Rashomon, Sang Penggugat Kebenaran

Munirah | Rizki
Rashomon, Sang Penggugat Kebenaran
Ilustrasi Samurai. (Pixabay)

Apa itu kebenaran? Ia sudah tidak ada lagi sekarang ini, kalau kata orang-orang. Kini, kita telah masuk dalam era “pasca kebenaran”. Yang “benar” sudah tidak dibutuhkan, yang nyata tak lagi didengarkan, dan mungkin saja memang tak perlu ada.

Istilah “post-truth” atau “pasca kebenaran” memang beberapa tahun terakhir sedang gencar disuarakan. Bahkan, Oxford Dictionary mendapuknya sebagai kata dalam bahasa Inggris terpopuler pada tahun 2016.

Waktu itu, dunia barat sedang geger akibat dua perkara: wacana Brexit di Inggris dan pemilihan presiden di Amerika Serikat. Menurut kamus Oxford sendiri, “post-truth” memiliki arti: “relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief”.

Mudahnya, pasca kebenaran terkait dengan keadaan ketika fakta objektif kurang atau tidak lagi berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.

Di Indonesia, salah satu bukti kejadiannya terjadi pada tahun 2019 lalu. Penyulutnya apalagi kalau bukan gara-gara “Pesta Demokrasi”. Kontestasi politik besar-besaran dilaksanakan untuk memilih presiden dan wakil presiden, sekaligus anggota legislatif. Tak tanggung-tanggung, rakyat disuruh mencoblos lima surat suara yang selanjutnya dimasukkan ke lima kotak suara dalam satu waktu.

Dalam suatu kompetisi pasti ada yang menang dan tumbang; hasilnya pun bisa kita saksikan sekarang ini. Dan sudah pasti dalam bersaing, manuver dan muslihat perlu dilakukan oleh para calon dan tim suksesnya demi melenggang ke tampuk kekuasaan. Segala cara pun dihalalkan oleh mereka.

Persis seperti yang dikatakan oleh Machiavelli dalam buku karangannya, Il Principe: “Makhluk ini (manusia) tak tahu berterima kasih, plinplan, pendusta dan penipu, takut bahaya, dan rakus akan laba.

Tak hanya partisan, para simpatisan antarpartai dan antarkelompok pun tak absen untuk turut berlomba melakukan segala hal demi memenangkan jagoan masing-masing. Tak pelak, berbalasan caci dan maki antara satu dengan yang lain menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan.

Kabar-kabar palsu dan fitnah yang tak jelas juntrungannya terus disebar demi menjatuhkan lawan. Kiri-Kanan, satu-dua, banteng-garuda pun saling beradu dan menjadi tajuk utama di media massa. Homo homini lupus; semua manusia adalah serigala bagi sesamanya.

Akhir-akhir ini, term pasca kebenaran muncul kembali. Namun, kali ini ia tak hadir di ranah perpolitikan, tetapi merambah ke bidang kesehatan. Sudah 18 bulan terakhir kita dilanda pandemi Covid-19.

Tak hanya Indonesia, seluruh dunia turut menderita karenanya. Sampar yang dikatakan berasal dari Wuhan, Tiongkok, ini telah melumpuhkan kehidupan manusia di seluruh bumi. Kondisi ekonomi, sosial, politik, dan keamanan terguncang dibuatnya.

Di Indonesia sendiri, jumlah warga yang terpapar Covid-19 telah mencapai 3,13 juta: 2,47 juta sudah sembuh, 82.103 orang tewas karenanya. Walaupun sudah satu setengah tahun kita telah dilanda pandemi Covid-19 ini, penambahan kasus tiap harinya tak kunjung menurun—malah semakin meningkat.

Kurva yang terus meningkat tentu saja disebabkan oleh banyak hal, seperti: pembatasan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah tidak berjalan secara efektif, pemberian vaksin yang belum merata ke seluruh daerah, varian-varian baru Covid-19 yang belakangan ini masuk ke Indonesia, masyarakat yang abai untuk menaati peraturan pembatasan dan tidak menerapkan protokol kesehatan, serta hal-hal lainnya.

Hal terparah dan menyedihkan, yakni tak sedikit masyarakat Indonesia yang masih berpikiran bahwa Covid-19 hanyalah hoaks semata. Orang-orang tersebut menyebutnya sebagai penyakit yang biasa saja layaknya flu; tidak percaya bahwa virus tersebut dapat membahayakan nyawa.

