Hasanuddin WS dalam bukunya berjudul Drama Karya dalam Dua Dimensi, mengatakan para penulis referensi sebelumnya kebanyakan bersepakat untuk menegaskan bahwa naskah drama ditulis pada 1926 berjudul Berbasari karya Roestam Effendi dicetuskan sebagai naskah drama paling awal ditulis.
Hasanuddin juga membagi kepenulisan naskah drama di Indonesia menjadi empat tahapan, yaitu tahapan pertama pada 1926-1942, di antaranya Roestam Effendi, 1926, Sanoesi Pane, Timboel, 1929, Poedjangga Baroe, 1940. Tahapan kedua pada 1942-1945, di antaranya El Hakim atau Abu Hanifah, Armijn Pane, dan Usmar Ismail.
Tahapan ketiga pada 1955-1960-an, di antaranya Utuy Tatang Sontani, Motinggo Busye, Irjo Mulyo, Yusar Muscar, Achdiat K. Mihardja, Aoh K. Hadimaja, dan lain-lain.
Lalu, tahapan keempat pada 1970-2000, di antaranya WS Rendra, Akhudiat, Putu Wijaya, Arifin C. Noer, Ikranegara, M. Masardi, Danarto, Nano Riantiarno, Remy Sylado, Emha Ainun Najib, Wisran Hadi, Heru Kesawa Murti, Seno Gumira Aji Darma, dan lain-lain.
Nah, setelah mengatahui tahapan perkembangan penulisan naskah drama di Indonesia, yuk kenalan lebih dekat degan lima dramawan pasca Orde Baru.
1. WS Rendra
Dijuluki Si Burung Merak karena penampilannya yang selalu mempesona ketika menjadi deklamator, WS Rendra mempunyai nama asli Willibrodus Surendra Broto atau akrab dipanggil Rendra atau Willy. Sastrawan yang juga dramawan ini lahir pada 7 November 1935, Solo, Jawa Tengah dan meninggal pada usianya yang ke 73 tahun di Depok, Jawa Barat pada 6 Agustus 2009.
Jika membicarakan soal teater nama Rendra tidak pernah luput dari pembicaraan. Bakatnya dibidang sastra mulai terlihat sejak Rendra masih belia. Terlihat ketika dirinya masih duduk di bangku SMP, Rendra menulis cerita pendek, puisi, juga naskah drama yang kemudian dipentaskan di sekolahnya. Bahkan karya-karyanya sudah dilublikasikan dibeberapa majalah sejak 1952 dan terus berlanjut hingga tahun 60-an sampai tahun 70-an.
Sepertinya bakat seni yang ada pada Rendra mengalir dari ibunya Ayu Catharina Ismadilah yang merupakan seorang penari serimpi di Keraton Surakarta. Sedangkan ayah Renda merupakan seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa di sekolah Katolik, Solo, ayah Rendra ini bernama Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo.
Pada saat Rendra masih duduk di bangku SMA, dirinya berhasil menerima penghargaan pertamanya melalui naskah drama Orang-orang di Tikungan Jalan oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Penghargaan inilah yang saat itu membuat Rendra sangat bergairah untuk terus berkarya. Karya-karya Rendra tidak hanya dikenal di dalam negeri, tetapi juga sudah terkenal sampai ke luar negeri. Bahkan beberapa di antaranya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.
Sepulangnya dari Amerika, pada akhir tahun 1967, Rendra mendirikan kelompok teater bernama Bengkel Teater di Yogyakarta. Bengkel teater yang telah didirikan Rendra bersama dengan kelompoknya memberikan suasana baru dan membawa pengaruh yang sangat kuat dalam dunia teater di tanah air yang pada saat itu boleh dikatakan situasi teater di tanah air yang lesu.
Tekanan politik pada 1977, membuat Rendra mendapat kesulitan untuk dapat tampil di muka publik dengan para kelompok teaternya. Hal ini membuat Rendra sangat sukar untuk bertahan karena permasalahan ekonomi yang menjeratnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut Rendra memberanikan diri untuk hijrah dari Yogyakarta ke Jakarta. Dari Jakarta Rendra kemudian pindah ke Depok dan mendirikan Bengkel Teater Rendra pada 1985. Berikut beberapa naskah drama karya Rendra sendiri, yaitu Kaki Palsu, Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954), SEKDA (1977), Bip Bop (1967), Kaum Urakan, Penembahan Reso (1986), Selamatan Anak Cucu Sulaeman (1967).
Arifin Chairin Noer, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Arifin C. Noer adalah seorang dramawan, sutradara, serta penyair kelahiran Cirebon pada 10 Maret 1941. Tidak hanya dikenal sebagai dramawan Indonesia, Arifin juga terkenal dalam dunia perfilman Indonesia.
Sejak masih duduk di bangku SMP, Arifin aktif menulis cerita pendek dan puisi. Arifin kemudian pindah ke Solo untuk malanjutkan sekolahnya dan bergabung ke Lingkaran Drama Rendra dan Himpunan Sastrawan Surakarta.
Arifin kemudian melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Di kota pelajar itulah, ia berkesempatan menimba pengalaman di Teater Muslim yang dipimpin oleh Mohammad Diponegoro. Barulah pada usia 27 tahun Arifin hijrah ke Jakarta. Sekitar tahun 1968, ia mendirikan perkumpulan teater eksperimental yang bernuansa kekeluargaan bernama Teater Ketjil. Di sanalah Arifin menjelma menjadi fenomena penting dalam sastra Indonesia.
