Kemendikbudristek Tawarkan Kurikulum Prototipe, Sekolah Tanpa Penjurusan?

Ayu Nabila | Muhammad Hafizh Ramadhan
Kemendikbudristek Tawarkan Kurikulum Prototipe, Sekolah Tanpa Penjurusan?
Ilustrasi pendidikan (Shutterstock/Cherries)

Mulai tahun 2022, Kemendikbudristek menawarkan kurikulum yang lebih fleksibel, yaitu kurikulum prototipe. Tidak lagi ditempatkan pada jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, siswa kelas X bakal mengambil pelajaran umum layaknya ketika SMP. Sementara itu, siswa kelas XI dan XII diperbolehkan meramu kombinasi pelajaran sesuai minat dan rencana  kariernya.

Syaratnya, siswa akan mengikuti 18 jam pelajaran wajib dan 20 jam pelajaran pilihan. Menurut Kemendikbudristek, kurikulum ini akan berfokus pada materi esensial, sehingga murid punya kesempatan untuk menekuni minatnya secara fleksibel. Kurikulum prototipe sudah dipakai di 2500-an sekolah yang ada di Indonesia lewat Program Sekolah Penggerak.

Meski sudah ada uji coba, kurikulum prototipe bersifat opsional, dan hanya akan diterapkan di satuan pendidikan yang berminat menggunakannya. Detik.com melansir bahwa pada 20 Desember 2021, Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek, Anindito Aditomo mengatakan, "Siswa yang ingin menjadi insinyur akan boleh mengambil matematika lanjutan dan fisika lanjutan, tanpa mengambil biologi."

Ia bisa memadukannya dengan pelajaran IPS dan Bahasa, serta keahliannya yang sesuai terhadap ketertarikannya untuk pekerjaannya nanti. Sama seperti Indonesia, Brazil juga merencana menerapkan kurikulum serupa di tahub 2022, sebagaimana yang telah dilaporkan melalui Carlos Monroy, World Education News, "Reviews: Education in Brazil" (2019).

 World Education News melansir bahwa sebelumnya sudah ada AS (Amerika Serikat), Korea Selatan, China, dan Polandia yang telah lebih dulu mengizinkan siswanya memilih mata pelajaran yang mereka minati tanpa harus terikat dalam sebuah jurusan, atau disebut kurikulum prototipe.

Meski demikian, praktisi menilai kebijakan ini harus didahului dengan riset dan evaluasi. Tidak hanya riset, timing dan cetak biru pendidikan juga jadi kunci. Karena ganti kurikulum itu bukan hal yang sederhana, apalagi Indonesia ada 266 ribu sekolah dan 3 juta guru. Itu yang harus dikaji lagi apakah timing-nya tepat.

Praktisi juga mengatakan yang harus diselesaikan pemerintah terlebih dahulu adalah cetak biru pendidikan Indonesia. Kita tidak punya cetak biru pendidikan, jadi tidak tahu bentuknya yang mau kita bangun itu seperti apa. Oleh karena itu setiap ganti menteri, dibuat program itu-itu saja. Ganti menteri, juga ganti kurikulum. Bagaimana menurut kamu, pilih kurikulum prototipe atau tidak?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak