Pendidikan adalah akar dan pondasi bagi generasi muda. Seberapa baiknya kualitas pendidikan akan menentukan masa depan negara. Nyatanya masalah kesenjangan dan pemerataan pendidikan di Indonesia masih menjadi polemik, terutama di tengah pandemi.
Siapa yang tidak tersulut melihat hasil Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 lalu? Indonesia meraih peringkat 7 besar dari bawah setelah bersaing dengan 78 negara lainnya. Lebih jelasnya, Indonesia meraih peringkat 72 untuk kompetensi Membaca, peringkat 72 untuk nilai Matematika, dan nilai Sains menduduki peringkat 70.
Hasil PISA yang meringkuk di posisi belakang memicu pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan dan menaikkan biaya. Mengingat anggaran pendidikan yang meningkat seiring tahunnya, mungkin akan lebih pantas jika menyebut pengeluaran ini sebagai salah satu anggaran pendidikan tertinggi di ASEAN. Bagaimana tidak, sebanyak 20% APBN dikerahkan untuk sektor pendidikan dengan jumlah Rp 550 triliun. Namun, untuk Kemendikbud sendiri hanya diberikan dana sekitar Rp 81,5 triliun.
Hal ini pun dikemukakan langsung oleh Menteri Pendidikan, Pak Nadiem Makarim dalam webinar Taklimat Media Awal Tahun, Selasa (5/1). Sisa anggaran lainnya akan diberikan kepada kementrian lain seperti Kemristek, Kominfo, dan Kementrian PUPR. Penggunaannya akan mengacu pada program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, pembangunan satelit dan perbaikan akses internet, serta pembangunan sarana prasarana pendidikan.
Namun, merujuk lagi kepada realitasnya. Tidak semua pembangunan dan peningkatan akses pendidikan dilakukan secara menyeluruh. Kondisi wilayah serta geografis yang beragam membuat setiap program yang direncanakan harus terhambat. Tapi masalah-masalah tersebut seharusnya sudah dipertimbangkan oleh pemangku kepentingan.
Sudah terlihat nyata bahwa memang segala bentuk distribusi pasti akan membutuhkan waktu yang lama. Tapi pengeluaran dana yang besar seharusnya sebanding dengan hasil yang diperoleh. Manajemen keuangan, komunikasi kebijakan, serta masalah koordinasi antar jajaran pemerintah menjadi sorotan dalam ketidakefektifan program pendidikan.
Kondisi Sekolah Yang Mengkhawatirkan
Menurut data yang dipaparkan oleh Statistik Pendidikan Indonesia, distribusi peserta didik di sekolah negeri lebih besar dibanding sekolah swasta. Namun untuk kelengkapan fasilitas dan sarana pendidikan, sekolah negeri tertinggal jauh. Padahal untuk memenuhi banyaknya daya tampung diperlukan fasilitas yang lebih dari cukup untuk menunjang tercapainya target pendidikan.
Seperti yang disampaikan oleh Nadiem Makarim pada Rabu (20/1/2021), 15 persen atau 34.200 sekolah dari semua satuan pendidikan diizinkan untuk melaksanakan pembelajaran secara tatap muka. Sedangkan 84,5 persen sisanya dengan jumlah 185.552 sekolah tetap melanjutkan PJJ. Masih banyak Pemda yang memikirkan dampak dan keselamatan siswa di tengah pandemi. Namun, tidak hanya COVID19 saja yang berbahaya bagi keselamatan. Bangunan yang rentan ambruk serta fasilitas sekolah yang kurang memadai juga tidak lepas dari perhatian.
Sejak terdampak pandemi, kondisi sarana prasarana pendidikan di Indonesia menjadi masalah baru. Berdasarkan survei yang dilakukan Statistik Pendidikan pada tahun ajaran 2019/2020, lebih dari 70% ruang kelas di setiap jenjang pendidikan dalam kondisi yang rusak, baik yang rusak ringan/sedang maupun rusak berat. Bahkan kondisi rusak diatas 80% diduduki oleh jenjang pendidikan SD dan SMP. Sangat perlu langkah segera dalam mengatasi darurat gedung sekolah agar meminimalisir bahaya dan melengkapi kebutuhan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Akan sangat bahaya jika siswa yang mengikuti sekolah tatap muka harus beraktivitas diantara bangunan yang tidak solid dan rentan rubuh.
Ancaman Loss Learning Akibat Pandemi
Pandemi COVID-19 ini cukup menghantam berat siswa dan tenaga pendidik. Penerapan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang dijalankan sejak Maret 2020 terpaksa menjadi solusi untuk melanggengkan proses pendidikan. Namun PJJ yang sudah berjalan lebih dari 10 bulan tersebut bisa membawa masalah baru yang berkepanjangan, salah satunya yaitu learning loss
Learning loss menurut The Glossary of Education Reform (https://edglossary.org/) diartikan sebagai kehilangan atau keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang merujuk pada progres akademis, umumnya terjadi karena kesenjangan yang berkepanjangan atau diskontinuitas dalam pendidikan. Seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo, khawatir dengan masalah learning loss. Jika saat ini kurikulum menargetkan 12 bab untuk 1 mata pelajaran, maka di kala pandemi sekolah hanya mampu mengejar 5 bab saja. Itupun jika materi tersebut dipahami benar oleh siswa. Akibat mengejar ketertinggalan tersebut, tak heran jika beberapa guru mengirimkan banyak tugas online sebagai ketentuan penilaian.
Bagaimana dengan masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi di masa pandemi? SMERU Research Institute memikirkan hal yang sama. Mereka pun melakukan beberapa proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020. Hasil skenario buruknya, angka kemiskinan di tahun 2020 meningkat sebanyak 4 persen dari tahun 2019 menjadi 12 persen. Artinya, akan semakin banyak masyarakat yang sulit menempuh pendidikan karena kesulitan ekonomi. Dampak keterpurukan ekonomi yang dialami bisa juga berimbas pada kesejahteraan guru dan sekolah sebagai institusi pendidikan. Hal ini akan sangat berdampak pada besarnya rasio learning loss di Indonesia.
Apakah dampak learning loss ini akan berkepanjangan? hal ini disampaikan pula oleh Mendikbud dalam Pengumuman Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19 yang disiarkan di kanal YouTube KEMENDIKBUD RI Agustus lalu bahwa learning loss akan menjadi dampak yang permanen, apalagi bagi siswa dengan jenjang pendidikan terbawah. Maka itu harus ditangani segera dengan kebijakan yang ada dengan preparasi yang matang.
Akhir kata, besarnya anggaran pendidikan tidak menjamin baiknya kualitas pendidikan di Indonesia. Ancaman pandemi yang masih mengintai memberi harapan tipis bagi masyarakat untuk menyukseskan program pendidikan. Akan menjadi PR besar bagi pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang muncul akibat dampak COVID19. Anggaran yang besar tentu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kelancaran dan efektivitas PJJ. Baik untuk kelancaran internet, fasilitas belajar online gratis, dan lain-lain.