteraan penduduk relatif rendah, hal ini dapat dilihat dari tingginya persentase penduduk miskin di Kepulauan Meranti pada tahun 2019 yang mencapai angka 26.93 persen (Badan Pusat Statistik, 2019)[1]. Kepulauan Meranti terletak di provinsi Riau, dengan ibukotanya adalah Selatpanjang. Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis berada pada bagian pesisir timur Pulau Sumatera yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia.
Kabupaten Kepulauan Meranti memiliki potensi sumberdaya alam yang besar dan beragam. Selain memiliki potensi pertambangan minyak dan gas bumi, perairan, wilayah pesisir dan laut, juga memiliki lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan bagi penduduk.
Hadirnya Otonomi Daerah seharusnya dapat menangkap peluang tersebut dengan baik. Namun demikian, belum jelasnya kewenangan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan, serta belum jelasnya batas-batas wilayah antar negara menjadi penghambat dalam pembangunan kawasan perbatasan.
Desentralisasi dan otonomi daerah sesungguhnya telah memberikan sejumlah kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga seharusnya pemerintah pusat tidak lagi mendominasi. Kini saatnya pemerintah pusat mendistribusikan kekuasaannya pada pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan yang sesuai kewenangannya. Pemberian kewenangan pemerintah pusat kepada daerah sekaligus memberikan peluang kepada daerah untuk mengembangkan daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Desentralisasi hadir untuk memecahkan masalah regional dan lokal serta membawa daerah mereka kepada kesejahteraan yang lebih baik. Desentralisasi memberikan peluang terbuka di kawasan perbatasan untuk memilih berbagai model dan strategi dalam merubah situasi ketertinggalan wilayahnya yang berada di wilayah perbatasan. Kendati, dominasi pusat masih sulit dihilangkan sehingga desentralisasi yang dicita-citakan tidak bisa berjalan secara maksimal.
Dapat kita lihat, bahwasanya sejak dahulu pembangunan kawasan perbatasan ini selalu menjadi prioritas tetapi sayangnya sampai saat ini masih belum maksimal.
Dibutuhkanya perhatian dan sinergi yang baik antara pemerintah pusat maupun pemerintah daerah agar kawasan perbatasan tidak lagi menjadi kawasan tertinggal dan mampu melaksanakan pembangunanya dengan sebaik-baiknya, tentu tidak hanya dengan menggunakan pendekatan keamanan (security approach), tetapi juga pendekatan kesejahteraan (welfare approach) dan pendekatan ekonomi (economy approach).
Pengelolaan wilayah perbatasan selain membutuhkan keterlibatan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara sinergis, keterlibatan para stakeholder juga sangat diperlukan. Daerah tidak bisa lagi dilihat sebagai subordinasi dari pusat.
Hubungan pusat dan daerah harus dipandang bersifat komplementer bagi keduanya, dalam arti saling membutuhkan satu sama lain. Ini berarti bahwa kebijakan otonomi bagi setiap daerah harus dipandang sebagai perjanjian atau kontrak antara pusat dan daerah yang cakupannya didasarkan pada hasil dialog dan musyawarah antar pemerintah pusat dan wakil-wakil rakyat daerah dengan tidak hanya mengedepankan kepentingan pemerintah dengan dalih pembangunan nasional tetapi juga mempertimbangkan kesejahteraan rakyatnya.
[1] Badan Pusat Statistik, “Presentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota 2018-2019”, Link : https://www.bps.go.id/indicator/23/621/1/persentase-penduduk-miskin-menurut-kabupaten-kota.html