Teater Ketjil kemudian menjadi ajang kreativitas dan aktivitasnya dalam mengembangkan dunia kesenian di Indonesia, khususnya seni teater. Teater Ketjil juga dimanfaatkannya semacam laboratorium untuk mengembangkan eksperimennya. Keaktifannya tidak hanya sebagai seniman teater, di Jakarta ia juga terus berkarya sebagai sutradara film dan penulis skenario, hingga akhirnya tutup usia pada 28 Mei 1995 di usia 54 tahun.
Naskah drama yang ditulis oleh Arifin, antara lain Lampu Neon (1960), Matahari di Sebuah Djalan Ketjil (1963), Nenek Tertjinta (1963), Prita Istri Kita (1967), Mega-Mega (1967), Sepasang Pengantin (1968), Kapai-Kapai (1970), Sumur Tanpa Dasar (1971), Kasir Kita (1972), Tengul (1973), Orkes Madun I (1974), Umang-Umang (1976), Sandek, Pemuda Pekerja (1979), Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi I (1984), Ari-Ari atawa Interograsi II (1986), dan Ozon atawa Orkes Madun IV (1989).
3. Putu Wijaya
Lahir di Tabanan Bali pada 11 April 1944, I Gusti Ngurah Putu Wijaya atau dikenal dengan nama Putu Wijaya. Dikenal sebagai sastrawan serba bisa yang mahir menulis drama, cerita pendek, esai, novel, dan skenario film. Putu Wijaya telah mahir menulis sejak masih duduk di bangku SMP dan telah menghasilkan lebih kurang 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esai, artikel lepas, dan kritik drama.
Tahun 1968, ia ikut bermain di Bengkel Teater Rendra dan sempat mementaskan Bip Bop dan Pozzo dalam drama Menunggu Godot di Jakarta tahun 1969. Sejak tahun 1959 Putu Wijaya bermain drama dengan Kelompok Sanggar Bambu. Di sanggar itu, ia menyutradarai pementasan Lautan Bernyanyi tahun 1968. Setelah pindah ke Jakarta, Putu Wijaya bergabung dengan kelompok Teater Ketjil pimpinan Arifin C. Noer. Putu Wijaya juga menggabungkan diri dengan kelompok Teater Populer pimpinan Teguh Karya.
Dalam berkarier Putu Wijaya terkenal sebagai penulis naskah drama. Dari tangannya telah muncul beberapa naskah drama modern yang beraliran arus kesadaran. Naskah drama yang ditulisnya tidak sama dengan naskah drama
konvensional. Beberapa naskah drama yang ditulis Putu Wijaya, antara lain, Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag Dig Dug (1976), Edan (1977) dan Gerr (1986).
4. Nano Riantiarno
Nano Riantiarno panggilan akrabnya memiliki nama asli Norbertus Riantiarno, ahir di Cirebon pada tanggal 6 Juni 1949. Kegemarannya dalam dunia teater, berangkat ketika ia masih duduk dibangku SMP dan masuk menjadi anggota kesenian TTA (Tunas Tanah Air) di Cirebon. Ketika itu, ia membacakan puisi di salah satu studio RRI dan menjadi pemain drama. Setelah lulus SMA ia tinggal di Jakarta untuk melanjutkan studinya di Akademi Teater Nasional Indonesia pada tahun 1968-1970.
Nano Riantiarno merupakan salah satu tokoh teater pasca Orde Baru yang pertunjukannya banyak digemari penonton. Nano Riantiarno memulai kariernya dalam teater sebagai aktor, penulis naskah teater, penulis skenario film, dan sebagai sutradara. Karier pertamanya terlihat ketika ia ikut mendirikan Teater Populer bersama Teguh Karya.
Tak lama kemudian, pada 1977 ia mendirikan kelompok teater bersama dengan seorang wanita yang bernama Ratna, teater tersebut diberi nama Teater Koma. 'Koma' sengaja disematkan oleh Riantiarno karena makna 'koma' itu sendiri, yang berarti tidak akan pernah menjadi titik. Artinya tidak akan pernah berhenti, begitupun harapan Riantiarno terhadap teater yang didirikannya ini semoga tidak akan pernah berhenti dan tidak mengenal titik untuk selalu berkarya apapun kondisi dan keadaanya.
Naskah drama yang telah ditulis oleh Nano Riantiarno sebagian besar dibawakan dalam pementasan Teater Koma, antara lain, Surat Kaleng (Trilogi RUMAH KERTAS I) (1977), Namaku Kiki (Trilogi RUMAH KERTAS II) (1977), Rumah Kertas (Trilogi RUMAH KERTAS III) (1977), Maaf.Maaf.Maaf. (1978), Bom Waktu (1982), Opera Kecoa (1985), Opera Julini (1986), Sampek Engtay (1988), Semar Gugat (1995), Republik Bagong (2001), Demonstran (2014).
5. Akhudiat
Dikenal sebagai penulis drama pasca Orde Baru Akhudiat lahir Banyuwangi, Jawa Timur, pada 5 Mei 1946. Orang-orang yang telah akrab dengannya akan memanggilnya dengan nama Diat saja.
Ketertarikannya terhadap dunia teater bermula ketika dirinya berada di Yogyakarta pada tahun 1962-1965. Dia sangat tertarik dengan dunia teater dan ingin menulis naskah sendiri. Namun, sampai tahun 1970 belum satu naskah lakon pun berhasil ditulisnya. Akhudiat selalu ingat akan saran Arifin C. Noer agar ia membaca dan mempelajari dialog-ialog dalam naskah itu, jika ingin menulis naskah lakon sendiri.
Naskah drama yang telah ditulis oleh Akhudiat, antara lain Grafito (1972), Jaka Tarub (1974), Rumah Tak Beratap (1974), Bui (1975), RE (1977), Putih dan Hitam (1978), Suminten dan Kang Lajim (1982).
Itulah daftar 5 penulis naskah drama di masa pasca orde baru.