Dalam situasi pandemi Covid-19, kegaduhan politik di negara demokrasi masih saja terjadi. Bukan hanya pro dan kontra Pilkada Serentak 2020 yang terjadi di dalam negeri. Akan tetapi, juga situasi politik AS yang masih memanas pasca-pilpres beberapa waktu lalu.
Melalui pernyataan yang diunggah di akun YouTube Sekretariat Presiden pada Sabtu (3/10/2020), Presiden Joko Widodo sempat menyinggung bahwa dalam situasi pandemi Covid-19 jangan sampai ada yang berpolemik dan membuat kegaduhan. Pernyataan Presiden tersebut dinilai sulit terpenuhi dalam sistem negara demokrasi yang dianut Indonesia. Apalagi melihat kejadian aksi buruh dan mahasiswa dalam beberapa pekan terakhir yang timbul sebab aspirasi mereka dirasa belum terpenuhi.
Menurut kesimpulan dari survei dan studi politik sejumlah institusi, pandemi Covid-19 berpotensi menimbulkan efek samping bagi demokrasi. Masalah karena pandemi ini mengakibatkan rusaknya kepercayaan publik terhadap demokrasi (distrust in democracy) yang bukan hanya semata-mata menjadi fenomena di Indonesia, tetapi juga fenomena global.
Banyak negara di dunia menggunakan sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dianggap tepat bagi negaranya. Peran demokrasi dalam suatu negara memang dinilai sangat menguntungkan, terutama bagi rakyat. Seperti yang diungkapkan oleh Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Karena pada dasarnya, demokrasi sangat memberikan ruang terbuka bagi setiap warga negara untuk bersuara atau menyampaikan pendapat. Bahkan, dalam menentukan kebijakan publik juga tidak terlepas dari campur tangan warga negaranya. Selain karena demokrasi memfasilitasi silang pendapat, demokrasi juga menjamin kebebasan setiap orang untuk berpendapat.
Oleh karena itu, demokrasi kerap menimbulkan beragam kegaduhan. Pada era sekarang, kegaduhan ini bukan hanya dilakukan dengan aksi demonstrasi, tetapi juga perang opini dan manuver “Cyber Army” di ruang publik. Meski gaduh, demokrasi tetap digunakan oleh banyak negara. Lantas bagaimana sistem ini tetap eksis dan bisa jadi pilihan banyak negara?
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh V-Dem Institue (2018), melihat dari segi penegakan hak asasi manusia, negara yang menganut demokrasi memiliki skor penegakan HAM yang lebih tinggi. Sementara itu, dalam penelitian berbeda yang dilakukan oleh V-Dem Institue (2019), menemukan fakta bahwa warga di negara penganut demokrasi juga cenderung mempunyai angka harapan hidup yang tinggi.
Demikian disampaikan Pengajar Ilmu Politik di Universitas Chengchi, Taiwan, Alex Tan dalam TEDx Talks pada Selasa (23/10/2018).
“Kalau kita bandingkan negara demokrasi dengan negara non-demokrasi secara umum, negara demokrasi lebih kaya. Mereka punya tingkat perkembangan manusia yang lebih tinggi. Demokrasi punya angka korupsi yang lebih rendah. Warga negara demokrasi lebih bahagia dan sehat. Dan warga negara demokrasi menikmati lebih banyak jaminan atas hak asasi manusia,” ujar Alex Tan.
Pada penghujung abad-20, negara yang menganut sistem demokrasi meningkat pesat. Sebaliknya, rezim autokrasi semakin banyak yang tidak bertahan. Hal tersebut tidak lepas dari situasi pasca-Perang Dingin yang membuat banyak negara mengharapkan perdamaian, kebebasan dan kemakmuran.
Namun, bukan berarti demokrasi adalah sistem pemerintahan yang sempurna. Para kritikus demokrasi berulang kali mempertanyakan soal apakah memberi hak pilih kepada warga atas persoalan yang mereka tidak kuasai adalah hal yang tepat?
Pertanyaan ini terasa relevan ketika demokrasi menghasilkan pemimpin-pemimpin populis yang anti-sains, juga para politikus yang tidak mau menerima kritik dan menampik kebebasan berpendapat.
Beberapa analis mengatakan bahwa saat ini keadaan demokrasi di seluruh dunia berada dalam fase krisis. Riset yang dilakukan The Economist Intelligence Unit (2019), menunjukkan skor rata-rata indeks demokrasi di 165 negara merosot dari 5,48 ke 5,44 pada 2019. Itu menjadi skor yang terburuk sejak 2006. Kondisi ini bahkan terjadi di negara-negara yang sudah mapan demokrasinya, seperti Amerika Serikat yang mengalami penurunan peringkat demokrasi.
Begitu pun Indonesia, peringkat demokrasi Indonesia sudah turun dari full free di ujung pemerintahan SBY pada 2013 hingga sekarang. Kini, demokrasi di Indonesia termasuk dalam kategori cacat (flawed democracy).
Ada beberapa alasan yang mengemuka mengapa demokrasi dilanda krisis. Mulai dari rendahnya kepercayaan terhadap pemerintah dan politikus, penurunan jumlah keanggotaan partai politik, hingga regulasi pemerintah yang dianggap tidak transparan.
Meskipun demokrasi mulai terguncang oleh banyak perkembangan situasi baru pada abad-21 ini, demokrasi tetap eksis. Alasan utamanya, negara dengan sistem demokrasi yang baik lebih mampu mempertahankan keamanan dan kemakmuran jangka panjang. Sistem ini juga dipandang sebagai alat paling efektif mewujudkan kesetaraan, mengurangi konflik, dan meningkatkan partisipasi publik. Rakyat juga memiliki kendali –secara tidak langsung– atas hak-hak mereka sendiri.
Dapat dikatakan bahwa demokrasi mungkin bukan sistem pemerintahan terbaik yang pernah dibuat. Namun, sistem ini adalah salah satu opsi yang lebih baik. Hal senada diungkapkan Mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill yang menyatakan bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang paling buruk, tetapi tidak ada yang lebih baik dari itu.
Setiap bentuk pemerintahan pasti memiliki kekurangan. Orang yang berbeda pun memiliki pandangan yang berbeda tentang berbagai sistem politik. Demokrasi bertujuan untuk mewujudkan keseimbangan antara yang mengatur rakyat dengan rakyat itu sendiri. Dan demokrasi adalah satu-satunya sistem pemerintahan di mana keseimbangan seperti itu dapat ditemukan.