Pelatihan Peer Counselor, Komunitas RETAS Buka Wawasan Baru Petugas Lapas

Hayuning Ratri Hapsari | Rion Nofrianda
Pelatihan Peer Counselor, Komunitas RETAS Buka Wawasan Baru Petugas Lapas
Penyerahan kenang-kenangan dari komunitas RETAS program studi psikologi Universitas Jambi (Dok. Pribadi/Rion Nofrianda)

Komunitas Rangkul Teman Tanpa Kekerasan (RETAS) dari Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi kembali menunjukkan komitmennya terhadap pengabdian sosial melalui kegiatan bertema “Penguatan Kapasitas Peer Counselor bagi Petugas Pemasyarakatan”.

Kegiatan tersebut diselenggarakan di Aula Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) Kelas IIB Jambi, Kamis (23/5/2025).

Kegiatan ini menghadirkan narasumber utama Beny Rahim, M.Psi., Psikolog, seorang profesional di bidang psikologi yang telah lama berkecimpung dalam intervensi psikologis pada kelompok marginal dan institusional serta juga merupakan dosen psikologi Universitas Jambi.

Mengusung semangat kolaborasi lintas sektor antara dunia akademik dan lembaga pemasyarakatan, pelatihan ini bertujuan membekali para petugas Lapas dengan pemahaman, keterampilan, dan sensitivitas etis sebagai peer counselor, guna mendukung kesehatan mental warga binaan melalui pendekatan sebaya yang empatik dan terstruktur.

RETAS yang dikenal sebagai komunitas psikologi mengembangkan program pelatihan peer counselor sebagai bentuk respons terhadap meningkatnya kebutuhan layanan psikososial di lembaga pemasyarakatan. Menurut Koordinator RETAS, Gilan Nur Rochman kegiatan ini berangkat dari observasi langsung terhadap situasi psikososial di lapas.

“Kami melihat bahwa para petugas memiliki peran sentral, tidak hanya sebagai pengawas atau pelaksana kebijakan, tetapi juga sebagai figur yang kerap menjadi tempat curhat warga binaan. Karena itu, pendekatan peer counseling sangat relevan untuk diaplikasikan,” ujar Gilang saat sesi pembukaan.

Program ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga menekankan pada praktik langsung, simulasi, dan diskusi etis.

“Ini bagian dari penguatan kapasitas yang berbasis lokal. Kita tidak mengimpor model mentah dari luar, tapi menyesuaikan dengan dinamika yang dihadapi oleh petugas dan warga binaan di lapas kita,” lanjut Gilang.

Dalam sesi pelatihan utama, Beny Rahim, M.Psi., Psikolog menyampaikan materi yang menyeluruh dan membumi. Ia membahas tiga pilar utama dalam praktik peer counseling: teknik komunikasi yang empatik dan aktif, landasan etis dalam menjaga batas profesional dan personal, serta strategi menghadapi resistensi atau situasi krisis.

“Menjadi peer counselor bukan berarti kita mengambil peran psikolog profesional, tetapi kita menjadi jembatan empati seseorang yang hadir, mendengar, dan menanggapi dengan kesadaran penuh dan tidak menghakimi,” tutur Beny di hadapan peserta pelatihan yang terdiri dari petugas LPP Jambi dan lapas sekitar.

Beny mengajak peserta untuk memahami konsep active listening dan reflective responding, dua teknik dasar dalam konseling sebaya. Ia memberikan simulasi langsung dengan meminta dua orang petugas untuk melakukan role play antara peer counselor dan warga binaan. Hasilnya, para peserta terlibat aktif dan menunjukkan ketertarikan tinggi.

“Sering kali, kita berpikir bahwa tugas utama adalah mengatur dan mengawasi. Tapi, pada kenyataannya, kita juga diminta untuk menjadi pendengar dan penyemangat. Kegiatan ini membuka mata saya bahwa kita bisa membantu tanpa harus menjadi ‘ahli’,” ungkap salah satu peserta, Aditya, petugas pembinaan LPP.

Dalam sesi lainnya, Beny juga menekankan pentingnya etika dalam peran konseling sebaya, seperti menjaga kerahasiaan, menghindari hubungan dual (ganda), serta menjaga netralitas dalam konflik warga binaan.

“Etika adalah fondasi. Dalam konteks lapas, posisi Anda sebagai petugas sering kali multitafsir. Maka, penting untuk memahami di mana batas peran Anda sebagai peer counselor dan sebagai aparat negara,” ujar Beny dengan tegas.

Kepala Seksi Bimbingan dan Pendidikan (Bindik) LPP Kelas IIB Jambi, Ria Rahmawati, memberikan apresiasi yang tinggi terhadap inisiatif RETAS dan Universitas Jambi. Dalam sambutannya, ia menyampaikan bahwa kegiatan ini sangat membantu dalam proses humanisasi institusi pemasyarakatan.

“Kami sangat terbantu dengan pelatihan ini. Selama ini, petugas kami bekerja berdasarkan pengalaman dan intuisi, tapi pelatihan ini memberikan kerangka kerja yang lebih sistematis dan profesional,” ujar Ria.

Ia juga menekankan bahwa pelatihan seperti ini sangat penting untuk mengurangi tingkat stres kerja petugas, sekaligus meningkatkan efektivitas dalam pembinaan warga binaan.

“Kalau petugas punya kapasitas mendengar dan memahami secara empatik, maka konflik dan stres di lapas bisa ditekan. Ini bukan sekadar pelatihan, ini adalah investasi jangka panjang dalam kualitas layanan pemasyarakatan,” tambah Ria yang disambut tepuk tangan para peserta.

Pelatihan yang berlangsung selama empat jam ini tidak hanya memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga menciptakan ruang aman bagi para petugas untuk berbagi pengalaman dan tantangan.

Mayoritas peserta menyatakan bahwa pelatihan ini menjadi pengalaman pertama mereka mendapatkan pelatihan berbasis psikologis yang aplikatif dan kontekstual. Beberapa bahkan mengusulkan agar kegiatan seperti ini dijadikan pelatihan berkala.

“Kalau bisa, tiap tiga bulan ada sesi seperti ini. Kami butuh ruang belajar yang aktual dan langsung bisa diaplikasikan,” ujar Eko Yulianto, petugas lapas dari Jambi Luar Kota.

Menanggapi antusiasme tersebut, RETAS menyatakan kesiapan untuk menyusun modul lanjutan dengan topik seperti manajemen stres petugas, intervensi krisis, hingga konseling untuk kasus kekerasan dalam lapas.

“Kami akan tindak lanjuti ini. RETAS bukan hanya datang memberi pelatihan, tapi ingin menjadi mitra jangka panjang,” tegas Intan Kurnia Sari dalam sesi penutup.

Penutup: Psikologi untuk Kemanusiaan

Kegiatan pelatihan peer counselor yang diinisiasi oleh RETAS Universitas Jambi bersama LPP Kelas IIB Jambi menjadi contoh nyata bagaimana keilmuan psikologi dapat bersinergi dengan dunia praktik, bahkan di ruang-ruang yang kerap dianggap tertutup seperti lembaga pemasyarakatan.

Dengan pendekatan yang empatik, etis, dan aplikatif, pelatihan ini membuka ruang dialog antarperan, menyuburkan semangat kemanusiaan, dan memperkuat fungsi rehabilitatif dari sistem pemasyarakatan.

Sebagaimana disampaikan Beny Rahim dalam kalimat penutupnya:

“Kita tidak selalu bisa menyembuhkan, tapi kita selalu bisa hadir. Dan kehadiran yang empatik adalah bentuk tertinggi dari konseling sebaya.”

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak