Sejak awal revolusi kedua pada tahun 2014, Ukraina menolak supremasi yang dilakukan pihak Rusia terhadap negara pecahan bekas Uni Soviet tersebut. Ukraina bersikeras mencari jalan agar dapat bergabung dengan NATO dan Uni Eropa. Namun, Presiden Rusia Vladimir Putin yang memimpin saat ini, menganggap keinginan Ukraina tersebut sebagai bentuk penolakan terhadap prinsip uni atau kesatuan antara Rusia dengan negara-negara pecahannya. Vladimir Putin menganggap Rusia dan Ukraina merupakan "Satu Tubuh" dan pengaruh Rusia tidak bisa lepas terhadapnya.
Saat ini, peluang invasi besar-besaran terhadap Ukraina diperkirakan dapat terjadi pada akhir Februari 2022. Para pemimpin Barat memperkirakan invasi ini bukan hanya melahap beberapa bagian kecil dari Ukraina, melainkan invasi dalam skala penuh dan habis-habisan. Di samping itu, Kiev terus meminta AS dan NATO untuk berada di pihaknya selama konflik panas ini berlangsung. Kiev khawatir bahwa akan datang invasi jilid dua seperti yang terjadi pada Krimea 2014 lalu.
Sebagai jawaban atas berdirinya Amerika Serikat dan NATO di sisi Ukraina, Rusia menganggap bahwa hal tersebut hanyalah gagasan licik AS untuk menahan perkembangan di Rusia. Putin mengungkapkan kekhawatirannya mengenai sikap yang diambil AS tersebut seakan melegitimasi aksi bermusuhan Ukraina dengan Rusia. Putin juga menambahkan bahwa konflik ini tak akan sampai ke ranah perang yang besar. Tak sesuai dengan kekhawatiran tersebut, langkah yang diambil oleh Putin justru mengerahkan.
Sedikitnya 100.000 pasukan militer berjaga di perbatasan Rusia dengan Ukraina
Para pemimpin Barat tentu saja tak akan mempercayai premis milik Putin begitu saja. Pasalnya, setelah apa yang terjadi terhadap Krimea delapan tahun lalu, perkataan Rusia tak bisa dipegang seutuhnya. Suasana konflik panas ini terasa seperti Perang Dingin antara Rusia dengan AS yang kembali terulang.
Para pengamat politik berpendapat bahwa hal ini memiliki kemiripan dengan suasana Perang Dingin karena Rusia ingin mempertahankan pengaruhnya terhadap negara bekas Uni Soviet, sedangkan kedekatan AS dengan negara-negara bekas Uni Soviet tersebut menimbulkan kerisauan bagi Rusia.
Ukraina sendiri, dalam menanggapi ketegangan yang mungkin saja menjurus pada invasi besar-besaran oleh Rusia, telah menyiapkan setidaknya lebih dari 100.000 personel militer untuk berjaga di sepanjang perbatasan. Ditambah dengan bantuan personel militer yang dikirimkan oleh AS dan NATO sebanyak 3.000 tentara. Personel militer bantuan tersebut kemudian ditempatkan berjaga di perbatasan kedua negara yang sedang memanas tersebut.
Dengan demikian, belum dapat dipastikan terkait konflik yang terjadi antara Rusia dengan Ukraina ini akan berakhir damai atau akan ada invasi Rusia terhadap negara bekas pecahan Uni Soviet kembali. Jika konflik ini masih akan berlangsung dan semakin memanas, dunia akan kembali dibuat khawatir oleh reuni para pemeran utama perang-perang besar beberapa tahun silam.