Potret Milenial dalam Politik: Subjek atau Objek ?

Adecahyadi
Potret Milenial dalam Politik: Subjek atau Objek ?
Ilustrasi politik (pixabay)

Politik dalam kesehariannya, hadir dalam dua sisi pandangan. Di satu sisi, politik di pandang sebagai penyebab perselisihan, perpecahan bahkan pertengkaran. Sehingga yang terjadi ialah seseorang cendrung menghindari politik. Namun, di sisi lain politik di pandang sebagai peluang untuk mencapai keadilan. Alhasil, politik terus diharapkan dan semakin luas dipraktikkan.

Membahas perpolitikan di negeri ini, tak lengkap rasanya jika tidak membahas generasi milenial. Hal ini bukan tanpa alasan, belakangan ini politik di Indonesia ramai dengan kehadiran milenial. Baik itu sebagai partisipan, kritikus atau hanya sekedar pendulang suara.

Milenial sendiri memiliki pengertian dan kategorisasi yang berbeda-beda. Namun, pada intinya terdapat karakter-karakter khusus dari kelompok-kelompok tersebut. Karakter khusus itu dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan informasi yang memang dimulai sejak tahun 1980-an. Milenial hadir bersama dengan perkembangan teknologi dan informasi. Kehidupan para generasi millennial tak bisa dilepaskan dari teknologi terutama internet; entertainment/hiburan sudah jadi kebutuhan pokok tak tertandingi bagi generasi ini.

Lebih jauh, sistem perpolitikan di Indonesia memungkinkan siapa saja dengan kepentingan apapun untuk terlibat langsung dalam kegiatan politik. Secara tidak langsung, hal ini memberi peluang bagi milinieal untuk ikut berkontestasi di dalam perpolitikan. Hal ini di anggap perlu guna mengubah landskap politik di Indonesia, yang selama ini dianggap didominasi para tokoh senior.

Berkaca pada pelaksanaan Pemilihan Umum serentak tahun 2019 lalu, peran serta generasi milenial dalam hal persentase jumlah pemilih cukup besar. Lebih dari 40% pemilih pemilu serentak tahun 2019 adalah generasi milenial.

Melihat besarnya persentase jumlah pemilih generasi millenial. Hal ini kemudian memunculkan sebuah pertanyaan, bagaimana potret milenial dalam perpolitikan di negeri ini ? Apakah milenial sudah menjadi subjek dari politik atau justru menjadi objek? Bagaimana peran penting milenial di dalam perpolitikan ?

Tulisan ini bertujuan menjawab problem-problem tersebut. Dengan menggambarkan potret milenial di dalam perpolitikan Indonesia, sekaligus mengajak generasi milenial untuk melek terhadap politik. Secara sederhana melek politik diartikan sebagai paham atau mengetahui tentang politik. Penulis berargumen bahwa melek politik merupakan solusi efektik guna menghindari milenial dari objek politik.

Potret milenial di dalam Politik: Sudahkah menjadi Subjek ?

Memasuki tahun-tahun politik, maka sudah di pastikan ramai politisi yang mendadak menjadi milenial. Politisi mulai berkamuflase dengan mengikuti fashion, slogan maupun tren yang sedang booming di kalangan milenial. Hal yang paling menggelitik adalah para politisi mendadak menjadi milinieal, akan tetapi mereka tidak mempunyai visi misi yang mengutamakan milenial. Mereka tidak punya tawaran solusi untuk menyelesaikan segala persoalan milenial. Alhasil yang tergambar ialah milenial hanya menjadi objek dari politik.

Berdasarkan riset dari IDN Research Institute. Dalam laporan bertajuk “Indonesian Millenial report 2019”, menunjukkan fakta bahwa milenial masih acuh terhadap politik. Di mana, hanya 23,4 persen yang suka mengikuti berita politik. Tidak dinyatakan bahwa pemilih millenial tersebut paham akan politik. Kaum millenial cenderung menganggap politik hanya untuk orang – orang yang kuno atau generasi tua “old school”. Hal yang menjadi paradoks adalah jumlah pemilih milenial cukup tinggi di Indonesia, akan tetapi mereka cenderung tidak paham mengenai politik.

Jika di lihat dari partisipasi milenial yang terjun di dunia politik, potret milenial di dalam politik sebagai besar hanya sebatas pendulang suara. Berkaca dari anggota DPR periode 2019-2024 yang resmi dilantik, dari 575, 52 anggotanya tercatat berusia di bawah 30 tahun atau bisa dikatakan milenial. Selain itu, ada nama lain seperti Nadiem Makarim dan Bahlil Lahadalia ke Kabinet Indonesia Maju serta terpilihnya tujuh milenial menjadi staf khusus Presiden menghadirkan optimisme baru tentang peran yang dapat dimainkan generasi milenial di pusat kekuasaan.

Akan tetapi, hal ini belum cukup menunjukkan bahwa milenial telah menjadi subjek politik. Hal ini lantaran, milenial yang masuk dalam pusaran politik berasal dari keluarga yang mayoritas berpengahasilan tinggi seperti lingkaran politikus, polisi, pengusaha, pejabat BUMN, dan lainnya.

Urgensi Melek Politik di era milenial, seberapa pentingkah ?

Harus di akui, sebagian besar milenial cenderung acuh terhadap politik. Jika di cermati, setidaknya ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut. Pertama, milenial terjebak dalam berbagai tuntutan yang mendesak, seperti mencari pekerjaan dan menyelesaikan pendidikan. Sehingga mereka menghabiskan banyak waktu untuk hal tersebut. Alhasil, politik menjadi pilihan yang kesekian.

Kedua, Stigma negatif terhadap milenial. Hal ini berkaitan dengan sikap kritis milenial yang sering kali dianggap justru menambah masalah. Baik itu dari politisi senior maupun masyarakat umum. Padahal sikap kritis mahasiswa diperlukan untuk memperbaiki demokrasi dan kinerja pemerintah. Bukti kongkritnya adalah ketika Megawati Soekarno Putri mempertanyakan sumbangsih apa yang telah di berikan milenial kepada negeri ini. Ketiga, adanya anggapan bahwa politik haruslah di isi oleh tokoh-tokoh senior. Anggapan ini yang kemudian menjadi alasan tidak adanya tempat politik bagi milenial.

Meski begitu, generasi melineal tetaplah bagian dari penentu kemajuan dan keberhasilan demokrasi, baik di tingkat daerah maupun nasional. Posisi generasi milenial sangat diperhitungkan, terlebih menjelang tahun-tahun politik seperti pilkada. Di butuhkan gebrakan milenial sebagai agen perubahan.  Melihat hal tersebut, berbagai upaya harus dilakukan guna menghasilkan pemilih milenial yang berkualitas, Dan menghindari millenial menjadi objek dari politik.

Hal yang dapat dilakukan adalah dengan melek terhadap politik. milenial harus paham terhadap politik baik itu para aktor politiknya hingga partai politiknya.  Hal ini sangat penting guna menghindari adanya malpraktik di dalam kontestasi politik seperti politik uang, agama, dan lainnya. Sederhananya adalah milenial harus paham kiprah dari para calon pemimpin di daerahnya. Baik itu background politiknya, visi dan misinya, dan sebagainya. Sehingga nantinya kontestasi politik menghasilkan pemimpin yang cakap secara teoritis dan tanggap secara tindakan.

Dengan melek terhadap politik, milenial dapat memegang kendali untuk dunia politik. Dengan Bersikap aktif untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Sikap kritis ini juga dibutuhkan untuk terus mempertanyakan janji-janji politik dari para calon pemimpin.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak