Di balik rumah sederhana di Kota Malang, Bejo Sandy berperan besar dalam pelestarian Rinding, alat musik tradisional berbahan bambu. Dengan dedikasi yang tinggi, Bejo menciptakan Rinding dari bambu bekas, memainkannya dalam berbagai acara seni dan adat, serta membagikannya kepada generasi muda tanpa biaya.
Kolaborasinya dengan Angga Ridho Subangga membawa riset dan literasi Rinding ke tingkat baru, menelusuri jejak instrumen ini di Malang. Usahanya berhasil membawa Rinding Malang diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2020.
“Bersama Angga, kami bercita-cita untuk melakukan riset lebih dalam lagi dan mengarsipkan Rinding Malang,” buka Bejo Sandy ketika menjelaskan pertemuannya dengan Angga.
Angga menuturkan jika tertarik untuk terlibat dan berkontribusi melestarikan Rinding Malang berawal saat masih aktif dalam komunitas program mengajar di daerah pelosok, sekitar 2015. Ia bertemu dengan Bejo Sandy yang diundang menjadi pengajar di kelas inspirasi tersebut.
“Setelah berdiskusi dengan mas Bejo, maka tercetus ide untuk menguatkan literasi tentang Rinding Malang,” katanya.
Penguatan literasi diawali dengan mencari dan menelusuri jejak eksistensi Rinding di Malang. Setelah itu, mereka melakukan sosialisasi ke sejumlah rumah baca, komunitas sastra, sekolah hingga kelompok karang taruna.
Jerih payah mereka akhirnya terbayar, gagasan bertajuk Revitalisasi Rinding Malang terpilih sebagai penerima Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards, pada 2017.
Penghujung 2021, karya tulisnya berjudul Rinding Malang: Revitalisasi Musik Tradisional Malang Raya memenangi lomba karya tulis naskah budaya Kota Malang.
“Ini semakin memotivasi kami untuk riset lebih dalam lagi Rinding Malang,” katanya.
Harpa Mulut dari Bambu
Sandyarto alias Bejo Sandy sangat piawai membuat Rinding. Pria dengan potongan rambut sanggul atas itu piawai menyulap bambu berukuran sekitar 30 sentimeter menjadi harpa mulut atau Rinding. Sebuah instrumen musik.
Proses pembuatan Rinding dirasa rampung, Bejo mulai memainkannya. Bunyi unik nan-khas tercipta saat menempelkan instrumen bambu itu pada bibir bagian depan. Kemudian menarik tali yang terikat pada ujungnya. “Bunyi atau bentuk suara diatur rongga mulut,” ujarnya.
Bejo Sandy kini telah menciptakan Rinding Malang dengan total 7 tangga nada. “Awalnya (menekuni kesenian Rinding) nada terbatas,” sambung pendiri Teater Celoteh ini.
Berkat kepiawaian membuat dan memainkan Rinding, Bejo kerap diundang dalam pertunjukan teater, mengiringi pembacaan puisi, dan prosa. Ada juga lokakarya, dan sosialisasi. Bukan hanya itu, ia juga kerap diundang ritual budaya, seperti ruwatan, bersih desa, dan kesenian Bantengan. Bahkan terlibat dalam film pendek berjudul 'Nabastala Paling Mengerti'.
“Mahasiswa, pelajar SD hingga SMP juga pernah berkunjung ke galeri untuk membuat dan main Rinding,” katanya.
Niat Bejo Sandy untuk membumikan Rinding itu muncul sekitar 10 tahun yang lalu. Bermula dari kegelisahan dalam penggunaan musik sebagai pengiring pertunjukan teater.
“Awalnya takut soal copyright hak cipta jika pakai musik orang lain. Kemudian mencari solusi, tapi yang tidak biasa. Teringat instrumen Karinding (instrumen musik dari bambu, khas Jawa Barat),” kenangnya.
Bejo memproduksi atau membuat Rinding mengutamakan prinsip daur ulang. Ia memanfaatkan bambu bekas baliho, hingga bekas konstruksi bangunan.
“Waktu ramai-ramainya pemilu, lumayan dapat banyak bambu untuk dimanfaatkan,” ujarnya.
Kekinian, Rinding buatannya telah banyak dikenal. Bahkan ada warga Belanda yang pernah membeli. “Dibelinya 200 dolar,” ujarnya.
Namun, tujuan utamanya bukan ekonomi semata. Prioritasnya adalah pelestarian Rinding Malang. Setiap momentum sosialisasi, terutama kepada pelajar atau mahasiswa, Ia selalu membagikan Rinding secara cuma-cuma alias gratis.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.