Matahari yang menyengat kulit pada siang hari, lelaki tua dengan penuh lamunan di pinggir jalanan yang penuh lalu lalang kendaraan. Tampak kerutan di wajah, pandangan mata yang begitu kosong. Seolah-olah sedang menunggu penantian seseorang.
Suhendi, lelaki kelahiran tahun 1962, mendorongan gerobak dengan panjang dua meter dari terik matahari muncul hingga matahari terbenam. Memilih untuk merantau dari kampung halaman tercinta Majalengka, ia rela menampung rasa jerih payahnya itu.
Memang dominan barang yang dijual, diborong oleh kalangan ibu rumah tangga untuk perlengkapan rumah, segala aksesoris keperluan yang ia jual. Syukurnya, ia selalu dibanjiri oleh rasa syukur, setiap harinya pasti ada aja yang membeli.
“Alhamdulilah ada aja yang beli, asal mau ada usaha niat untuk keluar berjualanan,” jelasnya Suhendi.
Tak bisa dipungkiri sejak tahun 1987, ia memilih untuk merantau ke Jakarta lalu menetap di Bekasi sampai sekarang ini. Berbagai jenis pekerjaan dicoba, mulai dari pedagang roti, cincau, peci keliling, dan sebagainya. Namun, kehendak yang di atas dan keahliannya tetap menetapkanya menjual Perabot.
Meraih pundi-pundi rupiah setiap harinya, untuk mencukupi makan dan anak cucunya. Namun, di balik itu semua pastinya ada kejadian yang diharapkan. Suhendi pernah ditipu oleh pembeli dengan uang palsu.
“Waktu itu anak muda beli gantungan sama tempat sendok, eh nggak tahunya itu duit palsu,” kata Suhendi dengan nada mendayu.
Tidak mengenal kata lelah, dagangan yang ia jual pasti ada setiap harinya dibeli, dengan pendapatan Rp 150.000/hari dan mensyukuri untuk kesehariannya sebagai perantau.
Berbeda dengan karyawan tetap pada umumnya, waktu kerja Suhendi yang tidak menentu berdasarkan cuaca. Jika hujan datang, maka dagangannya hanya ditutupi dan berdiam di rumah. Rezeki yang ia nanti-nanti sementara ditahan.
Alasan dirinya memilih untuk merantau, adalah pengalamanku. Jika hanya mengandalkan pekerjaan di sawah, hanya menunggu yang panen saja. Jauhnya anak, cucu, dan istri, dirinya hanya bisa mengirimkan doa rindu kepada langit.
Oleh: Nabiila Putri Caesari / Politeknik Negeri Jakarta