Selain itu, orang-orang itu berpikiran bahwa virus Covid-19 adalah konspirasi ciptaan elite global demi mencapai tujuan mereka, yang salah satunya yaitu depopulasi penduduk bumi. Juga yang beberapa hari ini heboh di media massa, mereka percaya bahwa pesawat-pesawat yang lewat di langit menyebarkan pestisida yang menyebabkan flu, batuk, dan sesak napas, atau biasa disebut chemtrail.

Perbedaan pendapat yang muncul di antara masyarakat dalam dua kasus tersebut membuktikan tentang pengertian pasca kebenaran yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu saat ketika emosi dan keyakinan pribadi lebih dipercaya daripada fakta objektif dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Dalam melihat suatu peristiwa, manusia menyaring informasi dan mengambil kesimpulan sesuai dengan keadaan dan kepercayaan mereka masing-masing.

Para saintis pun bisa mendapatkan hasil yang berbeda saat melakukan riset, walaupun mereka memakai variabel dan kumpulan data yang sama di awal penelitian. Ada salah satu contoh kasus yang terkenal, yaitu tentang hasil penelitian etnografi yang dilakukan oleh dua ilmuwan terhadap suatu peradaban di desa Tezpotlan, Meksiko, puluhan tahun lalu.

Dalam lektur karangannya, Tepoztlan, A Mexican Village: A Study of Folk Life (1926), Robert Redfield menyebutkan bahwa penduduk di desa tersebut “senang” dan “puas” atas kehidupan mereka di desa tersebut. Namun, hasil pengamatan tersebut disanggah oleh Oscar Lewis, pengamat kedua, yang mengatakan bahwa penduduk Tepoztlan bersifat “paranoid” dan “tidak puas”, yang termaktub dalam bukunya, Life in a Mexican village: Tepoztlan Restudied (1951).

Terkadang, setelah melihat sendiri suatu fakta yang berbeda dengan nilai pribadi pun, seseorang tak langsung mengevaluasi dan menyesuaikan pemahamannya. Malah sebaliknya, ketika orang-orang menemukan bukti yang seharusnya membuat mereka meragukan keyakinan sebelumnya, mereka bisa saja menolak bukti ini dan semakin memperkuat pendirian aslinya. Ini terjadi karena bias kognitif yang dikenal sebagai “backfire effect”.

Dalam hasil studinya, "Misinformation and Its Correction: Continued Influence and Successful Debiasing" (2012), Stephan Lewandowsky, dkk memaparkan tentang beberapa penyebab orang-orang sering menolak fakta atau terjadinya backfire effect, salah satunya yaitu terkait dengan mekanisme pertahanan diri: seseorang akan merasa terancam apabila nilai yang dipercayainya diserang, sehingga mereka berusaha membela diri dengan membuat argumen-argumen yang memperkuat pendiriannya—yang sudah terbukti salah.

Sejatinya alusi kasus semacam ini telah diangkat dengan apik oleh penulis dan sutradara yang brilian asal Jepang semenjak beberapa puluh tahun yang lalu dalam cerita pendek dan film Rashomon.

Rashomon merupakan film Jepang yang diproduseri oleh Akira Kurosawa dan pertama kali tayang pada tahun 1950. Skenarionya disusun berdasarkan dua cerita pendek gubahan Ryunosuke Akutagawa: Rashomon (1915) dan In a Bamboo Grove (1922).

Film ini berlatar di daerah Kyoto, Jepang abad ke-12 yang berkisah tentang peristiwa berdarah yang terjadi di hutan bambu antara 3 tokoh: seorang samurai, istrinya, dan seorang bandit bernama Tajomaru.

Gerbang Rashomon yang telah hancur ditampilkan sebagai pembuka dalam film ini, dilanjutkan dengan seorang penebang kayu dan biksu yang menceritakan kepada seorang gelandangan tentang persidangan atas kasus pembunuhan seorang samurai di dalam hutan.

Teka-teki yang dihadirkan film ini berasal dari empat kisah pembelaan yang sangat berbeda oleh para saksi dan tersangka dari peristiwa yang sama, yang entah benar terjadi maupun tidak (kemungkinan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Tajomaru si bandit, dan kematian si Samurai yang bisa berupa pembunuhan atau bunuh diri).

Keempatnya jelas membela diri sendiri, yang bertujuan untuk menjaga kemuliaan dan harga diri masing-masing. Setiap kisah diceritakan sebagai kebenaran di persidangan oleh si Bandit, Istri Samurai, Samurai (yang setelah meninggal, bersaksi melalui medium roh), dan si Penebang Kayu yang pertama kali menemukan mayat di tempat kejadian.

Saat tiap-tiap dari keempatnya memberikan testimoni, kita melihat versi tertentu dari kesaksian yang masuk akal itu di film, sehingga gambar visual yang ditampilkan mendukung setiap pleidoi secara bergantian. Namun, tidak seperti cerita detektif "whodunit" yang familier di sinema, di mana pelaku utama akhirnya tertangkap atau mendapatkan balasan atas kelakuannya, Rashomon tidak memberi konklusi tentang “kebenaran sejati” di titik penghujung cerita.

Rashomon tidak ingin menggurui kita dalam mencari kebenaran yang kodrati, tetapi sebaliknya. Seperti tokoh-tokoh dalam ceritanya yang berperan sebagai pengisah lancung (Inggris: unreliable narrator), mereka memiliki persepsi masing-masing terhadap insiden tersebut. Menurut Akutagawa dan Kurosawa, tidak ada kebenaran yang sejati; di dunia ini, yang ada hanyalah kebenaran subjektif.

Dalam magnum opus-nya, In Search of Lost Time, Marcel Proust mengatakan bahwa: “Mengingat hal-hal tentang masa lalu belum tentu mengingat hal-hal dengan sebagaimana adanya.” Kalimat yang indah tersebut berbicara tentang kebenaran sederhana: ada hal-hal yang kita ingat, dan ada hal-hal yang kita ingat dengan baik.

Bahkan jika dapat mengingat peristiwa masa lalu, ingatan kita akan sangat bervariasi dalam banyaknya detail yang terkandung, dan seberapa benar detail tersebut. Begitu juga kebenaran; semua orang memiliki kepercayaannya masing-masing, yang terkait dengan latar belakang, keadaan emosi, umur, budaya, dan sebab-sebab lain. Termasuk juga memori yang menjadi salah satu acuan berpikir seseorang.

Ketidakpastian yang tak terpecahkan ini tetap eksis sebagai kualitas Rashomon yang paling menarik, dalam artian hal tersebut tidak serta merta dapat ditafsirkan melalui peristiwa dalam gambar, setidaknya tidak dalam cerita itu sendiri.

Seperti karya seni konseptual yang hebat, substansi seni harus diinvestasikan untuk kebenaran subjektif; para penikmatnya dapat mencari makna yang terkandung dan dimaksud oleh para seniman dalam menciptakan karya tersebut.

Film ini menunjukkan hal tersebut dengan tiadanya harapan untuk mendapatkan kebenaran objektif, yang secara subtil memberikan keleluasaan terhadap para pembaca/penonton dalam membongkar realitas, sekaligus makna yang terkandung di dalamnya.

Rashomon mengguncang jagat persinemaan internasional setelah pemutarannya, hingga berhasil memenangkan kategori film terbaik di ajang Venice International Film Festival tahun 1951. Bahkan, ada frasa baru yang diciptakan gara-gara film ini, yakni “Rashomon Effect” yang memiliki arti: “Keadaan di mana pihak-pihak terkait memaparkan tentang suatu peristiwa dengan cara yang berbeda dan kontradiktif, yang mencerminkan interpretasi subjektif dan pembelaan kepentingan mereka sendiri, daripada kebenaran objektif,” ujar Justice Applegarth, hakim Mahkamah Agung Queensland, yang memaparkannya pada saat melakukan persidangan pada 15 Juni 2020.

Pada abad ke-12, gerbang Rashomon perlahan runtuh. Puluhan mayat dan bayi ditinggalkan di bawah atapnya karena keluarga tak sanggup lagi untuk mengurus mereka akibat kemiskinan yang melanda.

Kehancuran gerbang “selamat datang” ke Kyoto tersebut menandakan pergeseran kekuasaan Jepang kuno, dari periode kekaisaran Heian (794-1185) ke periode bakufu, pemerintahan diktator militer yang biasa dikenal dengan era syogun.

Dalam cerita aslinya, Akutagawa secara simbolis memang sengaja untuk memilih gerbang Rashomon yang telah hancur sebagai latar cerita untuk merepresentasikan kerusakan dan kebusukan moral peradaban serta budaya modern, khususnya di Jepang.

Namun dalam filmnya, Kurosawa mengubah kesuraman akhir kisah tersebut menjadi penuh harapan dengan cara menunjukkan adegan di mana si Penebang Kayu—yang sebelumnya berbohong—mengatakan kepada si Biksu bahwa ia berniat untuk mengasuh seorang bayi yang ditinggalkan di gerbang tersebut, dan selanjutnya berjalan meninggalkan gerbang menuju arah penonton.

Adegan tersebut menyimbolkan bahwa kita semua masih punya alasan untuk terus percaya akan nilai kemanusiaan dan selalu memegang nilai kebenaran; dan sekarang giliran kita, para penonton, untuk merawat “bayi” tersebut.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak