Kejati DKI Tawarkan 'Damai' untuk Kasus David, Gus Romli: Bau Amis, Siapa yang Order?

Rendy Adrikni Sadikin
Kejati DKI Tawarkan 'Damai' untuk Kasus David, Gus Romli: Bau Amis, Siapa yang Order?
Mario Dandy dan Shane Lukas saat rekonstruksi penganiayaan David di Kompleks Green Permata Residence, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Jumat (10/3/2023). [Suara.com/Rakha Arlyanto]

Politikus Mohamad Guntur Romli menyentil tawaran restorative justice dari Kejaksaan Tinggi DKI dalam menyelesaikan kasus penganiayaan Mario Dandy Satriyo terhadap David Ozora. Menurut Romli, tawaran tersebut 'bau amis'.

Pria yang karib disapa Gus Romli itu mempertanyakan kelaikan tawaran restorative justice kepada korban. Terlebih lagi, saat ini korban yakni David Ozora masih belum sepenuhnya sadar gara-gara penganiayaan yang cukup berat.

"Apakah layak menawarkan restorative justice pada korban yang masih belum sadar dari penganiayaan berat?" cuit Gus Romli melalui akun jejaring sosial Twitter miliknya, @GunRomli, Jumat (17/3/2023).

Bahkan, Gus Romli merasa curiga dengan motif di balik kunjungan Kejati DKI membesuk David Ozora di Rumah Sakit Mayapada. Apalagi, dalam kunjungan itu, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Reda Manthovani menawarkan restorative justice.

"Saya malah curiga dengan 'motif' kunjungan Kajati ini, tiba-tiba nawarin RJ, bau amis," kata Gus Romli.

Twit Mohamad Guntur Romli.(Twitter)
Twit Mohamad Guntur Romli.(Twitter)

Kecurigaan Gus Romli beralasan. Tindakan Mario Dandy itu tergolong pidana berat, yakni penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan korban terkapar belum sadarkan diri. Sementara, restorative justice itu untuk kasus yang ringan.

"Mengapa saya sebut tawaran Kajati DKI ke keluarga David ini 'bau amis'? Karena tindakan Mario Dandy itu pidana berat: penganiayaan berat berencana, korban belum sepenuhnya sadar, sdangkan RJ untuk kasus ringan," ujar Romli.

Nah, terkait motif Kajati DKI Jakarta menawarkan restorative justice, Gus Romli pun mempertanyakan, "Tepatnya: siapa yang order?"

Sekadar informasi, Mario Dandy Satriyo ditahan sejak 20 Februari 2023, Shane Lukas ditahan sejak 24 Februari 2023. Dan AGH ditahan sejak 8 Maret 2023, atau sudah ditahan tujuh hari di LPSK. Penahanan AGH ditambah delapan hari.

AGH akan menjalani sidang khusus untuk pelaku belum dewasa, dan berkasnya akan dipelajari Kejati DKI Jakarta dalam sepekan nanti.

Mario dijerat dengan Pasal 355 KUHP Ayat 1 Subsider 354 Ayat 1 KUHP lebih Subsider 353 Ayat 2 KUHP lebih-lebih Subsider 351 Ayat 2 KUHP dan atau 76 C Juncto 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara.

Shane dijerat Pasal 355 Ayat 1 Juncto 56 KUHP Subsider 354 Ayat 1 Juncto 56 KUHP lebih Subsider 353 Ayat 2 Juncto 56 KUHP lebih-lebih Subsider 351 Ayat 2 Juncto 56 KUHP dan atau 76 C Juncto 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara.

AG dijerat dengan Pasal 76 C Juncto Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun Perlindungan Anak dan atau 355 Ayat 1 Juncto 56 KUHP lebih Subsider 353 Ayat 2 Juncto 56 KUHP lebih-lebih Subsider 351 Ayat 2 Juncto 56 KUHP. Atas perbuatannya AG terancam hukuman maksimal 4 tahun penjara setelah dikurangi setengah dari ancaman maksimal dan dikurangi sepertiganya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak.

Apa itu Restorative Justice?

Prinsip Restorative Justice atau Keadilan Restoratif saat ini memang mulai diadopsi dan diterapkan oleh lembaga penegak hukum di Indonesia.

Dilansir dari buku "A Theoritical Study and Critique of Restorative Justice, in Burt Galaway and Joe Hudson, eds., Restorative Justice : International Perspectives", restorative justice adalah suatu tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak.

Restorative justice adalah suatu metode yang secara filosofinya dirancang untuk menjadi suatu resolusi penyelesaian dari konflik yang sedang terjadi dengan cara memperbaiki keadaan atau kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut.

Sedangkan menurut laman resmi Mahkamah Agung, prinsip restorative justice merupakan salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang bisa dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.

Prinsip restorative justice menjadi alternatif penyelesaian perkara tindak pidana, yang dalam mekanisme (tata cara peradilan pidana) fokus pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi.

Dialog dan mediasi dalam restorative justice melibatkan beberapa pihak di antaranya adalah pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak-pihak lainnya yang terkait. Secara umum, tujuan penyelesaian hukum tersebut dilakukan untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana.

Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk mendapatkan putusan hukum yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku. Prinsip utama dalam restorative justice adalah penegakan hukum yang selalu mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, serta mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.

Dasar Hukum Restorative Justice

Dasar hukum restorative justice pada perkara tindak pidana ringan termuat dalam beberapa peraturan berikut ini:

  • Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
  • Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP)
  • Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP
  • Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Restorative Justice
  • Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan umum Nomor 301 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Tindak Pidana Ringan
  • Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif
  • Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
    Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan restorative justice adalah pada perkara tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 483 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam hal ini hukum yang diberikan adalah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda Rp 2,5 juta.

Selain pada perkara tindak pidana ringan, penyelesaian dengan restorative justice juga dapat diterapkan pada perkara pidana berikut ini:

  • Tindak Pidana Anak
  • Tindak Pidana Perempuan yang berhadapan dengan hukum
  • Tindak Pidana Narkotika
  • Tindak Pidana Informasi dan transaksi elektronik
  • Tindak Pidana Lalu Lintas

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak